Semoga berhasil

1.5K 209 25
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Nan, istirahat dulu…”

“Iya, Jer. Bentar lagi selesai,” ucap Hanan yang masih fokus mencoret kanvas yang hampir penuh terisi cat warna. 

Jerry beralih ke belakang Hanan. Ia memijat pelan pundak orang di hadapannya yang terlihat sangat kelelahan. 

“Semangat boleh, tapi jangan bebani diri sendiri sampe lupa waktu kayak gini…” 

“Iya, adikku sayang…” kepala Hanan dihadapkan ke atas agar bisa memandang wajah Jerry dengan jelas. 

“Liat tuh muka lu udah pucet! Tadi makan gak, sih? Minum obat gak?” 

“Udah.. tanya aja Bang Eja sama Cahyo,” jawab Hanan. Ia tidak berbohong.

Setelah lukisan ketujuhnya selesai. Hanan mulai merapikan semua kekacauan yang ia buat di kamar tidurnya. Sebab ia dilarang keras untuk naik turun tangga. Terlalu melelahkan katanya.

Waktu Abah mengizinkannya untuk ikut pameran, besoknya banget Hanan langsung ditemani oleh Jerry untuk membeli perlengkapan melukis. 

Senang? Sudah pasti.
Bahagia? Jangan ditanya lagi.
Aneh? Sangat! 

Entah apa yang merasuki Abahnya, Hanan merasa apa Abahnya sedang dirasuki makhluk halus. Kesurupan, mungkin? Ia masih bingung kenapa Abahnya memberikan izin dengan sangat mulus. 

“Kamu sanggup?”

“Insyaallah…” 

“Gak akan capek, ‘kan? Kalau sakit lagi gimana?” 

“Gak, saya yakin bisa… masih banyak waktu, jadi bisa santai ngerjainnya.”

“Yasudah… silahkan.” 

“Heh! Ngelamun aja!” Sentakan dari Jerry membuat Hanan berjingkrak kaget. “Eh, maaf-maaf… gue lupa, jantung lu…” 

“Aman… ayo, naik ke kasur,” ajak Hanan yang diam-diam menahan nyeri luar biasa pada dadanya. Tangannya dikepal kuat didalam selimut yang sudah membungkus setengah badannya. 

Janu yang masih setengah sadar mulai meraba orang disebelahnya. Tangannya tidak sengaja meraba kepalan kuat itu. Ia buru-buru membalikkan badannya, menatap wajah Hanan yang lumayan pucat, sambil sesekali ia melihat kening itu mengerut. 

“Nan…” panggilnya dengan suara berat khas orang bangun tidur.

“Hanan…” panggilnya lagi. “Mana yang sakit?”

“Saya cuma deg-degan buat acara besok. Kira-kira banyak yang suka gak ya sama lukisan saya, Jan?” 

Dengan mata yang masih terpejam, Janu mengangguk. Mengusap lembut kepala Hanan. “Pasti semua suka… Semua harus tau ada orang sekeren lu di dunia ini.” 

Perihal Sandwich(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang