Jumpa lagi

1.3K 180 4
                                    



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Siang ini, sudah hampir satu jam Hanan menunggu seseorang datang ke atas rooftop kampus. Sudah lebih dari sepuluh lagu ikut menemani Hanan menikmati teriknya matahari disertai hembusan angin segar dari berbagai arah. 

Kuas lukis rigger yang ada di genggaman tangannya terhenti. Ia kembali memperhatikan detail gambar pada kertas aquarel berukuran A4. Kini gambar itu sudah rampung. Langit senja dari bibir pantai memang sangat menyenangkan untuk selalu diabadikan berulang lewat gambar.

Suara tepuk tangan membuat Hanan mengecilkan lagi volume lagu pada headsetnya. Ia menoleh ke arah sumber suara. “Bang? Udah lama?” 

06 Juni, 6 bulan lalu

“Bidi!” Cahyo melambaikan tangannya ke arah laki-laki itu, “bisa gak peserta nomor 16 yang pake baju kemeja warna salem itu dikasih tahu yang mana warna merah.” 

“Lu kenal dia?” 

“Dia kakak gue, emm…” Cahyo sedikit menimang kembali keputusannya. “Dia gak bisa liat jelas warna merah, please…” bisiknya pada Bidi sambil memohon bantuan.

Mendengar itu membuat Bidi berpikir sejenak, sebelum akhirnya menyetujui permintaan rival basketnya. Acara lomba lukis yang dilaksanakan oleh perusahaan ayahnya memang selalu banyak peminat. Tema ‘Identity of red roses’ kali ini diambil dari makna mencari jati diri atau menunjukkan jati diri.

Tapi ternyata bantuan yang diberikan itu tidak gratis. Salah satu orang yang tadi menghampiri Hanan, lalu memberikannya stiker hati pada tutup cat merah ternyata salah satu juri di acara tersebut.

“Hallo, kenalin gue Windu. Kakaknya Bidi.” bisiknya pada Hanan. 

Laki-laki dengan tas selempang merah maroon itu menyilangkan kakinya, mencari posisi duduk yang nyaman di sebelah Hanan. Sudah hampir enam bulan mereka saling mengenal, tapi bukan sebagai teman. Semua anak kampus pun sepertinya tidak ada yang pernah melihat mereka berinteraksi secara terang-terangan.

“Kalau waktu itu lu gak ikut lomba yang diadain bokap gue, kayaknya kita gak akan pernah ketemu. Dan soal perjanjian waktu itu, hari ini terakhir gue pake jasa lukis lu, Nan. temen-temen gue pada puas sama lukisan lu. Gue juga.” 

Hanan tertawa pelan. “Saya yang harusnya makasih sama Bang Windu. Saya jadi punya uang tambahan buat jajan, padahal kesepakatan waktu itu harusnya saya gak perlu dibayar buat nebus kesalahan Cahyo yang udah curang.” Tangan Hanan meraih beberapa kuas dan cat untuk dimasukkan kembali kedalam tasnya. "udah curang, mana menang pula!"

“Santai. Lagian ngelukis juga butuh modal, ‘kan?” ujar Bang Windu. “Jangan sampe bokap gue tau aja kalau selama ini lu yang ngerjain tugas gue, bisa mati gue,” lanjutnya sambil tertawa hambar.

“Soal adik gue…”

“Bidi?” potong Hanan, membuat Bang windu mengangguk. 

“Sorry, kalau dia malah jadi ngatain lu yang kasar dan jelek. Dia malah manfaatin perjanjian kita buat ngancem adik lu supaya ngalah di pertandingan basket kemarin.” Ujar Bang Windu.

“Saya tahu dia sayang banget sama Abang. Makanya dia setakut itu saya bakalan ingkar janji buat gak bilang siapa-siapa soal ini, apalagi ke ayah kalian.” 

“Iya, Nan. Sama kayak Cahyo yang sayang banget sama lu sampe rela mohon ke gue buat bantuin lu waktu itu.” kata Bang Windu. “Tapi waktu itu beneran jadi best experience buat lu ‘kan?”

“Hmm… ya, kalau gak curang mungkin jadi best, Bang.”

Hanan memang tidak berniat untuk mengkhianati siapapun. Walaupun awalnya ia sangat marah pada Cahyo karena sudah melakukan hal curang yang sangat tidak masuk akal. Namun Hanan tahu, kalau saat itu adiknya hanya ingin memberikan hadiah terbaik di hari ulang tahunnya.

Bukannya menolak, Hanan malah langsung menawarkan diri untuk menebus dan menanggung perilaku buruk adiknya.

Kepulan asap rokok dari mulut Bang Windu membuat Hanan terbatuk pelan. Laki-laki yang duduk disebelahnya ini sama sekali tidak berubah. Penampilannya masih acak-acakan sama seperti saat pertama kali memberi tugas pertama untuk Hanan.

“Menurut lu, apa bokap gue bakal kasih izin kalau gue minta keluar dari jurusan seni?” tanya Bang Windu terdengar putus asa.

Hanan terlihat mengerutkan keningnya. Tanda bahwa ia juga sedang mencari jawaban yang pas. “Buat apa putus di tengah jalan kalau udah lari-lari sejauh ini, Bang?” 

Bang Windu malah tersenyum kecil mendengar perkataan Hanan. Apa Hanan tahu kalau dirinya tidak pernah berlari, bahkan kakinya tidak sudi untuk melangkah didunia seni. Buktinya ia sampai dijuluki mahasiswa abadi.

“Gimana gue bisa bilang putus di tengah jalan, kalau ternyata gue sendiri gak pernah ngerasa jadi bagian didalamnya.”

Bang Windu menarik nafas dalam, “Nan, I am too afraid of many things. Yang bahkan mungkin sebenernya gak akan pernah terjadi.”

Bukannya menjawab Hanan malah asik menulis sesuatu pada secarik kertas. Ia tampak sangat fokus, membuat Bang Windu merasa terabaikan. 

“Hanan pamit, Bang.” Tangannya bergerak memberikan secarik kertas untuk Bang Windu.

” Tangannya bergerak memberikan secarik kertas untuk Bang Windu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dengan raut wajah penuh tanya, ada seulas senyum lagi yang Bang Windu perlihatkan setelah otaknya mulai menangkap pesan yang dimaksud Hanan.

“Siap, Pak Ustadz!” 

Hanan tak kuasa menahan kedutan di bibirnya. Senyumnya merekah saat mendengar teriakan dari Bang Windu. Akhirnya label mahasiswa jurusan sastra arab lumayan membantunya terlihat keren. Ya… walaupun sebenarnya quote itu Hanan contek dari Mbah google.

Memang benar yang orang bilang. Menyemangati orang lain terasa lebih mudah, dibandingkan menyemangati diri sendiri. 

Suara notifikasi panggilan masuk yang tidak mau berhenti membuat Hanan menjeda langkahnya.

“Hallo? Bang Eja?” tidak ada yang menyahut dari seberang telepon. Hanya terdengar suara  berisik benda-benda tumpul berjatuhan ke lantai. 

“Nan… tolong jangan pulang.”  perkataan itu malah semakin membuat Hanan kebingungan. Ia langsung mematikan telepon dan berlari ke arah parkiran motor sambil memikirkan banyaknya kemungkinan negatif yang akan terjadi.









Perihal Sandwich(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang