“Banyak hati yang tersakiti demi menggapai sebuah misi yang belum tuntas aku jalani.”
-
Pertandingan bola basket telah selesai terlaksanakan. Para siswa maupun siswi yang tadi berteriak-teriak heboh kini sudah berhamburan, masuk ke kelasnya masing-masing. Melanjutkan jam pelajaran yang sempat tertunda karena di adakannya pertandingan olahraga antar kelas.
Vegalta mengernyitkan dahinya heran ketika melihat sosok gadis yang ia kenal sebagai Adiknya — Ferani, beranjak dari kursi penonton. Gadis itu mengembangkan senyumannya, memberikan sebotol minuman ke arah Hinton — sahabatnya.
“Kak Hinton, pasti haus 'kan? Nih, gue bawain air minum, biar nggak haus lagi.” Tangan kanannya memberikan minuman yang di bawanya, sedangkan tangan kirinya mengeluarkan tisu guna mengelap keringat yang membanjiri seluruh wajah hingga tubuhnya.
“Eh ... M-makasih,” ucap Hinton merasa gugup.
“Iya, kak. Lo juga keringetan, boleh gue lap keringetnya?” Izin Ferani yang langsung mendapatkan anggukan kecil dari Hinton.
Aktivitas tersebut tidak luput dari pandangan Vegalta dan juga team basket yang lainnya. Mereka cukup kaget atas perlakuan Ferani yang perhatian kepada Hinton. Bukan hanya itu, bahkan para suporter yang tadinya heboh akan permainan, kini dihebohkan dengan kedua insan yang saling bermesraan di tengah lapangan.
Vegalta mengepalkan tangannya, menahan amarah. Menoleh ke arah Regi yang merangkul bahunya.
“Ck, ck. Gila bener tuh si Hinton, musuh dalam selimut dia. Diam seperti patung bergerak bikin orang serangan jantung, btw lo nggak kaget lihat kemesraan mereka yang tiba-tiba itu?” Regi menaik turunkan kedua alisnya, memancing amarah Vegalta yang sudah kian memuncak.
Laki-laki itu tidak banyak bicara, ia hanya berdecak sebal, lalu melempar bola basketnya ke arah Hinton dan Ferani. Meninggalkan lapangan dengan perasaan campur aduk.
Ferani dan Hinton sontak tersentak kaget mendapati bola basket yang hampir mengenai kelapanya. Jika saja Hinton tidak menahan bolanya, mungkin bola tersebut sudah dapat melukai kepala Ferani saat itu juga.
“Siapa yang lempar bola kesini?!” sentak Hinton kepada orang-orang yang berada di belakangnya.
“Vegalta. Gue lihat mukanya kayak kesel banget liat Ferani ngelapin keringet lo,” jawab Regi jujur. Laki-laki itu berlari ke arah kelasnya, menemui Vegalta.
Hinton menoleh ke arah Ferani. “Lo balik ke kelas, nggak enak dilihatin orang-orang. Lagian lo kesambet apaan tiba-tiba baik sama gue, heh.”
Ferani tersenyum tipis. “Ya mau aja, emang nggak boleh?”
Laki-laki yang penuh dengan keringat itu terdiam cukup lama, hingga akhirnya ia menggelengkan kepalanya, tidak tahu. Seulas senyuman terbit di bibir mungil Ferani, gadis itu memberikan sapu tangan yang berada di genggaman tangannya kepada Hinton.
“Lo lap sendiri aja, gue mau balik ke kelas. Bye!”
Hinton meneguk salivanya kasar. Melihat team nya yang sudah berhamburan ke kelasnya masing-masing. Ia bernapas lega sebelum akhirnya ia tersenyum manis, mengingat betapa perhatiannya Ferani beberapa detik yang lalu.
***
Langkah Ferani berhenti ketika tubuhnya di hadang oleh Lani dan Susi yang kini berada di toilet perempuan. Susi bersedekap dada, begitupun dengan Lani yang melakukan hal yang sama.
“Ada hubungan apa, lo sama Kak Hinton?” tanya Lani dengan nada mengintrogasi, serta kilatan mata yang penuh akan kekecewaan.
Ferani menggigit bibir bawahnya gugup. “G-gue—.”
“Lo tau 'kan kalau gue suka sama dia sejak lama? Terus kenapa lo juga ikut-ikutan deketin dia, Fer? Apa lo juga suka sama Kak Hinton? Lo suka sama dia, hah!” bentak Lani sudah cukup ia bersabar saat menyaksikan keromantisan sahabatnya dengan pujaan hatinya di lapangan.
Ferani meremas baju seragamnya, gugup. Antara bingung dan takut, gadis itu hanya diam terpaku di tempatnya saat ini. “B-bukan gitu, Lan. Gue—.”
“Lo mau ngeles, Fer? Basi. Gue udah terlanjur kecewa sama lo. Gue benci sama lo, Fer! Gue benci!” bentak Lani menunjuk-nunjuk wajah Ferani yang pucat pasi.
Lani berlari ke arah perpustakaan meninggalkan Ferani yang terdiam mematung, Susi yang tau akan situasi seperti itu menimbang-nimbang, kemana ia akan ikut? Kepada Ferani atau Lani? Ia bingung. Benar-benar bingung, karena keduanya adalah sahabat baiknya.
Tetapi kini yang paling membutuhkannya mungkin Lani, tapi ia juga tidak tega meninggalkan Ferani yang masih terdiam membisu.
“F-fer, gue nggak tau harus bilang apa sama lo. Tapi gue minta maaf, gue harap dugaan Lani salah tentang lo yang suka sama Kak Hinton. Gue pergi, jaga diri baik-baik, Fer. Gue sayang sama lo,” ucap Susi pasrah, meninggalkan Ferani yang kini meneteskan air matanya.
Padahal niatnya mendekati Hinton agar lelaki itu dapat mempercayainya, bahwa ia menunjukkan sikap yang lebih untuk lelaki itu agar rahasia keluarganya cepat terbongkar. Namun ia salah, ia salah besar karena sudah menyakiti hati Lani.
Ferani lupa jika Lani mencintainya, sebelum ia mendekatinya. “Agghhhh kenapa gue bisa lupa gini sih. Lani harus denger penjelasan gue, ya. Dia nggak boleh salah paham tentang kejadian tadi. Gue harus temuin dia sekarang.”
Kaki jenjangnya berlari tergesa-gesa menyusul kedua sahabatnya yang berada di perpustakaan. Ia akan menjelaskan kepada Lani bahwa rencananya mendekati Hinton, bukan dia suka kepadanya. Namun ia sedang mencari kebenaran yang melibatkan dirinya serta keluarga Hinton.
Entah berhasil atau tidak, tetapi Ferani akan selalu berusaha agar mendapatkan hasil yang maksimal. “LANI! LO DIMANA! GUE MAU NGOMONG SAMA LO!”
Teriakan Ferani menyita perhatian siswa siswi yang sedang berada di dalam perpustakaan. Kegiatan membaca buku mereka berhenti kala Ferani datang dan teriak-teriak mencari sahabatnya.
Ferani menundukkan kepalanya, malu. “Sorry.”
21:02:23
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelombang Rasa [SELESAI]
Fiksi Remaja14/01/23. Hidup dalam rengkuhan badai diselimuti ombak mengerikan bukanlah keinginannya, namun itu sebuah takdir yang Tuhan tetapkan untuk Ferani. Bagaimana rasanya jika mempunyai kakak yang sama sekali tidak menganggap Adiknya ada? Sakit? Tentu. Da...