01. Awal Yang Buruk

1.4K 44 0
                                    

"Jika aku adalah bintang, maka aku akan mengabulkan permintaanmu di setiap detik kamu berdoa."

-

"KAK VEGAL!"

Teriak Ferani mengejar Vegalta yang sudah jauh dari pandangannya, langkah kaki Ferani mulai memelan. Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Melakukan kegiatan tersebut berulang-ulang kali.

"Kak Vegalta, kok nggak nungguin gue sih. Udah tau sepeda gue kempes masih aja ditinggalin. Gini amat punya kakak, nyebelin!"

"Siapa yang nyebelin?"

Plak!

Refleks Ferani menampar Gio menggunakan buku yang ia genggam. Laki-laki yang baru saja keluar dari arah kantin itu membuatnya kaget.

"Lo tuh kenapa ada dimana-mana sih? Heran, perasaan gue nggak melet lo, deh. Kenapa lo ngintilin gue terus?!" Kesal Ferani. Menghentak-hentakan kedua kakinya, layaknya anak kecil.

Gio memutar bola matanya malas. "Jangan kepedean lo jadi cewek, gue mau pulang. Cuma kebetulan liat lo ngos-ngosan sambil nyerocos nggak jelas disini. Makanya gue samperin lo, eh malah di tampar! Udah gitu keras banget lagi."

Ferani memanyunkan bibirnya, "Ya maaf, gue 'kan nggak tau. Lagian kenapa sih lo tuh ngagetin gue, untung nggak jantungan. Kalo gue jantungan, emang lo mau tanggung jawab?"

"Ya nggak lah. Ngapain gue tanggung jawab? Orang gue nggak ngehamilin lo," jawab Gio menyengir kuda, menampilkan deretan giginya yang putih.

Ferani melotot horor ke arah Gio. Melayangkan tangannya hampir menampar Gio untuk yang kedua kalinya, namun tangan Gio menahan tangannya itu sebelum mendarat ke pipi mulusnya. "Eits, santai dong. Gue 'kan cuma becanda."

"Becanda mata lo katarak! Gimana kalo beneran kejadian?" Ketus Ferani menatap Gio sinis.

Dengan santainya Gio menjawab. "Ya kalo beneran, gue gas lah. Gue mau kok jadi suami lo, tenang aja haha ..."

"IHH GIOVANI!!" teriak Ferani kesal, apalagi melihat Gio yang kini sudah melarikan diri dari hadapannya. Sudah dipastikan jika Gio masih berada di dekatnya saat ini, maka tubuhnya akan habis oleh pukulan Ferani yang tidak tanggung-tanggung.

***

Vegalta memarkirkan motornya di garasi tempatnya menyimpan kendaraan. Laki-laki itu turun dari motornya melirik ke seluruh garasi, dan matanya tertuju kepada sepeda milik Ferani yang kempes, ia tersenyum sekilas, lalu masuk ke dalam rumahnya.

"Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumsalam. Loh Vegalta, Ferani mana?" tanya Naima, Mamah Vegalta dan Ferani.

Vegalta yang hendak menaiki tangga pun menghentikan langkahnya sejenak. Ia menoleh ke arah Naima, lalu menjawab. "Nggak tau."

"Kok nggak tau sih, 'kan kalian satu sekolahan. Jangan bilang kamu tinggalin dia di sekolah? Vegalta! Mamah 'kan sudah bilang, sepeda Ferani belum di bawa ke bengkel, jadi kamu berangkat dan pulang sekolah bareng Adik kamu!"

Vegalta mengepalkan tangannya dibalik hoodie hitam yang ia kenakan. "Nggak. Dia bukan Adik aku, Mah. Please! Jangan manjain anak pungut itu, dia udah gede. Dia udah tau jalan pulang sendiri."

"Vegalta! Jaga ucapan kamu!" tegur Naima dengan tatapan tajamnya.

Vegalta hanya bisa tersenyum tipis menanggapi teguran Mamahnya itu, tanpa menjawab apapun lagi, Vegalta mulai melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya, melempar tas ranselnya asal. Dan berbaring, membayangkan wajah kesal Adiknya.

Tidak-tidak. Bukan Adiknya, melainkan Adik angkatnya. "Ferani Syahila. Selamanya gue nggak akan ngebiarin hidup lo bahagia, lo udah dapatin kebahagiaan lo sejak kecil, dan kini ... giliran gue yang berhak bahagia."

Setalah mengatakan itu, Vegalta memejamkan matanya. Berusaha menghilangkan kekhawatiran yang ia rasakan, namun entah kepada siapa ia merasa khawatir seperti ini?

Disisi lain Ferani tersenyum sumringah, karena sudah sampai di komplek perumahannya. Gadis itu turun dari angkutan umum dan memberikan ongkos satu lembar kepada sang supir.

"Aduh, Neng. Ini uangnya kelebihan. Bapak nggak ada kembaliannya," ujar Supir tersebut mengembalikan uang merah milik Ferani.

Gadis itu tersenyum ramah. "Kembaliannya buat Bapak aja, anggap aja itu sedekah. Makasih ya Pak, tadi udah nolongin saya dari copet."

"Ya ampun, hatur nuhun. Semoga Allah membalas kebaikan, Neng. Lebih dari apa yang Neng berikan."

"Aamiin, makasih Pak atas Do'anya," ucap Ferani mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, mengaminkan.

Setelah itu Ferani berjalan kaki ke arah rumahnya dengan senyuman manisnya. Tanpa ia ketahui, seorang Pria bertubuh tegap mengikutinya dari belakang. Orang itu mengeluarkan handphonenya dari saku celananya, memotret Ferani dari belakang.

Cekrek!

18:01:2023

Gelombang Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang