“Jangan percaya dengan apa yang kau dengar karena omongan tidak selalu benar, tapi percayalah dengan apa yang kau lihat karena dengan melihat faktanya kau jadi bisa menilai mana yang salah dan mana yang benar.”
-
Tampilan dekorasi dengan nuansa sederhana telah mereka selesaikan hingga sampai petang hari. Keluh kesah yang mereka hadapi telah berakhir dengan hasil yang memuaskan. Lampu kerlap-kerlip mereka nyalakan berbarengan dengan suara terompet keberhasilan, terlihat sederhana namun bermakna.
Pemuda pemudi yang berada di ruangan sempit itu, menyatukan tangannya satu sama lain sebagai pertanda jika usahanya kini telah selesai terlaksanakan.
“Gue nggak sabar deh, liat reaksi kak Vegalta saat tau kita bikin surprise kayak gini.” Lani menyatukan kedua tangannya dengan pose halusinasi.
“Pasti seneng dong,” ucap Ferani yang kini menata bunga mawar di atas meja makan.
Hinton merangkul bahu keduanya. “Btw makasih ya, kalian udah mau bantuin gue sama temen-temen.”
Ferani melirik Hinton melepaskan rangkulannya, mengikis jarak di antara keduanya. “Seharusnya gue yang bilang makasih sama lo, and temen-temen yang lain juga udah bela-belain bolos sekolah cuma mau bikin kejutan buat kakak gue.”
“Kita 'kan bestie. Ya nggak, cuy?” Hinton melirik Rangga dan Regi meminta persetujuan.
Mereka menganggukkan kepalanya kompak, dengan senyuman membanggakan. “Yoi, bro!”
Ferani menganggukkan kepalanya, mengiyakan. “Ngomong-ngomong kak Vegalta nya udah di kontek belum?”
“Belum. Nanti aja pas orang tua lo pada dateng kesini, biar Vegalta nggak nunggu lama. Kebetulan mereka lagi on the way ke sini.”
Ferani mengangguk, mengerti. Sebelum acaranya berlangsung, ia menyempatkan waktu untuk memotret dekorasi yang telah di siapkan. Tidak lupa ia juga mengajak Lani dan Susi untuk mengambil beberapa foto bersamanya.
Sedangkan di sisi lain Vegalta tengah termenung di pinggiran lapangan. Laki-laki itu mengacak rambutnya frustasi, memikirkan pertengkaran antara dirinya dan Hinton tadi pagi.
Bukan hanya tentang sahabatnya, ia juga tengah kacau karena belum bertemu dengan Ferani, adiknya. Padahal jam pulang sudah berakhir dua jam yang lalu. Tetapi Vegalta belum menemukan dimana keberadaan mereka saat ini.
Kaki jenjangnya melangkah menuju ruangan OSIS, berharap Ferani berada di ruangan organisasi tersebut. Mengingat jika Ferani adalah bagian dari anggota pengurus OSIS itu sendiri.
Brakh.
Pintu terbuka dengan kerasnya. “Ferani mana?!”
Pertanyaan to the point yang keluar dari mulut Vegalta spontan membuat seluruh anggota pengurus OSIS menganga lebar. Termasuk Genan yang kini memimpin sebuah rapat organisasi.
“Lo mau apa kesini?” tanya Genan kepada Vegalta yang memasuki ruangannya tanpa izin.
“Ferani mana?” Bukannya menjawab Vegalta malah balik bertanya.
Genan mengernyitkan dahinya, melihat ke semua anggotanya yang tampak bingung dengan kehadiran Vegalta saat ini. “Lo bisa lihat 'kan? Ferani nggak ada disini.”
“Lagian kalo ada, mah. Udah dari tadi nyamperin lo kali. Lagian lo aneh, lo sendiri kakaknya, malah nanyain ke gue.” sambungnya.
“Gue datang kesini cuma mau nyari Ferani, bukan mau nyari ribut,” ucap Vegalta sarkasme.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelombang Rasa [SELESAI]
Novela Juvenil14/01/23. Hidup dalam rengkuhan badai diselimuti ombak mengerikan bukanlah keinginannya, namun itu sebuah takdir yang Tuhan tetapkan untuk Ferani. Bagaimana rasanya jika mempunyai kakak yang sama sekali tidak menganggap Adiknya ada? Sakit? Tentu. Da...