BAB 7

155 22 10
                                    

"Sudah kubilangkan, aku akan membalasmu!."

Seru seorang Pangeran dari negara musuh, ia adalah pria dewasa yang mahir memainkan pedangnya. Ini kali kedua kami bertemu di medan perang.

Kala itu ratusan pasukan yang tak kalah jumlah dari kami berhasil menerobos jauh ke perbatasan duchy, kerajaan kecil itu tidak rela jika harus tunduk dan menyatukan wilayahnya pada kekaisaran.

"Ada musuh menyerang, bersiap untuk serangan balasan!".

Pekik guruku yang kala itu telah bersiap menghunuskan pedangnya pada siapapun musuh yang mendekat.

"Evakuasi anak-anak dan lansia lebih dahulu, siapapun yang bisa menggunakan pedang, ambil bagian."

Seruku seraya menunggang kuda menuju sang pangeran dari negara musuh.

"Baik Tuan."

"Beraninya mereka menyerang ditengah malam, dasar pengecut! seperti pedangku yang tetap bersinar bahkan dalam kegelapan, aku tidak akan menyerah".

Para pemanah melepas busurnya, hingga membuat prajurit musuh yang berada dibarisan depan dengan rapi seketika porak-poranda.

Dengan cepat kuda hitamku berlari memasuki kerumunan prajurit yang sedang bertarung.

Ssraaaang,,, ssrrannng,,,klaaanng,,,

Ditengah malam itu, suara pedang saling bergesekan, hingga menimbulkan dengungan yang membuat rasa ngilu bagi siapapun yang tak sanggup mendengarnya.

"Aku bahkan tak bisa membedakan yang mana lawan atau kawan diantara jasad yang bergelimpangan ini, berapa banyak nyawa yang melayang?."

"Tuan, mereka sangat kuat, sepertinya para prajurit mulai kewahalan."

Guruku tampak terengah-engah, ini pertama kalinya aku melihatnya merasa kesulitan menghadapi musuh. memang ku akui, kali ini mereka unggul karena penyerangan mereka membuat kami tak sempat menyiapkan apapun.

"Hadapi aku Duke, kali ini aku pasti membunuhmu dan otakmu akan jadi hidangan makan malamku!".

Tantangannya itu kusambut dengan kekehan. "Kau sangat percaya diri pangeran, kau pikir dengan memakan otakku akan menjadikanmu lebih kuat? Bahkan setetes darahpun kau tak akan mampu mengeluarkannya dari tubuhku!".

Seketika ia mengeram, "kalau begitu kau harus mati, dan akan aku tunjukkan pada siapapun yang melihat, darahmu ku teguk sampai kering tak tersisa!".

Aku menyeringai sebagai balasan atas pernyataannya itu.

Tepat setelah obrolan ingin membunuh ini, seketika kami berteriak mengangkat tinggi pedang masing-masing, dan mulai menyerang satu sama lain.

Denting pedang tak terhindarkan, bahkan saking kuatnya tekanan, pedang itu mengeluarkan percikan kecil.

Usaha sang pangeran tak kunjung kena sasaran, tubuh besarnya ternyata membuat gerakannya lebih lamban, akibatnya serangan itu mudah ku perkirakan.

Hingga akhirnya, sabetan pedangku pun berhasil mengiris perut pria besar itu.

Ia meringis, lalu terjatuh dari tunggangannya, kini ia terlentang ditanah.

"Sadarilah pangeran, kematianmu sudah dekat".

Posisi pedangku tepat diatas jantungnya. seketika ia menggenggam pedang yang sudah siap menusuknya, hingga membuat darah menetes sampai ujung pedangku.

"Duke, aku mengaku kalah. Kali ini aku akan menjadi bagian dari kekaisaran."

Lenguhnya pelan, sembari tangan kanannya memeganggi perutnya yang terus mengeluarkan darah.

Melihatnya yang tak berdaya membuatku sadar, kami telah memenangkan perang ini. Prajurit yang telah gugur sebagai hadiah atas menyatunya wilayah itu pada kekaisaran Glitzy.


Dengan perlahan, aku menarik pedangku dan menaruh kembali dalam sarungnya.

Ku perintahkan seorang prajurit membantu ia berdiri untuk segera di obati.

"Duke, inilah kelemahan yang menjadikanmu seorang yang gagal, memberikan kesempatan pada musuh adalah tindakan bodoh!".

Serunya yang kala itu membuatku terkejut saat dengan cepat ia menghunuskan pedangnya pada tubuhku.

"Tidaaak Tuan".

Jleeeebb....

Seketika pedang itu menembus hingga kebelakang perut guruku yang kala itu menjadikan tubuhnya sebagai tameng demi melindungiku.

Guruku terjatuh, ia tewas seketika tanpa sempat memejamkan matanya.

"Guruuuu."

Tanpa pikir panjang, aku menarik kembali pedangku dan dengan cepat aku menuju pangeran yang tampak ketakutan.

Sraaannngg,,

Seketika kepalanya lepas, dan tubuhnya menggelepar tampak kesakitan.

Kala itu darah sang pangeran berhambur hingga membuat tubuhku bermandikan darah.

"Tuan, anda tidak apa-apa?"

Seru seorang prajurit dengan langkah tergopoh-gopoh.

"Bawa guru kembali."

Seperti sebelumnya, aku tak mampu mengucapkan kalimat panjang, saat melihat orang yang aku sayangi kehilangan nyawanya tepat dihadapanku.

Meski kami memenangkan perang ini, namun kehampaan menggorotiku.

____________________________________

pecintasenjamu

Cedric Eleanor Rothesay Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang