34. Masuk Perangkap

157 13 0
                                    

“Menaburkan duri di dalam lautan sama saja menaburkan racun di dalam gelas, tidak terlihat karena larut akan kedalamannya.”

-

Netra cokelatnya kini menangkap sosok dua pemuda yang berada di hadapannya, tepatnya di parkiran. Ferani melambaikan tangannya dengan gerakan lambat. Gadis itu berlari menghampirinya, tanpa memperdulikan tatapan Susi dan Lani yang memperhatikan langkah Ferani yang kian menjauh dari pandangannya.

“Kak Hinton! Tunggu!” teriakan Ferani mampu mengejutkan keduanya.

Hinton dan Regi refleks menoleh ke belakang, melihat ke arah Ferani berbarengan, kini keduanya saling menatap satu sama lain seakan-akan saling melempar beberapa pertanyaan lewat lirikan matanya.

“Gue boleh nebeng sama lo?” tanya Ferani hati-hati, takut Hinton akan menolaknya.

Regi mengernyitkan keningnya. “Nggak sama Vegalta aja? Bukannya kalian tinggal serumah, pasti se arah dong?”

Ferani menghela napas panjang. “Kak Vegalta katanya mau latihan basket, jadi lama. Gue males nunggunya, kalian nggak latihan juga?”

Regi menggeleng-gelengkan kepalanya. “Gue mau langsung balik, mau nganter Mamah gue belanja.”

“Kalau lo, kak?” tanya Ferani kepada Hinton bergantian.

Laki-laki itu menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. “Gue mau pulang aja, mager latihan mulu, toh pertandingannya juga udah selesai.”

Ferani manggut-manggut mengerti. Regi berpamitan kepada keduanya karena sejak tadi Mamahnya terus saja menelponnya, menyuruh laki-laki itu agar segera pulang.

Di parkiran hanya ada Hinton dan Ferani yang sama-sama berdiri di bawah pohon rindang.

“Lo jadi nebeng sama gue?” tanya Hinton memecahkan keheningan.

Ferani celingak-celinguk, takut Vegalta melihatnya. Dirasakan sudah aman, Ferani menganggukkan kepalanya. “Ayo, kak. Kalo lo nggak keberatan.”

Hinton tersenyum tipis. “Nggak, sama sekali.”

Ferani menaiki motor hitam Hinton meninggalkan lingkungan sekolahnya. Tanpa mereka ketahui Vegalta berada di belakang mereka dengan kedua tangan yang terkepal erat.

Sandine. Yang menjadi bagian dari team basketnya, menyenggol lengan Vegalta pelan. “Adek lo tuh, pacaran sama temen lo, Veg?”

Vegalta mengeraskan rahangnya tegas. “Nggak!”

Mendengar nada dingin Vegalta membuat bulu kuduk Sandine merinding. “O-oh ... kirain pacaran, hehe ...”

Sandine beringsut menjauh. “Gue pulang duluan ya, Veg. Kamis depan kita latihan lagi, jangan lupa ajakin  Hinton sama Regi juga, kita bakalan ikut pertandingan bola basket besar-besaran tingkat nasional minggu ini.”

Vegalta hanya mampu menghela napas panjang. Berjalan ke arah parkiran, melupakan sejenak atas penglihatan yang baru saja ia tonton beberapa detik yang lalu. Sebelum menancapkan gas motornya, laki-laki itu melirik sekitar. Ujung matanya tidak sengaja melihat Genan yang berdiri di ruang khusus organisasi.

Seringai tipis terbit di sudut bibir lancipnya. Lelaki itu terkekeh melihat ekspresi Genan yang sama dengannya, menahan amarah. Terlihat dari tatapan matanya yang memerah, serta tangan yang mengepal kuat. Menatap lekat sebuah gerbang yang di hiasi angin lewat.

“Kayaknya bukan gue aja yang marah lihat Hinton sama Ferani boncengan, tapi babu sekolahan pun ikut merasakannya, ha-ha ...”

Jika ada orang yang melihat Vegalta  tertawa tanpa sebab seperti ini, sudah dipastikan orang itu akan menganggap Vegalta merasukan, atau mungkin mengira dia gila.

Gelombang Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang