Deep talk

1.4K 187 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Hell no! Lu juga punya masa depan yang harus dikejar kali, Mas.” Bang Eja menolak mentah-mentah pendapat Mas Malik. “Siapa sih emang yang bilang kalau anak pertama harus nanggung semua keluarganya?” 

Mas Malik menaikan bahunya. “Emang nyatanya gitu ‘kan?” 

“Mas, please deh! Kita gak sebodoh itu kali buat cari uang. Lu tahu kan kita LAKIK!” Mas Malik tertawa mendengar penekanan kata di ujung kalimat adiknya barusan. “Lu seolah menyepelekan kita semua tahu gak?”

“Eh, gak gitu. Mas cuma ngerasa masih punya tanggung jawab besar aja sama kalian. Apalagi Abah udah lama gak kerja.” Ujar Mas Malik.

Jafar hanya diam, tapi telinganya merekam semua omongan kedua kakaknya. Tangannya dengan lihai menggulung kulit risol yang sudah diisi dengan ayam dan sayur. Pikirannya ikut melayang. Apa jadi laki-laki dewasa memang seberat itu tanggung jawabnya? 

“Mas ibaratnya gini. Kalau lu terus nyuapin kita, kapan kita bisa makan sendiri? Liat deh adik lu yang lain, bahkan mereka gak pernah neko-neko.” Bang Eja menatap tajam kearah Mas Malik. “Apa jangan-jangan lu selama ini anggap kita beban? Iya?”

“Ya, gak lah!” 

“Kalau gak, kenapa dulu mba Cyra minta cerai dengan alasan Mas dari generasi sandwich?” ujar Jafar enteng. “Kita dulu nyusahin ya, Mas?” lanjutnya.

Kedua orang yang lebih tua saling pandang. Sepertinya sesi deep talk kali ini bukan diwaktu yang seharusnya. Anak kecil dihadapan mereka seharusnya diminta tidur lebih awal tidak perlu membantu membuat risol yang berujung ada maksud terselubung.

“Mas kalau memang capek biayain kita, aku bakal cari kerja part time.” 

Mas Malik melotot tak percaya. “Heh! Kamu ngomong apa, sih? Tugas kamu belajar!”

Inilah yang dimaksud Mas Malik saat menolak ajakan teman karibnya untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Mana mungkin ia bisa meninggalkan keluarganya yang suka tiba-tiba ambil keputusan sendiri begini? Bahkan Reza saja masih suka semena-mena dengan hidupnya, pikir Mas Malik. 

Mas Malik, tolong ambil kaca yang besar. NGACA, Mas!

Padahal ia juga sering mengambil keputusan secepat kilat tanpa berpikir panjang dua kali. Sama halnya saat ia memutuskan untuk tetap serumah dengan mantan istrinya yang dulu tengah mengandung anak orang lain. Gila! 


“Assalamualaikum….. “ 

Keempat laki-laki yang baru pulang dari Bandung langsung tepar di atas karpet ruang tv. Badan mereka seolah remuk seperti dipatahkan setiap sisi tulangnya. Oleh-oleh buah strawberry yang sempat mereka petik langsung dari kebunnya sudah diserahkan oleh Bang Eja untuk dimasukkan kedalam kulkas. 

“Bahas apa, sih? Serius banget.” tanya Jerry.

“Bang, generasi sandwich itu apa, sih?” Jafar malah melempar pertanyaan pada ke-enam kakaknya.

“Kayak kita gini, saudaranya banyak.” Jawab Bang Eja singkat.

“Kata temen Iyo, jadi generasi sandwich itu gak enak ya, Bang?” tanya Cahyo yang masih membiarkan badannya terlentang diatas karpet.

Janu mengangguk. “Banyak anak, banyak kepala, banyak pendapat, banyak kebutuhan, banyak pengeluaran—”

“Intinya harus punya banyak duit biar tetep akur, ‘kan?” serobot Jerry sebelum Janu menyelesaikan ucapannya.

Mas Malik jadi merasa bersalah karena membawa topik yang lumayan sensitif dihadapan semua adiknya. Ia tidak ada maksud ingin egois untuk menyelamatkan masa depannya sendirian. Sama sekali tidak pernah terbesit dalam pikirannya untuk menjadikan keluarganya beban.

“Sandwich kita lebih spesial, Jaf. Bukan karena pake keju sama daging wahyu—”

“WAGYU!” sahut mereka kompak. “Nah itulah maksudnya,” kata Hanan sebelum melanjutkan kalimatnya lagi.

“Tapi karena didalemnya ada Abah, Mas Malik, Bang Eja, Janu, Jerry, Cahyo, sama kamu yang saling sayang.” Ucap Hanan sambil merangkul pundak adik bungsunya.

“Mas Malik tenang aja. Gapai semua yang masih bisa digapai, kejar semua yang masih bisa dikejar. Urusan adik-adik masih ada kita. Emang cuma Mas doang yang bisa jadi tulang punggung?” Lanjut Hanan.

“Iya-iya… Sehat-sehat tulang rangu.” Sahutan Janu membuat semua tertawa bersamaan.

Memang betul, tidak ada yang menginginkan adik sebanyak yang Mas Malik punya. Untuk jadi ‘generasi sandwich’ yang dimaksud banyak orang memang tidak mudah. Padahal belum tentu semua anak pertama akan berpikir membiayai keluarga mereka adalah beban. Mungkin tergantung keluarganya juga. Syukurnya Mas Malik mempunyai adik-adik yang bisa tahu diri, sadar kalau mereka cepat atau lambat harus bisa bertanggung jawab atas diri masing-masing.

Ternyata sesekali melakukan komunikasi jarak dekat memang sangat diperlukan. Mas Malik jadi tahu kalau dirinya tidak sepenuhnya menanggung tanggung jawab sendirian. Setelah mendapat kalimat-kalimat menenangkan dari adik-adiknya, membuat Mas Malik jadi lebih leluasa untuk mengambil keputusan kedepannya. 

“Makasih, ya….” Ujar Mas Malik sambil menatap lekat-lekat keenam adiknya.

“Jangan makasih mulu, Mas. Makasih itu kalau dikasih duit 5M. Kita aja gak pernah ngasih apa-apa ke Mas Malik kecuali kertas tagihan iuran dari TU.” 

Lagi-lagi celetukan Jerry membuat semuanya menepuk jidat. Itu fakta! Hidup jangan terlalu dibawa serius, nanti jadi kaku kayak tembok.

In the end
we only regret 
the chances we didn't take

Hanan hanya tidak ingin ada yang menyesal lagi seperti dirinya. Menyesal karena tidak membuat kesempatan yang tidak akan datang dua kali, bahkan sekalipun. 

Perihal Sandwich(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang