Anan gak cacat!

1.9K 212 3
                                    

Ternyata menurut orang lain, sempurna itu cuma perihal punya anggota badan yang lengkap secara bentuk dan fungsinya.
Aku juga mau disempurnakan.
_Hanan_

•••••••••••••••••••



“Teriak! Teriak yang kenceng!” Laki-laki dengan sepatu Converse hitam serta baju seragam yang berantakan berteriak sambil tertawa puas.

Ia cengkram kuat dagu laki-laki yang terlihat lebih pendek darinya. “Lu itu cuma anak cupu yang terlalu dibanggain sekolah karena basket!” 

Suara itu menggema di ruang penuh debu dan barang-barang tidak terpakai. Dua orang temannya hanya melihat ‘Si bos’ tanpa ikut campur. Selembar kertas bermaterai dibawa ke hadapan laki-laki yang sekarang terlihat sedang memejamkan matanya untuk mengontrol emosinya.

“Lu gak lupa kan kalau kita punya perjanjian ini?!” Cahyo melirik sekilas pada selembar kertas dihadapannya. “Kapan aja gue bisa bikin kakak kesayangan lu abis di tangan gue!” 

“Jangan bawa-bawa Anan!” suara Cahyo menggema. 

Si bos tertawa mengejek. Mudah sekali menebak kelemahan orang dihadapannya. “Sujud dong di kaki gue. Kalau perlu nangis-nangis deh biar gue maafin.” 

Seakan tidak ada pilihan lain untuk menyelesaikan masalahnya, Cahyo jatuhkan kedua lututnya ke lantai. Namun tiba-tiba satu pukulan melayang ke bagian perutnya.

Bugh!

“Sayang banget ya sama kakak cacat lu itu?” Cahyo yang awalnya tidak mau melawan akhirnya menyerah dengan emosi yang sudah diujung kuasanya.

“Anjing!” satu pukulan telak mengenai wajah Bidi sampai hidungnya mengeluarkan darah segar. Cahyo tidak peduli, ia berjalan keluar gudang sekolah meninggalkan Bidi dan dua temannya yang sibuk menyeka darah dengan kain.

Well, ternyata kakaknya tidak seburuk yang Jafar pikirkan. Sedari tadi ia memang tidak berniat untuk membantu Cahyo. Rasanya mengintip dari jendela sudah cukup membantu. Toh, kakaknya menang telak walaupun sempat terkena pukulan. Jafar berjalan mengikuti Cahyo dari belakang sambil menyesap permen kaki kesukaannya. Ia terus bersiul menggoda kakaknya. 

“Lu ngapain?” Cahyo melongo melihat gaya Jafar yang sedang bersandar di tembok sambil bersedekap dada.

“Abis nonton orang berantem,” jawabnya enteng.

“Jangan bilang Anan soal tadi.” Laki-laki yang lebih muda mengangguk, lalu memberikan dua bungkus permen kaki untuk Cahyo.

Sebenarnya Jafar penasaran dengan isi selembar kertas yang Bidi tunjukkan. Dirinya 1000% yakin kalau Cahyo tidak akan mau berbagi cerita dengannya. 

Panggilan kepada Cahyo Ar-Rasyid, Cahyo Ar-Rasyid ditunggu kehadirannya di ruang guru.

Pengumuman dari speaker sekolah terdengar cukup keras. Seperti biasa, Cahyo sudah hafal dengan alur ceritanya. Ini bukan kali pertama dirinya dipanggil ke ruang guru. Ia hanya bisa pasrah menerima drama baru yang akan dihadapi. Dengan malas-malasan, Cahyo berjalan menuju ruang guru bersama Jafar.

Benar saja. Di Dalam ruangan itu sudah ada tiga orang yang sedang di introgasi— ah, lebih tepatnya sedang bekerjasama dengan guru laki-laki berseragam batik yang memiliki postur tinggi besar. Dengan barang bukti kain lap bercak darah, Cahyo berkemungkinan besar jadi yang paling dirugikan.

“Betul kamu yang nonjok Bidi?” itulah kalimat yang keluar kala bokong Cahyo baru beberapa detik menyentuh bangku kosong di sebelah tiga orang lainnya.

“Kalau saya bilang dia yang mulai duluan, Bapak percaya?” kata Cahyo.

“Heran Bapak sama kamu, Yo. Kerjaannya gangguin Bidii… terus. Mau jadi jagoan?!” bentak Guru tersebut. Cahyo sepertinya bukan hanya dikenal sebagai kapten basket kebanggaan sekolahnya, melainkan dikenal juga sebagai siswa yang suka bertengkar dengan Bidi.

“Dia yang ngatain ka—” 

Guru itu menggebrak meja dengan kencang. “Ini sekolah! Bukan tempat berantem! Bapak tidak terima apapun alasan kamu kali ini!”

Sialnya, Jafar hampir ngompol di celana saking takutnya. Keberaniannya yang susah payah ia kumpulkan sedari tadi saat perjalanan ke ruang guru musnah begitu saja setelah mendengar bentakan guru itu. 

“Kita tunggu wali kamu yang sedang dalam perjalanan menuju sekolah.” Guru itu pergi meninggalkan mereka semua.

Cahyo panik. Siapa yang akan datang ke sekolah untuk menjadi walinya? Ia mengepalkan tangannya dibawah meja menahan untuk tidak menonjok tiga orang yang masih cengengesan disampingnya. 

Tidak lama kemudian pintu ruang guru diketuk. Seorang laki-laki dengan setelan rapih datang bersama pria paruh baya yang mengenakan celana bahan berwarna hitam licin.

“Iyo,” panggil Jafar. Cahyo tidak langsung menoleh, sampai senggolan kecil pada lengannya membuat ia mengangkat wajahnya mengikuti arah pandang Jafar pada Abah dan Bang Eja diambang pintu.

•••••••••••

Hari ini Hanan memang masih belum datang ke kampus. Ia dipaksa beristirahat sehari lagi oleh Mas Malik. Tidak ingin menyia-nyiakan waktunya, sore ini Hanan memilih untuk mengerjakan job jasa lukis di gudang atas rumahnya.

Dari sekian warna cat air milik Hanan, ada satu  warna cat yang selalu punya tanda tersendiri. Di atas tempat cat warna itu, ada stiker kecil gambar hati. Warna merah kecintaanya, warna yang paling bikin Hanan jatuh hati, walaupun warna itu tidak pernah bisa Hanan lihat sejak awal.

“Cantik,” gumamnya pada gambar ilustrasi kebun bunga yang memanjakan mata. Siapapun pasti akan terkesima melihat betapa mahirnya Hanan memadukan berbagai warna menjadi sangat ciamik untuk dipandang lama-lama. 

“Sini kamu!” Suara itu terdengar dari luar gudang. Membuat Hanan menghentikan aktifitasnya.

“Kenapa harus berantem sama anak pemilik sekolah?!” suara itu meninggi. Namun sepertinya sang lawan bicara masih tidak mau mengeluarkan suara buat Hanan jadi penasaran. Disusul dengan suara jepretan kencang yang Hanan yakini suara itu berasal dari ikat pinggang beradu dengan kaki. 

“Cahyo Ar-Rasyid. Jawab!” 

“Dia mukul Iyo duluan, Bah. Dan aku gak terima dia ngatain Anan!” Alasan itu tidak sepenuhnya benar. Sebetulnya ada satu alasan lain yang tidak ingin Cahyo bagi.

“Apa?! Dia bilang apa soal Hanan?” Cahyo ragu. Ia tidak mau mengeluarkan kalimat keji itu dari mulutnya.

Terlalu lama berpikir, membuat Cahyo kembali mendapatkan jepretan sabuk di kakinya. “Jawab!” 

“Dia bilang Anan cacat!” mendengar itu membuat laki-laki yang lebih tua malah tertawa remeh sambil menggeleng pelan. 

“Itu fakta! Hanan memang punya kelainan di matanya.” Tatapan keduanya beradu. Kilat amarah sangat jelas di mata Cahyo. Ia tidak suka dengan pernyataan barusan. Ada apa dengan Abahnya akhir-akhir ini? 

“Anan gak cacat! Abah kenapa, sih?”

“Kamu yang kenapa! Sampai harus kena skorsing kayak gini. Jadikan ini pertama dan terakhir kali kamu berurusan sama Bidi. Dan jangan bela apapun soal Hanan kalau itu fakta!”

“Brengsek!” maki Cahyo saat Abahnya sudah meninggalkan dirinya sendirian di lantai atas.

Bolehkah Hanan pura-pura tuli juga? Sayangnya ia mendengar semua itu. Kata demi kata yang ia dengar seakan menghipnotisnya. Tidak tahu harus bereaksi gimana, tapi Abahnya memang benar.

Mas Malik yang awalnya berencana menghampiri Hanan di gudang juga ikut mendengarkan percakapan dua orang yang sedang emosi dari tangga menuju lantai atas. Tiga pijakan lagi Mas Malik hampir sampai, namun langkah itu terhenti saat tidak sengaja percakapan itu mulai terdengar. 





Perihal Sandwich(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang