Bertemu Ibu

1.3K 189 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Ciwidey, Bandung. Tempat yang penuh dengan kenangan masa kecil. Tempat dimana mereka semua dilahirkan dan tumbuh bersama. Rasanya walaupun sudah lama tinggal di Ibu Kota, tetap saja Bandung akan jadi tempat pulang paling ditunggu. Janu dan Hanan tengah memimpin jalan, diikuti dengan Jerry dan Cahyo dibelakangnya. Setelah mengurusi pajak yang mati, akhirnya motor Hanan dapat digunakan dengan tenang tanpa takut kena razia.

“Bang, itu Anan ngantuk kayaknya.” Suara Cahyo sedikit dikencangkan saat mengadu pada Jerry yang hanya fokus melihat jalan.

Sebelum masa skorsing berkahir, Cahyo memilih ikut ketiga kakaknya touring ke Bandung. Kilauan lampu-lampu rumah serta kendaraan yang beradu terlihat jelas dari dataran lebih tinggi tempat Cahyo berada membuat mulutnya terbuka lebar, melongo karena takjub.

“Jangan ngantuk, sebentar lagi kita istirahat.” Janu mencubit pelan lengan Hanan yang melingkar di pinggangnya. Beberapa kali ia memergoki Hanan mengerjapkan mata berusaha menahan kantuk.

Beruntung malam ini jalan lumayan lenggang, jadi mereka tidak harus memakan waktu lebih dari enam jam untuk sampai di tempat tujuan. Tebalnya kabut seakan menutup akses jarak pandang pada jalanan terjal yang meliuk-liuk. Hamparan perkebunan hijau disepanjang jalan juga tidak terlihat jelas karena gelapnya malam. Tetapi semua itu tidak mengurangi sejuknya udara Ciwidey malam ini.

“Minggir dulu ke warung, Jer!” 

Motor yang dikendarai Janu memberikan kode pada satu motor di belakangnya. Ia membelokkan stang ke depan warung kelontong pinggir jalan. Cahyo dan Jerry yang baru saja turun ikut meregangkan otot-otot tubuh mereka yang kaku akibat terlalu lama berkendara. 

“Bu, mau kopi hitam 2 sama teh anget 2,” kata Janu pada ibu pemilik warung. Ia kembali menyandarkan badannya pada tembok sambil meluruskan kedua kaki ke kolong meja. Tempat duduk lesehan memang paling pas untuk dijadikan tempat istirahat. 

Tidak lupa mereka juga memesan empat mie rebus. Udara dingin, teh hangat dan mie instan memang perpaduan nikmat duniawi yang tidak boleh dilewatkan. 

“Jan,” Jerry menepuk paha Janu saat melihat ada yang tidak beres dengan Hanan. Nafasnya terdengar mengi lagi, sepertinya udara malam di Ciwidey membuat anak itu kedinginan. 

“Lu bangun dulu deh, Nan. Minum dulu tehnya mumpung masih anget.” Jerry membangunkan tubuh Hanan secara paksa.

“Masih panasss…. Lidah saya bisa kebakar ini,” katanya sembari mengipas mulutnya kuat-kuat.

Janu hanya melirik tingkah Hanan sekilas. Tadi tangan mereka tidak sengaja bersentuhan, membuat Janu langsung membuka jaketnya menyisakan satu jaket tipis berwarna hitam.

“Pake. Tangan lu dingin banget,” katanya sambil memberikan jaket itu pada Hanan.

Hanan malah menatap Janu kebingungan, lalu mendorong jaket itu. “Saya kuat dingin.”

Janu tersenyum remeh. “Kuat dari mana? Itu tangan lu hampir beku, Nan! Bisa gak langsung pake gak usah bawel?” 

Skakmat!

Cahyo tersenyum menang kala melihat Hanan tidak bisa lagi menolaknya. Sekarang badan Hanan sudah terbungkus tiga jaket sekaligus.

“Tiduran sini di paha gue, Nan.” Anak itu menggeleng pada Jerry saat melihat Ibu warung yang berjalan ke arah meja mereka membawa satu nampan berisi empat mie instan panas yang aromanya mengepul harum.

“Kalau udah selesai makan, kita cari masjid buat istirahat sambil nunggu waktu subuh.” Janu memberikan arahan kepada yang lain.

“Indomie memang seleraku, sih,” celetuk Cahyo.

“Mie itu emang paling enak kalau dibuatin, gak tahu kenapa mie buatan orang lain selalu enak.”

Ia mengangguk setuju pada Hanan. Cahyo yang berada di ujung meja terlihat sangat menikmati setiap kuah yang masuk menyentuh lidahnya. Sedari tadi Cahyo terus melempar pujian betapa nikmatnya micin mie instan yang ia makan. Kalau Bang Eja tahu, mereka sudah pasti akan digantung di pohon tauge!

Kalau dulu zaman SD mie sakura menduduki peringkat nomor satu di hati Cahyo. Mie yang disajikan menggunakan sumpit kayu belah tengah, serta tempat sterofoam yang dibelah dua juga sudah menjadi jajanan paling mahal dan mengenyangkan menurutnya. Kunci resep rahasia memang berada di air rebusan yang terlihat butek karena tidak pernah diganti dari mie yang paling pertama dimasak.

Entah memang malas atau karena lapar. Pokoknya mie instan buatan orang lain tetap tidak ada duanya.

•••••••••••••


“iya, Bah, kita udah sampe. Nanti langsung pulang kok.”

“Oke, Waalaikumsalam, Bah.”

Jerry memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Setelah membeli bunga tabur yang biasanya ada di depan gerbang TPU, kini kakinya melangkah menyusul ketiga saudaranya yang sudah lebih dulu bertemu dengan ibunya.

Gundukan tanah dengan batu nisan kusam bertuliskan nama ibu mereka nampak tidak terawat. Terhitung sudah tujuh belas tahun mereka hidup tanpa cahaya pelita. Memang tidak ada gunanya menyalahkan takdir, namun mereka juga hanya manusia biasa yang sesekali bisa mengumpat merasa tidak ingin menjalani hidup sepahit ini. Bahkan rasanya Cahyo sudah hampir lupa suara ibu, begitu pula dengan senyum manisnya.

Tangan mereka mulai bekerja sama membersihkan rumput liar dan daun kering disekitar makam. Setahun sekali memang rasanya terlalu sok sibuk dan jahat untuk datang menemui ibunya. Harusnya mereka bisa lebih sering menyempatkan waktu untuk datang kesini. Lain kali mereka akan berusaha lebih sering untuk datang bertemu.

“Gak ada yang berubah, Bu. Iyo masih suka kangen sama ibu… kita juga masih suka makan permen kesukaan ibu walaupun suka dimarahin Abah,” ucap Cahyo sambil tertawa hambar.

“Maaf ya, Bu… kita datengnya kesini gak pernah lengkap. Mas Malik sama Bang Eja kemarin habis ketemu sama Mba Cyra, ketemu Mikayla juga lewat video call…. Makanya masih galau. Rasanya pengen saya sentil jidatnya biar sadar kalau dia masih punya kita ‘kan, Bu?” 

Memang benar, anak laki-laki bisa jadi cerewet saat ibunya sudah didalam tanah. Mungkin kalau ibu masih ada, mereka tidak akan mau bercerita panjang lebar seperti ini karena gengsi. 

Merasa bahwa anak laki-laki tidak boleh cengeng. Mereka pikir, mereka bisa kuat tanpa bercerita. Padahal lihat saja sekarang, anak laki-laki ibu ternyata tidak sekuat itu.

“Ibu kangen Abah, ya? Datengin dong, Bu.” Ujar Janu.

“Husss… serem banget minta didatengin. Iya kalau ibu yang dateng, kalau yang dateng temen-temen ibu yang disini gimana?” 

Janu bergidik ngeri. “Iya, sih. Gila aja lu, Jer! Merinding gue.”

“Doain dong, Bu. Kalu kita udah punya mobil, kita janji bakal ajak Abah kesini ketemu ibu.”

“Doain gimana sih, Nan? Ibu udah meninggal, ‘kan….” Janu geleng-geleng kepala melihat Hanan yang malah cengengesan sambil garuk-garuk kepala.

Do’ain Hanan ya, Bu. Biar Abah bisa ridho sama apa yang Hanan suka. Biar Hanan bisa jadi diri sendiri kayak yang lain.

Batin Hanan tetep kekeh meminta do’a pada ibunya.

Setelah puas mendoakan ibu dan bercerita ngalor ngidul. Mereka memutuskan untuk langsung pulang ke Jakarta. Pertemuan singkat beda alam yang sangat penting bagi keempatnya membuat baterai mereka seakan kembali terisi penuh untuk menjalani kehidupan menuju pendewasaan diri. 






Perihal Sandwich(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang