Jangan Sakit

2.7K 234 6
                                    





“Abah bangga sama kamu, Jan.” Sederhana, tapi pujian itu sangat berarti baginya.

Gimana rasanya bisa bahagiain Abah pas kita bisa jadi diri sendiri, Jan? Batin Hanan.

Senyum mereka tak tertahankan, selain bahagia karena mendengar pujian dari Abah, mereka juga bahagia karena mendapat traktiran makan malam dari Janu. Tadi saat jalan pulang dari Ancol, Janu sempat menelpon Abah untuk menanyakan menu makan malam apa yang Abah mau, dan ternyata udang saus tiram serta cah kangkung menjadi pemenangnya. Menu yang sepertinya tidak pernah ada di rumah selama dua puluh empat tahun Janu hidup.

Saat semua orang di meja mulai menyantap makanan dengan nikmat, lain halnya dengan Hanan yang baru mengambil nasi tanpa lauk. Keraguan terlihat jelas pada wajahnya. Lalu tiba-tiba orang disampingnya beranjak dari kursi ke arah dapur.

“Mau kemana, Bang?” 

“Mau masakin telor buat Hanan, Bah,” sahutnya.

Abah menatap Hanan. “Tolong hargai Janu, Nan. Makan yang ada, jangan pilih-pilih.” 

Tidak, Bah. Hanan bukan pilih-pilih, tapi mungkin Abah lupa. Pasti Abah hanya lupa, kan? Hanan terus meyakinkan dirinya kalau semua akan baik-baik saja. Diatas nasi hangat milik Hanan, dengan sadar Abah tuangkan udang beserta bumbunya lengkap dengan cah kangkung. Tidak ingin mengecewakan Abah, Hanan memakannya dengan lahap sebelum suapan ketiganya dicegah oleh Bang Eja. 

“Lu gila, ya?! Makan telor!” bentakan keras itu membuat semua orang di meja makan menatap Hanan. Nasi yang sudah berhamburan ke lantai membuat Abah geram, sorot matanya yang marah membuat semua menunduk takut.

“Kalian kalau mau bertengkar, boleh lanjut di kamar! Semua disini mau makan dengan tenang!” 

Dengan wajah merah padam menahan kesal, Bang Eja tarik tubuh Hanan ke kamar. Semua diam menatap kepergian mereka. Namun setelahnya, Mas Malik ingat akan satu hal, ia langsung buru-buru menyusul kedua adiknya sambil membawakan bungkusan plastik dari kamarnya.

“Hanan, liat Abang! Lu mau mati? Iya?!”

Anak itu hanya diam menunduk. Ia memang sudah dewasa sekarang, tapi bagi kakaknya Hanan tetaplah seperti anak kecil yang masih butuh dibimbing karena terlalu sering melakukan hal bodoh seperti tadi.

“Sabar, Ja.” kata Mas Malik yang baru saja masuk kedalam kamar.

“Saya gak papa, Bang. Abah bener, kok, kita harus hargain Janu.” Ia tatap wajah Bang Eja dan Mas Malik bergantian sambil menahan kebas pada lidahnya.

“Mas tau kamu pasti lagi nahan mual, maafin Abah karena lupa soal ini,” Mas Malik ikut merasa bersalah. 

“Abah gak salah, lagian kejadian itu udah lama banget, cuma kita bertiga, ibu, dan Abah yang tau. Dan saya udah gak pernah lagi nyentuh seafood semenjak itu,” jelasnya.

Namun siapa sangka kalau saat ini tubuhnya sudah mulai bereaksi. Debaran jantung mulai terasa sangat kencang, serta sesak mulai menyapa membuat kepala Hanan ikut pening dan perutnya seperti dikocok habis-habisan.

“Bang… saya cuma gak mau ngerusak kebahagiaan Janu,” lirihnya meremat kuat ujung baju Bang Eja menahan sesak yang merayap perlahan.

“Mas, bantu! Jangan diem aja!” 

Rasa mual sudah tidak bisa Hanan tahan, ia langsung berlari ke kamar mandi memuntahkan semua isi perutnya. Mas Malik ikut membantu memijat leher bagian belakang dengan minyak kayu putih. 

“Ke rumah sakit ya, Nan. Mas siapin motornya dulu, masih kuat jalan gak?”

Hanan menggeleng. “I’m good. Dibawa tidur juga enakan,” tolaknya sok kuat.

Perihal Sandwich(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang