Juragan Risol

1.8K 213 7
                                    



“Abang sembur ya, Nan?!” 

Wajah Hanan yang sudah penuh dengan tepung terigu itu memelas. “Bang Eja, ampun, Bang… ini gara-gara Iyo bersin di baskom adonan Abang.”

Sebelum terjadi perang dunia, Jerry buru-buru ambil baskom itu dari tangan Hanan. Rutinitas membuat risol biasa mereka lakukan setiap seminggu tiga kali. Bang Eja yang memang sibuk mendalami usaha risol membuat adik-adiknya ikut turun tangan saling membantu. Bisa encok pinggangnya kalau mengerjakan semuanya sendirian, terlebih lagi ia juga biasanya akan menitipkan dagangannya itu ke kantin-kantin sekolah.

Suara bising dari ruang tengah menandakan pertandingan MotoGP sedang berlangsung. Rumah yang isinya didominasi oleh laki-laki membuat Abah tidak sungkan memperkenalkan berbagai macam olahraga pada anak-anaknya. Jafar, Janu, dan Malik terlihat antusias dengan pertandingan MotoGP yang iadakan di sirkuit Catalunya itu.

“Bang, kenapa Valentino Rossi mau pensiun?” 

“Abang gak tahu, Jaf. Kenapa, Bah?” Janu malah melempar pertanyaan itu pada Abah.

“Soalnya Rossi capek balap motor terus, kali-kali mau balap karung katanya, De,” jawab Abah sekenanya.

Suara tawa Janu dan Malik menggema, senang sekali rasanya melihat adik bungsunya yang polos dikerjai Abah. Siapa yang tidak kenal pembalap dunia itu? Dengan julukan the Doctor, Valentino Rossi telah membuat torehan sejarah yang patut di banggakan.

Sekarang ada dua hal yang Jafar sukai, moge dan luar angkasa. Bahkan sampai saat ini bocah itu masih sekolah menggunakan tas gambar astronot beserta gambar planet-planetnya. Boleh dibayangkan sendiri saat besar nanti kiranya Jafar akan berangkat sekolah dengan moge, tapi memakai helm astronot. Rasanya bagi Jafar mendengar suara motor itu saja sangat menyenangkan membuat dirinya merasa keren.

“Bang, kalau saya gosok ini terus keluar jin, Abang mau minta apa?” 

Bang Eja berpikir sejenak, lalu ia tatap lagi adiknya itu yang masih setia menggosokan tangannya ke kotak risol. Walaupun pertanyaan itu tidak masuk akal, tapi kalau adiknya yang satu itu tidak diladeni pasti akan tantrum berkepanjangan.

“Abang mau ibu balik lagi aja, sih,” katanya. “Eh, gak deh, Abang mau kita sehat dan bisa kayak gini terus.”

“Gini? Jadi juragan risol maksudnya?” 

Mas Malik terkekeh pelan, ia yang sedang memasukan kotak risol ke dalam freezer pun terlihat tertarik dengan pertanyaan itu.

“Kalau Mas maunya Abah nikah lagi, Nan. Kasian tuh Abah kesepian,” timpal Mas Malik.

Diam-diam Hanan perhatikan pintu kamar Abah yang sudah tertutup rapat. Benar bukan yang Mas Malik bilang? Abah pasti kesepian. Rasa itu memang tidak pernah dilontarkan atau malah bisa jadi Abah memang tidak mau mengungkapkan. Entah, tapi yang jelas siapa yang betah menjomblo? Hidup ini terlalu ajojing untuk dilalui sendirian tanpa ayank.

“Yasudah, saya tidur duluan ya, Mas, Bang.” 

“Lahh… lu mau tidur dimana?” tegur Bang Eja yang melihat arah jalan Hanan bukan ke arah kamarnya.

“Tidur bareng Abah atuh, Bang. Biar gak kesepian.”

Anak itu perlahan membuka pintu kamar Abah. Sebenarnya Hanan itu hanya ingin memastikan kalau genangan air di atas bantal Abahnya selama ini, semoga betulan air liur bukan air mata karena kesepian.

Sebelum Hanan benar-benar masuk, ia sempat membalikkan tubuhnya. “Kalau Anan maunya kita-kita aja, Mas, Bang. Anan gak mau kalau ada orang lain yang nambah jadi anggota. Anan juga gak siap kalau harus jadi bawang putih, males kalau diminta nyuci baju di kali, air kali Jakarta bau sampah.” 

Bang Eja berdecak keras. “Nan, mending lu masuk! Tidur sana! Adik yang lain udah tidur, lu doang yang masih melek.”

“Padahal dia tampangnya kayak orang bener,” Malik tertawa lagi.

“Muka julid dia juga cocoknya jadi bawang merah, sih.” ketus Bang Eja.

Meskipun saat di Bandung mereka sempat dirawat oleh nenek dari Abah, tapi saat Jafar usia 10 tahun nenek meninggal dunia, lalu Abah nekat untuk mencari keuntungan hidup di Jakarta. Kebayangkan gimana hecticnya Abah saat itu. Tapi tetap saja Abah tidak mau menikah lagi.

Mereka tahu maksud Hanan. Saat ibu mereka tiada setiap hari menjadi hari yang sulit dan berat. Terlebih lagi Jafar saat itu baru dilahirkan. Kalau boleh jujur, kalimat ‘kasih sayang ibu sepanjang masa’ memang benar adanya. Sosok ibu dalam hati seorang anak memang sangat melekat walaupun hadirnya sangat singkat. Kekurangan semua anak adalah tidak bisa memaksakan takdir untuk bisa dilahirkan dari keluarga yang selalu utuh tanpa kehilangan.

••••••••••••••••••

Subuh ini udara terasa lebih sejuk dari biasanya, mungkin karena semalam hujan sempat turun lumayan deras membasahi tanah ibu kota. Tidak seperti biasanya yang selalu disambut bau tidak sedap dari kali kotor pinggir jalan, pagi ini aroma tidak sedap itu seolah hilang entah kemana. Hanya ada bau tanah basah bekas guyuran hujan, aroma nasi uduk, dan aroma mie goreng instan yang semerbak membuat siapa saja ikut keroncongan.

Di atas kasur king size, ada tiga laki-laki setengah matang yang masih terduduk sedang mengumpulkan nyawa masing-masing. Janu sibakan gorden kamarnya, lalu jendela dua pintu dibuka lebar-lebar. Hawa sejuk yang mengenai kulit malah bikin Janu merinding, perutnya seperti dikocok, ia langsung berlari ke toilet.

Lain halnya dengan Jerry, ia malah sibuk menatap Hanan di ujung kasur. Perasaan tadi malam anak itu tidak ada di kamar mereka. 

“Gak jadi tidur sama Abah?” 

“Hmm? Gak, Abah ngorok, saya jadi susah tidur.”

Kamar berukuran sedang itu dihiasi dengan banyak printilan kesukaan milik Hanan, Janu, dan Jerry. Disebelah lemari baju ada gitar kesayangan Janu, di dinding atas dipan kasur ada lukisan pertama Hanan, dan di tembok dekat pintu masuk ada banyak cetakan foto hasil jepretan Jerry. Satu kamar 3 mimpi, itulah yang dapat merangkum suasana kamar mereka.

“Bang Ejaaaa!!! Bangunnnn!!!!” teriak Janu.

“Iyo, dasiku kemana?” tanya Jafar.

“Nan! Tolong masukin buku gue ke tas, ya.” pinta Jerry.

“Makanya cari pake mata, Jaf!” sewot Cahyo.

Mas Malik hanya tersenyum mendengar kehebohan adik-adiknya. Itu hal yang normal kan? Atau kerusuhan seperti itu hanya boleh dilakukan oleh anak yang masih memiliki ibu? Tapi bukannya kalau masih ada ibu semua akan disiapkan seapik mungkin? Sadar bahwa keenam adiknya sudah tumbuh dewasa, Mas Malik bangga. Ternyata adik-adiknya itu memang sudah mandiri sejak dulu. Walaupun pasti ada insiden baku hantam disela-sela persiapan pagi.

“Udah sana ke meja makan, sarapan sama yang lain. Biar Bang Eja urusan saya.”

Janu melenggang pergi keluar kamar, sedangkan Hanan dengan sifat jahilnya itu langsung terbesit satu ide. Ia ambil tari rafia yang sudah dibelah tipis-tipis, ia masukan tali itu ke dalam hidung Bang Eja, kemudian diputar-putar searah jarum jam.

“Man rubbuka….? Bang Eja, man rubbuka?”

“Iler Abang udah bisa dijadiin danau ini.” gumam Hanan memasang wajah geli.

Si target sepertinya masih bermimpi indah sebelum akhirnya semakin terusik karena musuh bebuyutannya itu. 

“Astaghfirullah, Hanan! Gue tonjok lu!” 

Bang Eja terduduk dengan mata sepet penuh belek. Lagi-lagi ia gagal menarik baju Hanan. Anak itu sudah berlari gesit keluar kamar. Sedangkan saudaranya yang lain hanya bisa tertawa dari meja makan.

“Emm… nasgor Abah wangi banget.” 

Saat semua anak sudah bosan dengan nasi goreng bawang yang setiap pagi pedas tumisan bawangnya menusuk hidung itu, berbeda dengan si bungsu. Jafar sepertinya akan selalu memberikan bintang lima untuk menu nasi goreng buatan Abah. 






Perihal Sandwich(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang