28. Bimbang

135 7 0
                                    

“Jangan berharap setinggi langit, jika tidak ingin kecewa sedalam lautan.”

-

Sepulang sekolah Ferani mengajak kedua temannya untuk bermain ke rumahnya, karena kedua orang tuanya yang bekerja ke luar kota. Sedangkan Vegalta bermain bersama teman-temannya.

“Lo serius kak Vegalta seorang pembunuh? Kok aneh, semua kasusnya nggak ada di internet?” tanya Lani yang berada di atas ranjang milik Ferani, sambil menatap layar ponselnya dengan seksama.

Susi yang tadinya fokus ke arah layar laptop miliknya pun mengangguk. “Sama. Gue juga udah cek ke semua sosmed nggak ada jejak apapun selain kasus pembunuhan yang udah lama beredar.”

Ferani menghela napas panjang, bahkan ia juga sudah mengecek seluruh internet yang ada. Namun hasilnya nihil, ia tidak bisa mencari tau kasus tentang pembunuh yang kakaknya lakukan satu tahun yang lalu.

“Lo udah tanya nyokap sama bokap lo? Kali aja mereka nutupin sesuatu sama lo.” Susi menatap Ferani yang terlihat gelisah.

“Semenjak kejadian tadi malam, gue diemin mereka gitu aja. Pas pagi juga gue langsung berangkat tanpa berpamitan sama mereka, gue masih kecewa, Sus. Mereka juga nelpon gue berkali-kali, tapi gue abaikan.”

Kedua sahabatnya memeluk Ferani erat. Menyalurkan rasa sedihnya melewati dekapan hangat keduanya.

“Lo nggak boleh sedih, Fer. Kita di sini buat lo, kok.” Susi mengusap punggung Ferani, ikut sedih atas masalah yang kini Ferani hadapi.

Gadis itu meneteskan air matanya terharu. Apalagi merasakan tangan Susi dan Lani berusaha menenangkannya.

“Kita nggak akan kemana-mana, Fer. Lo tenang aja, kita cari tau tentang kasus kak Vegalta sama-sama.” Lani menghapus air mata Ferani, memeluk sahabatnya itu begitu dalam dan erat.

“M-makasih, Sus. Lan.”

****

Genan berjalan menuruni tangga, duduk bersebelahan dengan Sania yang kini sedang mengelus-ngelus perutnya yang membuncit. Genan tersenyum melihatnya.

“Genan boleh request nggak, Mah? Dede bayi nya mau cewek.” Izin Genan menyunggingkan senyuman manisnya.

Sania menggelengkan kepalanya. “Apapun jenis kelaminnya, kamu harus menjaganya. Menyayangi, mengasihi serta mencintainya dengan sepenuh hati. Mamah tidak berjanji, kalau keinginan kamu itu dapat terkabul dengan mudah.”

Genan mengerucutkan bibirnya, lesu. “Hmm ya udah deh, apa aja. Yang penting bayi Mamah selamat, sehat, dan banyak rezekinya.”

Wanita paruh baya itu terkekeh geli. Menepuk lengan Genan dengan gelengan kepala beberapa kali. “Aamiin ... kamu ini, Gen. Ada-ada saja.”

“Oh iya, tumben kamu di rumah, nggak main ke luar?” tanya Sania sedikit heran dengan anak bujangnya itu.

“Males, Mah. Lagian temen aku 'kan cuma Seto, dia mah nggak suka main di luar paling suka main game online.”

“Sama saja kayak kamu,” ucapnya tertawa menggelikan.

Genan menggaruk-garuk tengkuk lehernya, lalu mengangguk mengiyakan. Setelah itu Sania kembali menatap Genan, laki-laki itu membuka layar ponselnya guna memeriksa notifikasi yang bermunculan di sana.

“Kamu udah lama nggak bawa Ferani ke sini, kenapa?” tanya Sania membuat Genan terdiam sejenak, menghela napas gusar.

“N-nggak papa, kok. Dia sibuk, 'kan sebentar lagi ujian kenaikan kelas. Jadi dia harus fokus belajar,” ucap Genan berbohong.

Sania menganggukkan kepalanya. “Ohh gitu ya, kirain dia nggak mau main lagi kesini. Mamah kangen banget sama dia tau, kapan-kapan kalau dia nggak sibuk, kamu bawa dia kesini ya, Gen.”

Tanggapan laki-laki itu hanya diam tanpa mengeluarkan suara membuat Sania mengernyitkan keningnya, bingung. “Kamu kenapa? Genan.”

“Nggak papa, Mah.”

Sania menghela napas panjang. “Yasudah, Mamah ke atas dulu ya. Tumben banget siang-siang gini Mamah udah ngantuk. Kamu kalau mau main ke luar bilang dulu ya, biar Mamah nggak nyariin, kalau kamu nggak ada di rumah.”

Genan hanya membalas ucapan Sania dengan anggukan kecil saja, menatap nanar punggung wanita paruh baya itu yang kini menaiki anak tangga, menuju kamarnya.

Tangan Genan mengepal kuat, bergumam. “Apa Mamah akan sayang sama Ferani setelah tau kalau dia Adik dari Vegalta?”

Laki-laki itu mengacak rambutnya frustasi. Ia tidak mau menyakiti Mamahnya, namun ia juga tidak bisa menutupinya lebih dalam. Kalau Ferani adalah bagian dari keluarga Hendra Gunawan.

Genan selonjoran di sofa ruang tamu. Menyalakan televisi untuk menghindari kekhawatirannya dengan cara mencari hiburan tersendiri.

08:02:23

Gelombang Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang