“Yeh! Lu curang main ludonya!” Jerry ngambek, tangannya dilipat di dada sambil membelakangi Janu.
“Pitnah lu! Lu aja yang gak bisa mainnya!” sangkalnya membela diri. “Udah makan dulu sana! Turun ke kantin beliin gue sekalian.”
Terhitung sudah tiga hari Hanan masih betah memejamkan matanya. Jadwal ronda hari ini jatahnya Janu, Jerry, dan Bang Eja. Canda tawa yang mereka lakukan tadi bisa dibilang topeng belaka. Bagaimana tawa itu bisa terdengar menyenangkan kalau di depannya ada si pelawak asli yang masih terbaring lemah.
“Nan, lu liat gue! Kalo lu masih gak mau bangun, gue beneran ngambek gak mau lagi kesini!” Janu bicara sendiri sambil menarik satu kursi di sampingnya untuk mendekat ke kasur Hanan. Ia ambil jemari Hanan kemudian kembali dimain-mainkan.
“Bang! Kalau anak tengil ini sadar, gue nazar bakalan ajak dia ke art gallery yang baru buka kemarin itu,” ucap Janu serius. Tentu Bang Eja hanya bisa mendoakan dan mengaminkan.
Baru saja Janu ingin pindah posisi, namun pergerakan jari Hanan membuatnya terkesiap. Lenguhan kecil keluar dari mulut Hanan, kelopak matanya pun mulai bergerak untuk perlahan membuka matanya.
Dengan semangat 45. Janu terus memencet tombol urgent yang ada di dekat kasur Hanan. Ini bukan mimpi ‘kan? Hanannya telah kembali. Satu perawat serta Dokter masuk ke ruangan itu, mereka mulai memeriksa Hanan untuk memastikan kondisinya.
“Alhamdulillah, pasien mulai membaik. Tolong jangan terlalu banyak diajak bicara dulu,” kata Dokter tersebut yang langsung keluar ruangan.
“Jan,” panggil Hanan dengan suara yang masih terdengar lemas. Janu tersenyum hangat sembari mengusap air matanya yang sempat jatuh ke pipi. “Iya, gue disini.”
Mendengar suara itu membuat tawa kecil keluar dari mulut Hanan. “Kali ini saya beneran mergokin kamu nangisin saya, Jan.”Janu mendengus sebal membuat Bang Eja tersenyum. Anak itu benar-benar susah di tebak. Manusia mana yang saat sadar malah meledek saudaranya sendiri karena menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perihal Sandwich(End)
RandomTidak ada yang mau memiliki adik sebanyak Mas Malik. Apalagi di zaman modern serba uang. Rasanya untuk membiayai hidup sendiri saja sudah sulit. Namun, bagi Mas Malik ke-enam adiknya adalah anugerah besar dalam hidupnya. Kami tujuh bersaudara dari u...