16. Sikapnya Berubah Dingin

158 11 0
                                    

“Jika katak memanggil hujan untuk turun. Maka aku memanggilmu untuk mengajarkan arti dalam etika sopan santun.”

-

Ferani sudah siap dengan seragam sekolahnya. Tangannya kini membuka tas ransel yang melekat di samping tubuhnya. Mengambil selembar kertas, lalu memberikannya kepada Hendra dan Naima.

“Ya ampun, surat peringatan apa ini? Dari kapan kamu membuat masalah di sekolah?!”

“Ihh Mamah! Ini tuh surat izin, bukan surat peringatan.” Ferani bersedekap dada, menatap Naima dengan tatapan kesalnya.

Naima mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. “Kamu ikutan OSIS?”

Ferani menganggukkan kepalanya, antusias. “Iya, Mah. Boleh 'kan? Kemaren juga yang nelpon Mamah itu kakel aku. Dia ketos nya.”

Wajah Naima berubah drastis, dari yang tadinya tersenyum lebar. Kini tersenyum masam, membuat Ferani sedikit tersentak dengan perubahan raut wajahnya.

“Kenapa, Mah?” tanya Hendra menyadari tatapan istrinya yang berbeda.

Naima menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mamah izinin kamu buat ikutan OSIS. Tapi Mamah tidak mengizinkan kamu untuk bermain lagi dengan laki-laki itu, cukup kemarin saja. Jangan lagi!”

Nada peringatan dari Naima membuat dahi Ferani berkerut. “T-tapi, Mah—.”

“Turutin aja apa yang Mamah bilang, bisa nggak sih! Kan kemarin gue juga udah bilang. Lo nggak usah ikutan OSIS!” Vegalta turun dari tangga kamarnya. Laki-laki itu menatap Ferani dengan tatapan tajam.

“Kenapa? Aku ikutan OSIS juga karena aku mau memperbaiki nilai, memperbaiki diri aku untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Mah, please. Aku nggak ngerti maksud Mamah bilang gitu,” ucap Ferani butuh penjelasan yang pasti.

Naima tetap diam mematung. “Mamah tidak menyukai laki-laki itu.”

Ferani menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini tidak masuk akal. “Mamah aneh, deh. Pah boleh 'kan aku ikutan OSIS?”

“Boleh sayang. Kamu boleh ikutan organisasi, selagi itu membuat kamu senang. Tapi untuk berdekatan dengan laki-laki itu Papah tidak mengizinkannya.”

“Kenapa?” tanya Ferani menjeda ucapannya. “Kenapa kalian semua ngelarang Ferani untuk jauhin Kak Genan, Kak Genan punya salah apa? Padahal dia baik.”

“Dia tidak sebaik apa yang kamu kira, Ferani!” sentak Naima penuh penekanan.

Ferani menghela napas panjang. Kemudian ia menyalami tangan kedua orang tuanya. Menatap Vegalta, kecewa. Entah kenapa ia menjadi tambah kesal dengan kakaknya itu.

***

Suasana kantin terlihat ramai akan anak-anak murid yang mengisi perutnya dengan berbagai makanan. Ferani beserta teman-temannya duduk tak jauh dari tempat duduk Vegalta dan teman-temannya.

“Kak Vegalta, tuh. Fer!” seru Lani melihat Vegalta yang kini memakan jajanan kantin.

“Terus?” tanya Ferani acuh.

“Lo nggak samperin dia gitu? Minta jajan, kek. Apa kek,” ucap Susi yang di angguki oleh Lani.

“Nggak lah, ngapain. Kita udah dapet jatah masing-masing.” Ferani memakan roti bakar yang berada di hadapannya, tanpa memperdulikan tatapan Lani dan Susi yang terlihat kebingungan, melihat sikap Ferani yang cuek seperti itu.

“Kak Genan!” teriak Lani melambaikan tangannya.

Atensi Ferani beralih kepada seseorang yang berada di belakang tubuhnya. Terlihat Genan dan Seto yang celingak-celinguk mencari meja kosong.

“Kalian nggak kebagian tempat duduk ya?” tanya Lani yang di angguki oleh Genan dan Seto.

“Kita kurang gercep, jadi lapak kita ditempati sama anak kelas lain,” jawab Seto yang menggaruk-garuk kepalanya.

“Kalian duduk bareng kita aja. Boleh 'kan, Fer? Sus?” Lani melirik kepada kedua temannya, meminta izin.

Susi menganggukkan kepalanya, mengiyakan. Sedangkan Ferani hanya diam tak menjawab.

“Duduk aja, kak. Nggak papa,” ucap Lani tanpa memperdulikan tanggapan Ferani yang kini hanya diam, tanpa suara.

Genan duduk di sebelah Ferani, sedangkan Seto duduk bersebelahan dengan Lani. Mereka memesan makanannya, lalu menunggunya beberapa saat di meja kantin yang sudah di sediakan.

“Fer, lo kenapa sih diem mulu dari tadi. Ada masalah?” tanya Susi yang merasa aneh dengan Ferani.

Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak papa.”

Lani memutar bola matanya malas. Kebiasaan cewek kalau ditanya kenapa, pasti akan menjawabnya nggak papa.

Ferani menghela napas gusar. Gadis itu menatap kakaknya yang juga menatapnya dengan tatapan tajam. Ferani dilema di tatap seperti itu, ia merasa suasana di kantin seakan berbeda dari biasanya.

Ferani bangkit dari duduknya. “Gue ke kelas duluan.”

“Eh, Fer. Gue 'kan belum selesai makannya!” kilah Lani membuat langkah kaki Ferani berhenti sejenak.

“Kalian habisin aja makanannya. Gue duluan,” ucap Ferani meninggalkan kantin.

Sepeninggalan gadis itu, Lani dan Susi saling tatap satu sama lain. Genan pun merasa ada yang aneh dengan sikap gadis itu saat ini.

“Temen lo, kenapa sih?” Pertanyaan tersebut keluar dari mulut Seto.

“Gue juga nggak tau, dari tadi Ferani cuma diem aja. Di kelas juga sama, kita ajak ngobrol, dia cuek. Mungkin lagi pms kali,” ujar Lani mengedikkan bahunya acuh.

Mereka melanjutkan acara makannya. Hingga tanpa sadar Genan memperhatikan Ferani dari awal ia duduk berdampingan degannya.

Ferani kayak ngehindar gitu. Tapi ... kenapa?

24:01:23

Gelombang Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang