"Jika kedatangan kau hanya untuk main-main, kenapa memilih manusia lemah sepertiku, Tsani?"
Ayyana Dzakiya Almahyra, darinya kita tahu bahwa kemuliaan seorang wanita tidak terletak pada seberapa banyak pria yang tertarik padanya, melainkan pada sebe...
Allahumma sholli 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala Ali Sayyidina Muhammad.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Di ruang steril rumah sakit, terdengar suara ramai dari petugas medis yang bergerak cepat. Suara peralatan medis yang berdenting, dan sesekali terdengar rintihan pasien. Suasana di ruangan ini penuh dengan ketegangan, seolah-olah sedang menanti kedatangan kisah kesembuhan.
Dalam keheningan yang tegang, Ayyana menunggu di kursi panjang. Menggenggam erat tangan yang gemetar, Yana, adiknya Tsani.
Pandangan mereka hanya terpaku pada pintu yang memisahkan mereka dari fisik Tsani yang sedang terbaring lemah di dalam, menantikan kedatangan berita yang tak terelakkan.
"Yana, maafin Kakak. Semuanya salah Kak Ayya," ucap Ayyana yang tangannya masih digenggam erat oleh Yana, menguatkan.
"Tidak, Kak. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Barkan Aa' berjuang antara hidup dan mati di dalam, itu adalah bukti cintanya untuk Kak Ayya," jawab Yana mengelus punggung tangan Ayya.
"Tapi, jika saja Kakak tidak menerima lamaran itu—
"Aa' Tsani akan pulang Kak, dengan tidak membawa apa-apa. Mengecewakan dirinya sendiri, dan tentu saja ada Aska yang menunggu kepulangan Kak Ayya ke Bandung," potong Yana dengan cepat.
"Tapi kamu lihat sendiri 'kan Yana? Karena Kakak dia jadi terbaring di dalam. Sudah 2 jam dokter belum keluar membawa kabar baik atau pun kabar—
"Kakak, kita hanya berharap Aa' baik-baik saja. Sekarang lebih baik kita berdo'a, jangan menyalahkan diri Kakak, ya? Yana senang banget bisa kenal Kakak."
Ayyana diam, tidak menanggapi. Hatinya berdebar-debar seiring dengan dentingan jam di dinding. Matanya yang penuh kekhawatiran terpaku pada pintu. Baginya, setiap detik terasa seperti jam, dan setiap nafasnya terisi dengan ketidakpastian yang menyiksa.
Wajahnya yang baru saja berseri-seri karena melihat Tsani yang tersenyum lebar akan keputusannya, kini telah terlihat pucat dan cemas, seakan mencerminkan kerinduan dan kegelisahan yang menggelayut di hatinya.
Meskipun tak ada kata-kata yang terucap, tetapi do'a mereka yang tak terucapkan mengalir dalam keheningan, merayap menuju langit-langit di atas mereka, berharap akan kabar baik yang akan datang.
"Assalamu'alaikum,"
Abi dan ibunya sudah datang, menyusul. Yana yang menghubungi Abi, karena dia tahu bahwa Ayya tidak bisa, bahkan hanya untuk memencet nomor saja. Maka dari itu, Yana menghubungi Abi melalui handphone Ayya.