“Sudah lama pergi, lalu datang kembali tanpa ada kata permisi dengan embel-embel menepati kata janji?”
-
Tekad Melina untuk pulang ke Indonesia sudah bulat, namun untuk mencapainya tidak lah mudah untuk ia lalui. Bergelut dengan rasa malu dan rasa takut dalam waktu yang bersamaan itu sangatlah sulit ia gapai.
Sepulang dari bandara, Melina berniat langsung datang ke rumah sahabatnya — Naima. Berharap jika ia tidak pindah dari tempat tinggalnya dahulu.
“Kamu nggak papa sendirian? Mending istirahat dulu, ini juga udah larut malam.” Bram sedikit cemas sebab Melina keras kepala ingin menemui sahabatnya.
Katanya jika belum berjumpa dengan Naima, hatinya resah. Bahkan selera istirahatnya saja tidak terasa tenang. Seperti ada hal yang mengganjal, layaknya tumpukan bebatuan yang menghalangi ruang kebahagiaan untuknya saat ini.
“Tidak Mas. Aku kepikiran terus, aku ingin cepet-cepet menemui Naima.” Melina terlihat tergesa-gesa, mencari kunci mobil yang baru saja ia beli tadi siang sebelum dirinya sampai di bandara Soekarno Hatta.
Bram menghela napas panjang. “Ya sudah terserah kamu, aku capek, mau istirahat di kamar dulu.”
Melina menganggukkan kepalanya. “Aku titip Cesare ya, Mas.”
Bram mengangguk sambil berjalan ke arah Melina, mencium puncak kepala istrinya penuh kasih sayang. “Iya, hati-hati sayang. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku.”
“Siap.”
Usai berpamitan kepada suaminya, Melina langsung pergi ke alamat yang di tuju. Sepanjang perjalanan ia terus merapalkan do'a, berharap Naima tidak kecewa atas kedatangannya yang mendadak.
Tok.
Tok.
“Assalamualaikum!!”
Melina terlihat gelisah, entah benar atau salah alamat yang dikirimkan bodyguardnya kepadanya. Yang pasti sekarang ia seperti sudah di alam akhirat, menunggu antrian timbangan yang akan menimbang amal-amalannya. Tolong, saat ini saja, Melina membutuhkan banyak oksigen untuk bernapas dengan teratur.
“Ass—”
“Wa'alaikumsalam, cari siapa ya malem-malem beg— Melina?!”
Deg!
Naima tidak melanjutkan perkataannya karena terlanjur shock atas kedatangan Melina di hadapannya.
“Nai ... ini aku, Melina,” lirih Melina merentangkan tangannya, mempersilahkan sahabat lamanya untuk memeluk tubuhnya.
Naima tidak bergeming, ia malah menutup mulutnya tidak percaya. “E-enggak, ini pasti aku ngigo ... kamu bukan Melina, e-enggak!”
Naima menggelengkan kepalanya, hendak menutup pintunya, namun di tahan oleh Melina.
“Kamu nggak ngigo, Nai! Ini aku, Melina. Tolong kasih aku kesempatan untuk bicara sama kamu, please!”
Keduanya saling menatap satu sama lain. Naima yang menatap Melina penuh kekecewaan, sedangkan tatapan Melina penuh akan harapan.
“Kamu sukses buat aku terkejut, Mel!” sentak Naima memeluk tubuh Melina penuh kerinduan.
Melina membalas pelukan Naima diiringi dengan air mata yang bercucuran. “Maafkan aku, Nai. Aku tidak bermaksud untuk mengejutkan dirimu. Tidak ada pilihan lain, aku kepikiran kalian ... dan anakku.” Melina menjeda ucapannya. “Dimana dia sekarang?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelombang Rasa [SELESAI]
Roman pour Adolescents14/01/23. Hidup dalam rengkuhan badai diselimuti ombak mengerikan bukanlah keinginannya, namun itu sebuah takdir yang Tuhan tetapkan untuk Ferani. Bagaimana rasanya jika mempunyai kakak yang sama sekali tidak menganggap Adiknya ada? Sakit? Tentu. Da...