Gengsi

1.8K 206 2
                                    




Rumah sakit swasta adalah pilihan yang tepat untuk membawa Hanan karena jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah mereka. Bangunan yang didominasi warna putih gradasi hijau tosca, serta tidak lupa dengan bau obat yang menyeruak ke rongga hidung. Hanan masih terjaga dalam tidurnya. 

“Itu adiknya sakit apa, Mas?”

“Kecapean, Bu.”

“Ibunya suruh kesini aja, Mas. Biasanya anak cowok kalau sakit maunya dimanja. Anak saya juga kalau sakit sukanya disuapin kayak anak kecil.” 

Mas Malik hanya tersenyum mendengarnya. 

Sedari tadi Janu terus memegangi tangan Hanan sambil sesekali mengusap ujung matanya yang basah. Kalau ibu masih ada, ia pasti sudah dimarahi habis-habisan. Tidak perlu diminta, Hanan juga akan jadi anak manja yang maunya disuapin makan sambil dipijat lembut oleh Ibunya kalau sedang sakit begini.

Rasanya Janu ingin marah pada kedua kakaknya karena merasa dibodohi, tapi bukan sekarang. Ia tidak ingin membuat keributan di depan orang yang sedang susah payah mengistirahatkan badannya.

“Mas Malik sama Bang Eja beneran anggap kita ini orang lain, ya?” suara Jerry memecah keheningan.

Mas Malik menggeleng. 

“Terus kenapa hal kayak gini kita gak dikasih tahu?” 

Mereka tidak bermaksud untuk menutupi. Hanya saja kejadian tadi memang tidak pernah terpikirkan akan terulang kembali. Saat peristiwa kelam itu terjadi, Janu dan Jerry sedang tidak di rumah. Dulu ibu hanya bilang kalau Hanan sedang menginap di rumah nenek, padahal sedang di rawat di rumah sakit. Namanya juga anak kecil, jadi saat itu mereka tidak terlalu ambil pusing.

“Bukan soal alergi udang aja, Bang.” kata Janu menimpali, “Ini soal inhaler yang dia punya. Hanan gak lagi sakit, kan?”

“Setau Abang cuma makanan laut yang bisa bikin dia kayak gitu.”

Kerongkongan Mas Malik mendadak seret. Ia juga tidak tahu kalau Hanan diam-diam membeli Inhaler. Memang sudah sebulan terakhir Hanan sering curhat padanya kalau ada yang tidak beres dengan dirinya.

Lagi stress sama tugas dan kebanyakan minum kopi kali ya, Mas.

Kata Hanan waktu itu.

Hanan membuang nafas dari mulutnya dengan keras, membuat semua atensi mengarah padanya. Ada perasaan lega saat mengetahui ia masih bisa membuka mata. Sedetik kemudian ia langsung menepuk jidat kala menyadari keberadaannya. 

“Padahal saya gak papa, kenapa harus dibawa kesini?” semua langsung memperhatikan Hanan dan hampir memakinya.

“Kamu ngapain pegang-pegang tangan saya, Jan. Saya masih suka perempuan,” katanya lagi sambil tersenyum mengejek.

“Bawel lu!” Janu kesal dengan tingkah saudaranya yang masih sempat-sempatnya bercanda. Ia tahu kalau Hanan sok kuat. Lihat saja bibir pucatnya. Kata ‘baik-baik saja’ seperti template yang sangat mudah diulang-ulang.

“Saya mau pulang, Bang,” pintanya.

“Lu pilih deh, Nan. Mau pulangnya dianter kita, atau pulang sekarang tapi gue lempar dari sini?!” Bang Eja gregetan.

Jerry terkekeh pelan, kemudian duduk ditepi ranjang. “Tiduran lagi, Nan…” katanya sembari membantu membenarkan posisi Hanan. “Udah gak sesak lagi?”

Hanan menggeleng. Ia malah salah fokus dengan mata Janu yang merah dan berair. “Janu habis nangisin saya?” 

“Ngawur!” elaknya sembari buang muka.

Perihal Sandwich(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang