BAB 4

279 34 1
                                    

Hampir setiap hari aku membaca buku yang diberikan Odelia, Hingga cerita itu melekat dikepalaku.
Hanya dengan melihat angka yang menunjukkan tanda halaman dari buku itu, aku sudah tau apa yang diceritakan dihalaman tersebut.

Chloe adik perempuanku yang masih bayi, belakangan ini selalu menangis setiap malam, hingga suaranya terdengar sampai kekamarku.
Ibuku juga terlihat kebingungan, meski berbagai cara dilakukan, sulit sekali menghentikan tangisannya.
Ia hanya akan terdiam ketika telah lelah menangis.

Seperti dimalam sebelumnya, kastil kami yang gelap gulita, hanya menggunakan penerangan seadanya.
Kini menjadi terang karena gerhana bulan.
Dipekarangan rumah kami terlihat seseorang berlari dengan susah payah, beberapa ksatria penjaga kastil termasuk guruku menghampiri sosok itu.

Aku yang melihat kejadian itu dari jendela kamarku merasa penasaran dan saat membuka jendela, ku lihat ibuku berlari menghampiri mereka.

Tiba-tiba saja ibuku menjadi lemas dan ia menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya.

Ntah apa yang terjadi saat itu, namun aku tau, pasti bukan kabar yang menyenangkan.

Dengan cepat aku meninggalkan kamarku dan berlari keluar menghampiri ibu.

                            ***

"Ibu,." Belum selesai aku berbicara, sebuah suara dari kereta kuda memasuki pekarangan rumah kami.

Ibuku yang terlihat seperti orang linglung, dengan tergopoh ia menghampiri kereta itu disusul denganku yang telah berdiri disamping guruku.

"Tidaaakkk"
Dengan tangisan yang histeris, ibuku terjatuh hingga tak sadarkan diri.

Jantungku berdebar seakan mau copot, aku tak memperdulikan ibuku yang telah dibopong masuk kekastil oleh guruku.

Perlahan aku melongok kedalam kereta kuda itu, hingga terlihatlah seorang pria dengan simbahan darah dan tubuh yang sangat rusak sedang duduk bersandar.

Cahaya rembulan yang masuk ke celah-celah kereta kuda yang sudah tidak layak pakai itu, memperlihatkan tubuh ayahku yang telah terbujur kaku. Matanya tertutup dan wajahnya penuh dengan luka sayatan.
Seketika badanku gemetaran, bibirku terasa kelu.

"Tuan".

Seorang kusir yang telah kehilangan salah satu tangannya memanggilku.
Saat aku melihat kearahnya, aku tahu ia adalah salah satu prajurit yang berangkat bersama ayah.

Ia memelukku dan menangis sejadi-jadinya, darah setengah kering yang menempel ditubuhnya mengeluarkan aroma anyir yang sangat menyengat.

"Maafkan saya Tuan muda, Duke kehilangan nyawa karena mencoba menyelamatkan saya".

Ia bersujud menciumi kakiku yang tanpa alas kaki.

Tak tau respon apa yang harus ku berikan padanya.

Meski dengan kesedihan yang sangat mendalam, air mataku tak keluar setetespun.

"Tuan, sebaiknya anda beristirahat". Ucap Fel.

Seorang Ksatria penjaga yang sedang mencoba membangunkan pria yang berlarian tadi, membuatku memalingkan wajah kearahnya.

Hingga aku sadar, ayahku telah dimasukkan kesebuah peti dan dibawa masuk kedalam kastil.

Seseorang yang bersujud dikakiku tak mengubah posisinya, dan ketika aku bergerak, iapun jatuh terlentang, terlihat sayatan lebar dilehernya hingga tenggorokannya menganga.

Ia telah memotong lehernya sendiri, karena aku melihat dengan jelas sebuah pisau kecil yang masih digenggamnya.

"Tuan, anda tidak apa-apa?".
Fel, mencoba menenangkanku.

"Orang ini juga tak bernapas".
Ucap Fel lagi, Sambil melirik kearah sosok sebelumnya yang terbaring setelah berlarian dipekarangan kastilku.

                            ***

Tangisan ibuku yang telah siuman menggantikan tangis adikku yang sebelumnya tak terelakkan.

Aku masih tak percaya dengan hal yang baru saja kulihat, simbahan darah yang menempel ditangan dan tubuhku membuatku terpaksa mandi ditengah malam.

Badanku yang sedikit menggigil karena kedinginan, menjadikanku duduk meringkuk sembari mendengarkan teriakan demi teriakan dari ibuku yang menggema diseluruh ruangan.

"Cedric".
Diujung kamarku, dengan pintu yang terbuka lebar.
Odelia berlari kearahku yang kala itu memanggilku.

Sosoknya itu membuatku terkejut, karena ia yang menghampiriku secara tiba-tiba dipagi buta, bahkan mataharipun belum menyingsing.

"Odelia, mengapa kau disini?".

"Hu,hu,hu".
Odelia menangis dan memelukku setelah kesulitan naik ketempat tidurku yang lumayan tinggi.

"Aku mendengar kabar duka tentang ayahmu, dan dengan cepat aku kesini secara diam-diam, karena ayah dan ibuku sedang berbincang dengan orang-orang".

"Seorang gadis yang akan menjadi pemimpin kekaisaran dimasa depan bisa-bisanya nekat kabur dari istana?".

Itulah yang terlintas dalam pikiranku.

Kehadiran Odelia membuatku sedikit tenang, tangis dan teriakan ibuku pun tak terdengar kembali, mungkin ia tertidur karena mengantuk.

Kulihat Odelia yang telah terlelap disampingku, hingga akupun memenjamkan mata karena aku sangat mengantuk.

                             ***

Orang-orang dikastilku berlalu lalang, terlihat kediamanku sangat ramai dengan para bangsawan dan bahkan ada yang tak ku kenal.

Suasana duka berbalut pakaian serba hitam yang menjadi hiasan rumahku, membuatku mengerti, beginilah perasaan jika kehilangan orang yang dicintai.

Ayah dimakamkan disebuah pemakaman yang jauh dari tempat tinggalku. mungkin ibu tak ingin selalu teringat dengan ayah yang telah tiada, sehingga ia menyebutkan permintaan itu pada pengurus pemakaman ayah.

Odelia dan Edward yang berada disampingku, terus mencoba menghiburku.
Namun, aku merasa hampa.

Peti yang telah ditutupi dengan tanah adalah tanda perpisahan dengan ayahku.

____________________________________

pecintasenjamu

Cedric Eleanor Rothesay Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang