Aster 106

1.4K 187 9
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Pria dengan jaket kulit hitam berjalan sembari mengendurkan ikatan sabuknya yang begitu menyesakkan. Harusnya hari ini rencananya berjalan dengan lancar, namun nyatanya harapan memang selalu 30% akurat 70% meleset. 

Aster 106

Matanya tidak mau berpaling dari papan kayu yang bertuliskan alamat kamar pasien. Sempat ragu, namun akhirnya kaki itu di bawa masuk dengan rileks.

Dia masih terlelap.

“Jagoan… Kapan mau bangun?” bisiknya.

Jari itu bergerak. Membuat pria itu tersenyum. Senang seolah mendapat respon baik. Ia selipkan jemari tangannya, mengusap pelan luka yang terlihat lebih dalam dari perkiraannya. 

“Udah gede masih aja nakal, kapan mau sembuhnya?” 

Pria itu terus mengajak ngobrol seseorang di hadapannya. Mendongeng sendirian, berceloteh tanpa henti. Kadang ia terkekeh pelan, kadang juga ia menahan tangisnya sendiri.

“Ini pertemuan rahasia kita, ya? Saya masih malu ketemu kamu setelah semua dosa kemarin.” 

Berulang kali ia utarakan rasanya dalam bisik bilik tembok rumah sakit. Tidak lupa ia bisikan juga pada telinga seseorang yang masih terlihat betah terpejam. Kata itu, kata yang pernah ia ucapkan dulu sekali. 

Ia membiarkan tubuhnya bersandar di kursi kosong pinggir kasur. Satu foto lecek dikeluarkan dari dompetnya. 

Takdir—  percaya? Pria itu pun sama sekali tidak lagi percaya soal takdir—  sebelum jagoannya lahir.

“Masih inget sama parfum yang dibeliin Abang buat kamu?” Pria itu terkekeh geli mengingatnya. Ketika anaknya bercerita soal betapa bahagianya anak yang lebih muda mendapatkan parfum termahal yang pernah ia punya. “Wanginya masih nempel di badan kamu sekarang.”

Setelah puas bercerita panjang lebar sambil menatap jagoannya. Ia menaruh selembar kertas dibawah bantal sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang.

••••••••••

Di Bawah teriknya matahari jam tiga sore yang sangat menusuk pori-pori tidak membuat laki-laki seputih tepung kanji itu berhenti memantulkan bola basketnya. Hari ini memang tidak ada latihan basket, tetapi hari ini ia butuh hiburan sejenak. 

Cahyo dan basket sudah kelewat serasi. Seolah bisa kontak batin, bola itu terus masuk ke dalam ring tanpa meleset sedikitpun. Tepuk tangan riuh dari beberapa orang yang ikut memantau Cahyo membuat laki-laki itu mengangkat bibirnya ke atas. Tetapi fokusnya jadi teralihkan, ia menyipitkan matanya sekilas pada seseorang yang setengah berlari ke arahnya. 

Bugh!

Pukulan yang sangat tiba-tiba membuat orang-orang berteriak histeris. Meneriaki Cahyo yang sedikit oleng ke belakang. Laki-laki yang memukul Cahyo terlihat sangat marah. 

“Gara-gara kakak lu yang ngadu ke bokap gue, Bang Windu dipaksa pindah ke luar negeri!” 

Pukulan berkali-kali tidak henti menghantam tubuh Cahyo. Ia dibantai habis-habisan tanpa ingin membela diri. 

Jadi ini yang Anan rasain waktu dipukul Abah kemarin. Batin Cahyo

Cengiran kecil terukir dari sudut bibir Cahyo yang sudah sedikit sobek. “Udah puas? Ayo, pukul gue lagi,” pintanya. “AYO! PUKULIN GUE!” 

Sedangkan Bidi menatap Cahyo heran. Tidak biasanya anak itu akan pasrah. Apalagi kalau menyangkut soal Hanan. Ia mendorong pelan bahu Cahyo, melangkahkan kakinya mundur. Teman-temannya mulai berdatangan memisahkan mereka berdua yang berujung akan masuk lagi ke ruang BK.

Jafar yang baru saja selesai ujian praktek langsung berlari ke ruang BK saat mendengar kabar kalau kakaknya bertengkar lagi dengan Bidi. Ia beberapa kali mengintip lewat jendela sambil menunggu Cahyo diluar tanpa alas kaki yang tertinggal di mushola sekolah.

“Kamu lagi yang mulai duluan?” ketus Guru itu pada Cahyo. Tidak mau membuang waktu, Cahyo langsung mengangguk setuju. Tentu pergerakan itu membuat Bidi lagi-lagi kebingungan. 

Decakan keras keluar dari mulut Guru itu. “Ck, pulang sekolah bersih-bersih kamar mandi sampai seminggu kedepan!”

“Pak, saya gak bisa,” kata Cahyo. “Kakak saya lagi sakit, jadwal saya jagain dia setiap sore mulai hari ini.”

Bidi menoleh, mengerutkan keningnya. Ia melihat raut wajah Cahyo yang sendu mengatakan kalau ia sungguh-sungguh dengan ucapannya. Dalam hatinya, ia merutuki dirinya sendiri karena sudah melakukan hal bodoh saat di lapangan tadi. 

Memukul orang lemah sangat tidak fair baginya. 

“Yasudah, bersihkan perpus setiap jam istirahat.” Cahyo mengangguk setuju. Lalu berjalan keluar ruang BK sambil menunduk. Langkahnya terhenti saat seseorang menghalangi jalannya, berdiri persis di depan Cahyo tanpa permisi.

“Yo, gue serius soal Bang Windu yang bakalan pindah ke luar negeri.” 

“Gue juga serius soal Hanan yang lagi sakit. Kalau lu mau ajak gue ribut, lain waktu aja. Gue lagi gak mood,” kata Cahyo menyingkirkan badan Bidi kesamping. 

“Kalau bukan kakak lu yang ngadu ke bokap gue, terus siapa lagi?!” kata Bidi yang sedikit mengencangkan suaranya. “Yo! Kakak lu harus klarifikasi ke bokap gue!” 

“RS Cinta Kasih, kamar Aster 106! Lu dateng aja kesana kalau masih gak percaya!” jawab Cahyo acuh sambil terus berjalan ke kelasnya beriringan dengan Jafar. 

“Kamu kenal deket sama Bidi? Bang Windu siapa? Anan?” pertanyaan bertubi-tubi dilontarkan oleh Jafar. Mulutnya langsung dibekap Cahyo. “Ssttt… anak kecil gak usah ikut-ikutan! Cari alien aja sono!” 















Perihal Sandwich(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang