18. Merasa Terabaikan

181 9 0
                                    

“Seorang bodyguard akan berhenti mengawasimu, ketika kamu sudah mendapatkan penjaga yang lebih baik darinya.”

-

Vegalta sudah sampai ke rumahnya, dengan Ferani yang berada di belakangnya. Gadis itu turun dari motornya, melempar tatapan kesal ke arah kakaknya.

“Loh, kalian hujan-hujanan? Sepeda kamu kemana, sayang?” Naima menyambut kedua anaknya yang baru saja pulang sekolah. Wanita paruh baya itu celingak-celinguk, mencari keberadaan sebuah benda milik Ferani.

“Di kedai kopi. Nanti Hinton yang bawa kesini, ban nya kempes. Vegalta suruh dia buat benerin sepedanya ke bengkel,” jawab Vegalta mewakili Ferani yang tidak bisa berucap apa-apa.

Naima menghela napas panjang. “Sepeda kamu sering kempes, maklum umurnya sudah tua, Fer. Kamu nggak mau ganti? Pakai motor atau mobil? Mamah bisa belikan untukmu, nak.”

Ferani menggeleng-gelengkan kepalanya, menolak. “Nggak, Mah. Ferani nggak mau pakai motor, takut jatoh kayak waktu itu.”

Naima tersenyum, mendengar tolakan halus dari anaknya. Ternyata gadis itu belum bisa melupakan kejadian yang menimpa dirinya sewaktu belajar naik motor.

“Ya sudah, Mamah tidak akan memaksa. Tapi kalau kamu mau ganti kendaraan, Mamah siap belikan,” ucap Naima yang di angguki oleh Ferani.

“Aku ke atas dulu ya, Mah. Udah nggak tahan, pengen ganti baju.” Ferani menggigil, kedinginan.

“Ya ampun sayang, Mamah hampir lupa. Ya sudah kamu mandi terus istirahat. Kamu juga Vegalta, mandi air hangat, lalu istirahat.”

“Iya, Mah.”

Mendengar perintah Naima keduanya sama-sama menaiki tangga. Mereka berpisah saat hendak membelokkan badannya, memasuki kamar yang berbeda.

Sekilas Ferani melirik ke arah Vegalta. Tersenyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya memasuki kamar.

***

Semilir angin menerpa wajahnya. Gadis itu menguap, sesaat. Ia ketiduran di ruangan perpustakaan dengan jendela yang terbuka.

“Udah bangun?” tanya Genan yang tiba-tiba berada di sampingnya. Gadis itu tersenyum, kaku. Membenarkan rambut pirangnya yang berantakan.

“Kok, lo ada disini? Nggak masuk?” tanya Ferani menutup jendela perpustakaan.

“Nggak. Kebetulan kelas gue jam kos, terus iseng aja ke sini buat baca buku. Eh pas udah selesai baca, gue lihat lo tidur disini,” ucap Genan yang di angguki oleh Ferani.

“Hmm ... sekarang jam berapa?” tanya Ferani kepada Genan yang sibuk membolak-balikkan buku bacaannya.

“Masih jam setengah sepuluh, sebentar lagi istirahat.” Genan melirik jam tangannya sekilas, lalu menatap Ferani yang hanya diam membisu.

Keduanya sama-sama diam hingga akhirnya Hani datang, menyerahkan beberapa lembar kertas di atas meja. Gadis itu bersedekap dada, menatap Ferani dan juga Genan, bergantian.

“Ini kak, proposal yang kemarin. Gue udah edit waktu dan tempatnya. Lo bisa cek sendiri, oh iya. Kalau ada yang perlu di rubah, lo tinggal bilang aja ke gue.” Hani memasang senyum palsu di hadapan keduanya, padahal dalam hatinya ia merasa kesal dengan kehadiran Ferani yang berada di perpustakaan.

Aneh juga Ferani yang notabenenya badgirls berada di kawasan  perpustakaan. “Lo disini juga? Ngapain?”

Ferani mengernyit. “Ke gue? Kak?”

Hani menganggukkan kepalanya. Menjatuhkan bokongnya di sebelah Genan yang sedang mengecek beberapa kertas proposal.

“Ya iyalah, ke lo. Masa ke pot bunga, ya kali!” ucapnya memutar bola matanya malas.

“Lagi baca buku,” ucap Ferani membuat Genan terkekeh kecil.

“Baca buku atau tidur?” celetuk Genan mendapat pelototan tajam dari Ferani.

Gadis itu tersenyum, kikuk. Merasa malu dengan Genan yang sedari tadi tahu kalau dirinya datang ke perpustakaan bukan untuk membaca buku, melainkan tidur. Sebab ruangannya yang terasa tenang dan sunyi, menenangkan isi pikiran dan hati.

Genan mengalihkan pandangannya ke arah Hani. “Simpen di lo dulu ya, Han. Gue mau ke kantin dulu.”

“Fer, ke kantin yu.” Ajakan Genan sontak membuat Ferani mengerjap-ngerjapkan matanya.

“A-ayo,” ucap Ferani gugup. Gadis itu beranjak dari duduknya, berjalan beriringan dengan Genan.

Hani meremas kertas proposal yang dibuatnya semalam. Gadis itu mereka terabaikan oleh kakak kelasnya, Genan. Padahal ia sudah berusaha semalaman untuk menyelesaikan tugasnya, hal itu ia lakukan untuk mendapat rasa empati dari Genan.

Lantas kini, apa yang dia dapatkan? Hanya ke acuhan darinya. “Aghh! Sia-sia gue begadang semaleman. Kalo ujung-ujungnya, kertas sampah ini balik lagi ke tangan gue!”

Dengan rasa kesal Hani meninggalkan ruangan perpustakaan. Menyusul Ferani dan Genan yang sedang berada di kantin.

Melihat Natalie yang sedang berada di kantin. Hani mendekatinya, lalu duduk di samping gadis itu. Natalie Margaretha, bendahara OSIS yang selalu bersama Hani saat istirahat tiba.

“Tumben ke kantin sendirian? Nggak sama kak Genan? Atau kak Seto?” tanya Natalie yang melihat temannya cemberut.

“Gue belum lihat kak Seto. Kalau kak Genan, noh!” tunjuk Hani ke meja kantin paling pojok, terdapat dua insan yang saling bercanda gurau. “Sama Adek kelas yang kemarin baru gabung OSIS.”

Natalie menganggukkan kepalanya, paham. Mengingat dirinya dengan Hani tidak satu kelas, membuat keduanya tidak mengetahui kegiatannya satu sama lain.

Namun mereka tetap bersama dalam lingkup organisasi. Natalie mengusap punggung Hani, seraya berkata. “Keliatannya mereka deket, deh.”

Hani mendengkus kesal. “Iya emang deket. Gue kesel deh sama dia! Semenjak dia masuk OSIS, kak Genan udah jarang sosialisasi sama kita-kita. Lo ngerasa nggak sih, Ferani itu membawa pengaruh buruk sama kak Genan?”

Natalie mengetuk-ngetuk dagunya, berpikir. “Gue nggak tau, Han. 'kan gue nggak terlalu merhatiin mereka.”

“Lo cemburu, Han?” tanya Natalie menatap wajah Hani yang terlihat salah tingkah.

“E-enggak.”

“Jangan bohong, Han. Gue lihat dari kelas sepuluh, lo sering cari perhatian sama dia, 'kan?”

Hani terdiam membisu. Tak lama kemudian ia melihat Seto yang ikut bergabung di meja Ferani dan Genan. Saat itu juga Hani menyeringai.

“Lo bener, Nat. Gue jatuh cinta sama Kak Genan. Dari dulu, dari mulai gue masuk OSIS.” Hani bersedekap dada, menatap ketiga orang yang berada di meja pojok kantin dengan tatapan yang sulit di artikan.

“Dan saat gue tau ... kak Genan, adalah Kakaknya Agnes. Sahabat kecil gue yang udah nggak ada di sisi gue lagi.”

25:01:23

Gelombang Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang