Anak sulung vs anak tengah

1.5K 175 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Langit sudah terlihat lebih gelap, terpaan angin juga sudah berhembus tidak karuan. Kilatan cahaya petir juga sudah berdatangan. Bang Eja terus-terusan menggoyangkan kaki di tempat duduknya. Bimbang, antara pulang atau tetap bertahan membiarkan tubuhnya yang nanti akan terciprat air hujan sampai risol habis. 

Kedai lumayan sepi tidak seperti biasanya, tapi syukurnya titipan risol Bang Eja di beberapa kantin sekolah selalu habis terjual. Baru saja Ia menentukan pilihannya untuk tetap bertahan sambil menunggu risol habis, benda pipih di sakunya bergetar. Ada tiga pesan masuk di sana.


Mas Malik | Ja, pulang. Hanan lagi otw rumah

Jafar | Abang jangan lupa ayam bakar Om Ipul! Kita lagi dekor kamar buat sambut Anan pulang nanti.


Kedua pesan itu hanya dibaca tanpa ada yang dibalas. Ia segera merapikan barang-barang jualannya. Mengemas risol sisa yang masih bisa dimakan di rumah atau nanti akan dibagikan kepada orang-orang di jalan. Motor beat hijau mulai membawanya membelah jalanan Jakarta.

Senangnya dalam hati
k

alau beristri dua
Oh, seperti dunia… 
Ana yang punya


Lagu Madu Tiga dari Ahmad Dhani yang dulu pernah hits pada zamannya kembali terdengar di telinga Bang Eja. Ia matikan mesin motornya di depan warung ayam bakar langganannya. Kekehan pelan terdengar dari mulutnya saat melihat Om Ipul sedang mengipas kuat agar panas arang tetap stabil sambil berjoget tipis-tipis.


“Om, ayam bakar satu ekor,” kata Bang Eja sambil menyeret satu kursi untuk duduk.

piye kabare Anan, Ja?” 

“Alhamdulillah Om sekarang lagi otw pulang ke rumah.”

Wes Alhamdulillah, aku ora tega ndeleng Anan kaya ngono. Perih atiku, Ja” ucap Om Ipul yang sedikit iba pada Hanan.


Bang Eja mengalihkan pandanganya ke sembarang arah. Kepulangan Hanan kali ini memang membuatnya lara. Mengingat Abah akhir-akhir ini sepertinya masih belum mau membahas Hanan, ia hanya takut kalau adiknya jadi banyak pikiran yang akan memperparah keadaannya.

•••••••

“Abah masih marah gak ya sama saya, Mas?” 

“Gak ada yang marah, Nan…”

Hanan terus memandang ke arah luar jendela. Membiarkan matanya disuguhi pemandangan malam Ibu Kota. Tetesan air hujan yang mulai turun dengan deras membuat Hanan semakin merapatkan resleting jaketnya. 


“Emang boleh Mas udah umur segini tapi masih belum bisa jadi apa-apa?” 


Hanan kembali bersuara tanpa menatap Mas Malik yang jelas bersebelahan dibangku penumpang. Mas-nya itu hanya melirik Hanan lewat kaca spion depan. 


“Liat Mas coba,” ucap Mas Malik menepuk pundak Hanan. “Anan bisa jadi apapun, kapanpun.  Don't underestimate yourself because of what other people say.”


“Tapi kenapa ya kesuksesan anak cuma bisa diukur kalau dia jadi Dokter, Pengacara, Pengusaha, Polisi, Pilot. Bukannya udah bisa bertahan hidup aja harusnya bisa dibilang sukses ya, Mas?” kata Hanan. 


Mas Malik mengangkat bahu. “Mas juga belum tau, tapi memang banyak kesalahpahaman antara orang tua dan anak yang gak bisa diselesaikan….” 


“Kaya… dulu— bahkan sampai sekarang Abah masih suka dijatahin kita sate tiga biji doang gak boleh lebih, kita beli dua soto dimakan berdelapan, kalau makan nugget cuma boleh tiga biar semua kebagian, harus nunggu lebaran kalau mau punya baju baru.”


Hanan menatap Mas Malik. Menunggu kakaknya melanjutkan sesi curhatnya yang sempat terjeda karena suara petir yang menggema.


“Nan, semua anak pasti akan salah paham dan berasumsi kalau orang tuanya pelit. Tapi setelah bisa cari uang sendiri, mereka akan tau sesusah apa, secapek apa… Mas bisa aja beli sate sebungkus dimakan sendiri, tapi ternyata lebih enak kalau semua ikut makan bareng-bareng walaupun sedikit. Semua orang tua cuma mau semua saudara saling akur dan bersyukur sama jatahnya masing-masing.”


“Jadi kamu harus tau, kalau semua orang tua pengen anaknya punya kerjaan yang layak, biar bisa hidup layak. Biar bisa makan dan beli  apapun yang dia suka tanpa mikir-mikir lagi,” lanjut Mas Malik. 


“Anak itu bukan investasi bergilir, Nan… makanya Abah gembleng kita habis-habisan, bukan untuk dijadikan investasi. Tapi Abah mau ke-tujuh anak laki-lakinya di kemudian hari jadi orang tua yang bisa berdiri di kaki sendiri. Biar gak melemparkan semua impian kita yang gagal atau belum terlaksana ke anak kita nantinya.” 


“Terus, kenapa saya gak boleh jadi pelukis, Mas?” tanya Hanan penasaran. “Padahal biasanya Abah gak pernah nuntut kita jadi ini itu, kerja juga boleh apa aja yang penting halal ‘kan?” 

Mas Malik setuju dengan perkataan Hanan. Tangannya terus menepuk-nepuk pelan paha yang dibalut celana Levis hitam. Ia bingung harus menjawab apa.


“Tapi Mas…” ucapan Hanan terjeda saat mobil yang mereka tumpangi ternyata sudah sampai di depan gang rumah mereka. 

“Mas juga kali-kali harus tau kalau Mas boleh mentingin diri Mas dulu, prioritaskan hidup Mas Malik lebih dulu, anggap itu sebagai hadiah dari capeknya Mas cari uang selama ini.” 


Sambil mengemasi barang-barang dari dalam mobil, Hanan mengedipkan sebelah matanya. Centil betul memang! Membuat Mas Malik tertawa gemas sambil mengusap kepalanya pelan.

“Iya, siap! Ayo, turun!” 

Percakapan singkat antara anak sulung yang selalu mementingkan saudara lainnya sampai melupakan kebahagiaannya sendiri. Dan anak tengah yang selalu tidak terlihat eksistensinya di mata orang tuanya.

Semoga, semua bisa bahagia tanpa tapi.

•••••••••••••••••••••••

Apa kabar semua?
Semoga selalu baik ya...

Jangan lupa vote!
Makasih banyak sudah mampir😚

Perihal Sandwich(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang