Gembala adik?

3.3K 295 4
                                    


Finally cerita ini bisa ku bawa disini.

Maaf sekali kalau tulisannya masih berantakan, ya😣🤏
Semoga suka dengan ceritanya.

Jangan lupa follow aku sebelum baca🙌

Happy reading kesayangan❤️

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••


Entah sejak kapan panggilan Abah Ojak lebih akrab di telinga ketujuh anaknya. Laki-laki setengah tua yang saat ini rambutnya sudah mulai memutih— karena dicat itu memilih menduda setelah ditinggal mendiang istrinya.

Bagi Abah Ojak ketujuh anaknya itu kebanggaan serta masa depannya. ia mati-matian menjaga dan merawat mereka tanpa peduli seberapa ringkih dan rapuhnya badan itu.

"Mas Malik, Abah minta tolong cari adik-adikmu, suruh mereka ngaji."

Malik Ar-Rasyid anak sulungnya Abah yang paling sering disebut ganteng maksimal. ia sangat cinta langit, hampir semua galeri ponselnya penuh dengan berbagai foto langit yang berbeda. Kesehariannya yang sibuk bertugas di salah satu puskesmas membuatnya jarang bertemu adik-adiknya, terutama si bungsu yang memang terpaut cukup jauh umurnya.

Ia pergi menyusuri setiap gang sempit dekat rumahnya yang padat penduduk di pinggiran Jakarta. Kondisi rumah yang bisa dibilang sangat mepet satu sama lain itu tak jarang membuat setiap bisik bisa terdengar dari rumah ke rumah.

"Hanan! Cahyo! Jafar!"

"Dek! Pulangg... Abah suruh ngajii..."

Adiknya itu memang sangat susah dicari kalau waktu mengaji seperti ini. Malik dapat tebak pasti mereka ada hutang hafalan surat pendek yang belum dihafalkan, jadi memilih kabur. Mungkin takut kena sabetan sarung dari Pak Kyai.

Suara bising anak-anak mulai terdengar dari lapangan bawah, lapangan yang letaknya di RT sebelah itu memang sering jadi tempat persembunyian bagi semua anak yang tidak mau mengaji seperti ketiga adiknya.

Malik sudah menyilangkan dua tangan di dada sambil menggelengkan kepalanya menatap tiga bocah dekil tak kasat mata. Nampak Hanan yang sibuk menggulung benang gelasan sambil mengatur layangannya agar tidak juntai.

"Anan! Minggir dulu, gantian Iyo juga mau narik layangannya," itu suara Cahyo yang merengek.

Cahyo Ar-Rasyid atau biasa dipanggil Iyo memang sangat dekat dengan Hanan. Ia sangat cinta basket, bahkan saat di kelas 3 SMP, ia sudah jadi kapten basket kebanggaan sekolahnya.

Tidak jauh dari tempat Hanan dan Cahyo ada anak bungsu keluarga Ar-Rasyid yang tertawa puas saat layangan Hanan akhirnya putus terkena gesekan benang lawan. Namun tawanya langsung hilang saat seseorang meneriaki namanya.

"Jafar!"

Bocah jangkung kelas 1 SMA itu langsung menoleh kebelakang, ia sangat panik. Gelagapan menepuk pundak Hanan untuk segera pergi dari tempat itu.

"Sumpah A', itu Mas Malik udah melototin aku. Ini pasti Abah tau kalo kita gak ngaji dari Bang Janu."

"Arah jam lima, A'. Tapi jangan nengok, jang-"

Oh, tidak. Sebelum kata itu Cahyo lanjutkan, Hanan keburu nengok ke arah dimana Mas Malik berdiri. Awalnya ia hanya ingin memastikan, tapi apesnya pandangan mereka malah bertemu. Malik tatap tajam adiknya itu.

"Mas hitung sampai tiga, kalau kalian gak ada yang pulang dan ganti baju untuk ngaji, Mas gak akan beliin permen kaki lagi!" ancam Malik.

Mereka yang sudah mengambil satu langkah untuk siap kabur langsung iam di tempat. Masnya itu sangat tahu kelemahan mereka, sekarang mereka kalah telak. Setelah kelemahan mereka diusik, mau tidak mau mereka akan menuruti semua perintah orang yang berani bertaruh cemilan favorit mereka.

Mulai dari Hanan yang berjalan gontai dengan baju Koko yang nangkring di pundaknya, lalu diekori dengan Cahyo dan Jafar yang masih mengenakan sarung serta peci miring itu berjalan menunduk, mereka seolah pasrah untuk berangkat mengaji kali ini. Tapi bukan Hanan namanya kalau tidak jahil, ia tatap Masnya itu penuh makna tersirat. Kemudian Hanan tatap mata Cahyo dan Jafar bergantian. Seolah mengerti, keduanya langsung mengangguk patuh.

1...2...3... kaburrr!!!

"Kalo kita bertiga menang, kita gak mau ngaji, Mas!"

Teriak Hanan dengan suara melengking sambil berlari kesetanan. Cahyo dan Jafar juga berlari tak kalah kencang. Mereka memegangi peci dan sarung wadimor bekas lebaran agar keduanya tidak terbang.

"Kalo Mas yang menang, kalian harus berangkat ngaji! Dan akan Mas beliin permen kaki!" sahut Malik tak kalah keras sambil berlari menyusul ketiga adiknya.

Ah, rasa-rasanya Malik terlalu baik untuk ketiga bokemnya. Semua orang sekitar sudah biasa dengan pemandangan seperti ini, mereka bahkan hafal rutinan Malik selama libur panjang, yaitu menyusuri kampung untuk mencari adik-adiknya sambil membawa satu rotan di tangannya. Seperti... gembala adik? Ya, bisa dibilang begitu.

•••••••••••

Di depan pagar rumah, Abah sudah berdiri sambil melinting rumput ke telinga. Memperhatikan lomba lari dadakan yang diadakan anak-anaknya. Jangan ditanya soal kesabaran Abah, sapu lidi yang seminggu lalu baru dibeli siap mendarat di kaki anak-anaknya.

Sedikit lagi garis finish itu sudah dekat. Pagar rumah juga sudah dibuka lebar untuk menyambut si pemenang. Namun tiba-tiba Hanan, Cahyo, dan Jafar ngerem mendadak sampai sendal slop milik Hanan naik ke betis.

"Kali ini hukumannya bagi rata, ya?"

Kedua adiknya itu masih mencoba mengatur nafas, mereka pasrah dengan apapun kemauan Hanan kali ini. Tolong dipantau, jangan sampai Hanan melalukan kecurangan. Saat Hanan ingin balik badan mencoba pasrah, telinganya sudah lebih dulu ditarik oleh Bang Eja.

"Alah siah! Mau kabur kemana lagi?!"

Hanan meringis kesakitan. "Ampun, Bang... iya-iya, Anan nanti malem ngaji sama Abang."

Tubuh Hanan diseret paksa ke hadapan Abah. Sudah tahu akan kesakitan kalau tidak berangkat mengaji, tapi Hanan ini nampaknya tidak kapok. Mereka bertiga berdiri dengan hanya menggunakan kaos kutang warna jigong, putih kekuningan.

Reza Ar-Rasyid atau yang sering disapa Bang Eja adalah anak kedua dari Abah Ojak. Setelah lulus SMA Bang Eja memang memilih untuk mendalami bisnis kuliner, ia sekarang sedang sibuk jadi juragan risol. Bang Eja terkekeh pelan di belakang Abah, ia memang sangat senang kalau Hanan, musuhnya itu dimarahi. Baginya sehari tanpa kejahilan Hanan Ar-Rasyid adalah anugerah besar.

"Abah sudah pusing sama kamu, Hanan. Naha kamu ajak adik-adik kamu mabal ngaji?"

Hening. Walaupun dalam hati mereka, semua makian keluar tidak mau berhenti.

"Kalo nanti Abah sudah gak ada, siapa yang mau ngajiin kalau bukan kalian?"

Kata pamungkas ala drama ikan terbang itu selalu diutarakan oleh Abah.

"Pokoknya Abah gak mau liat kalian bolos lagi! Cita-citanya mau jadi ustadz, tapi masih iqro enam! Gak malu sama rambut meuni hebring kitu?"

Allahu Akbar, Allahu Akbar

Adzan Maghrib sudah berkumandang. Setelah mendapat sabetan sepuluh kali, Hanan langsung masuk kedalam rumah dengan mimik wajah yang sulit diartikan. Tadi Jerry sempat basa basi, tapi hanya dijawab sekenanya.

Janu yang baru selesai wudhu langsung menghampiri Hanan yang baru keluar kamar mandi. "Nanti pas di kampus gue beliin permen kaki, tapi gue minta tolong ajarin gitar lagi, ya?"

"CK, kamu nih, Jan. Lepas! Baik ke saya cuma pas ada maunya. Cepu kamu! Tadi malah aduin soal saya ke Abah."

Hanan terlihat kesal, kemudian berlalu meninggalkan Jerry dan Janu yang terlihat kaget dengan tanggapan Hanan barusan. Meski sudah memiliki sabuk hitam dikelas bela diri, Mereka langsung ciut kala Hanan mengeluarkan sisi antagonisnya.

"Hanan kayaknya marah betulan, tuh!" Jerry menyenggol lengan Janu. Padahal bukan itu yang Janu harapkan, ia tidak bermaksud buat Abah marah pada Hanan.

Perihal Sandwich(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang