"Tidak semua yang terlihat baik di mata, akan baik di hati. Contohnya banyak yang bersikap sebagai para pahlawan, padahal dalam hatinya ia menyimpan beribu-ribu kebohongan."
-
Para murid kelas 10 IPS C tampak bosan mendengarkan Pak Anggara yang menerangkan berbagai materi pelajaran. Ferani yang sedari tidur pun terganggu dengan lemparan penghapus, tepat mengenai kepalanya.
"Heh kamu! Yang duduk di bangku pojok, Ferani. Kamu berniat sekolah atau tidur?!"
Ferani terbangun, duduk tegap dengan tatapan linglung. Melirik kepada Lani dan Susi yang kini menepuk-nepuk jidatnya.
"Ferani!"
"Aaa ... iya, Pak. Kenapa?" tanya Ferani mengerjap-ngerjapkan matanya, mengambil kesadaran penuh.
Pak Anggara tampak kesal dengan pertanyaan yang di lontarkan Ferani kepadanya. "Kenapa kamu bilang? Kamu tidak lihat saya masih berada di kelas ini? kenapa tidur di saat jam pelajaran masih berlangsung, Ferani Syahila."
Ferani tampak gelagapan, keringat dingin membasahi ujung pelipisnya. "A-aku-."
Kring—
Ferani menghela napas. Akhirnya istirahat tiba, membuat Pak Anggara yang hendak menghukum Ferani gagal. Pria paruh baya itu menatap Ferani dengan tatapan serius.
"Kali ini kamu selamat, jika pada pelajaran berikutnya kamu tidur lagi, mau tidak mau kamu harus siap menerima hukuman dari guru mata pelajaranmu, paham?!"
Ferani menundukkan kepalanya, "P-paham, Pak."
Pak Anggara menghela napas panjang. Membereskan buku-bukunya yang berserakan di atas meja. "Baik, mungkin hanya itu yang dapat saya sampaikan. Minggu depan kita akan lanjut lagi pelajaran yang sempat tertunda kali ini, saya akhiri. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh!" jawab semua muridnya serentak.
Ferani memukul kepalanya, menatap kedua sahabatnya dengan tatapan kesal. "Kalian kok nggak bangunin gue sih?"
"Mau bangunin gimana, orang lo nya aja tidur kayak orang mati. Jangankan gerak napas aja seret," elak Lani menutup mulutnya, kemudian terkekeh kecil.
"Iya, bener! Makanya, Fer. Kalo malem itu pake tidur, bukan malah nonton drakor," timpal Susi mengejek Ferani yang sedari dulu memang suka dengan film drama Korea pada malam hari.
Menurutnya malam adalah sebuah anugerah yang Tuhan berikan untuknya. Dan lagi, malam adalah sebuah kenikmatan yang membuat pikirannya tenang, serta waktu yang tepat untuknya traveling.
"Ah kalian mah gitu, jahat banget sama gue. Ntar kalo gue di hukum sendirian, gimana?" Ferani melipat kedua tangannya di depan dada, bersikap cuek kepada kedua sahabatnya.
Peletak.
Susi menggeplak kepala Ferani. "Kebanyakan drama, lo."
Lani berdiri dari duduknya, menarik tangan Ferani serta Susi berbarengan. "Ke kantin, kuy!"
Ketiga perempuan itu pun berjalan beriringan menuju kantin. Namun belum sampai ke tempat yang di tuju, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil nama Ferani beberapa kali.
"FER! TUNGGU!"
"Ferani!" teriak Hani sang kakak kelas sekaligus wakil ketua OSIS di tempatnya bersekolah, kini ia berlari mengejar Ferani yang berada tak jauh dari pandangannya.
Ferani membalikkan badannya. "Kenapa, kak?"
Hani mengatur napasnya, ngos-ngosan. Ia menepuk pundak Ferani, berbicara lirih. "K-kak Vegalta sama kak Genan ... berantem!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelombang Rasa [SELESAI]
Teen Fiction14/01/23. Hidup dalam rengkuhan badai diselimuti ombak mengerikan bukanlah keinginannya, namun itu sebuah takdir yang Tuhan tetapkan untuk Ferani. Bagaimana rasanya jika mempunyai kakak yang sama sekali tidak menganggap Adiknya ada? Sakit? Tentu. Da...