"Bertahan untuk tidak marah itu tidaklah mudah, butuh kekuatan untuk melawan agar mulut tetap diam, tindakan tetap sopan dan hati yang tidak menyimpan rasa dendam."
-
Vegalta mengacak rambutnya frustasi. Sudah hampir malam Ferani tidak keluar-keluar dari kamarnya, membuat keluarganya panik sekaligus bertanya-tanya akan masalah apa yang tengah mereka hadapi saat ini.
"Maaf ... Mah, Pah. Rumah kalian berantakan akibat kami berdua," lirih Vegalta menundukkan kepalanya.
Hendra menepuk pundak Vegalta. "Ini bukan kesalahan kamu, Vegalta. Kamu berhak emosi. Papah juga akan terus selidiki siapa dalang dibalik ini semua."
Vegalta menatap balkon kamarnya dengan tatapan kosong. "Tapi, Pah. Ferani udah tau semuanya. Dan bahkan dia nggak mau lagi bicara sama aku. Dia benci, kecewa dan aghhh ... Semuanya salah Vegalta!"
Naima memeluk tubuh Vegalta, mencoba menenangkan. "Mungkin Ferani masih shock mengetahui hal ini, Veg. Mamah nanti yang akan berbicara baik-baik sama dia, kamu jangan nangis kayak gini dong. Masa jagoan Mamah nangis."
Vegalta menyeka air matanya, sepulang sekolah dirinya dan Ferani bertengkar hebat dan berujung Ferani yang mengunci dirinya di dalam kamar, sedangkan Vegalta menangis, hingga datang kedua orang tuanya dari kantornya masing-masing.
Melihat Vegalta menangis, mereka tidak tinggal diam. Keduanya pun menghampiri anak sulungnya dan meminta penjelasan atas kemarahan Ferani kepadanya. Setelah bercerita, kedua orang tuanya pun paham akan kejadian satu tahun yang lalu. Yang menyebabkan keluarga Hendra seketika di rundung permasalahan.
"Papah kenapa tidak menjebloskan aku ke penjara?" tanya Vegalta tidak habis pikir dengan Hendra. Seharusnya ia marah dan kecewa karena mengetahui anaknya membuat nyawa orang melayang.
Apalagi sikap Vegalta yang tidak ada kata sopan saat berbicara dengan Hendra. Akan tetapi lelaki paruh baya itu malah menutup semua permasalahan ini dalam sekejap, bahkan membuat keadaan yang harusnya goyah malah seperti baik-baik saja.
"Keluarga Fahmi tidak ada apa-apanya di bandingkan keluarga kita. Mereka berhutang budi sama Nenek Malo. Bahkan hidupnya bergantung dengan keluarga kita, lagian kamu tidak salah, Vegalta. Kejadian satu tahun silam hanya sebuah kesalahpahaman." Hendra menjeda ucapannya, menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan.
"Bukannya kamu sendiri yang ngotot kalo kamu tidak bersalah?"
Vegalta tampak bungkam setelah mendengar penjelasan Hendra. Laki-laki itu tertegun sesaat, hingga akhirnya Naima mengelus puncak kepalanya.
"Sudah malam, sebaiknya kamu tidur dan istirahat. Mamah tau kamu lelah karena terlalu banyak menguras energi hari ini."
Vegalta tersenyum tipis. "Makasih, Mah, Pah."
Cup
Naima mengecup puncak kepala Vegalta. Laki-laki itu mematung, terakhir kali Naima mengecupnya saat dirinya berumur tiga tahun, sebelum kedatangan Ferani yang merenggut kebahagiaannya.
Namun kini ia merasakan kecupan tulus dari ibunya itu kembali. 'Senang sekali' pikirannya.
Hendra menepuk pundak Vegalta. "Semangat! Papah akan selalu mendukung setiap langkah yang kamu ambil. Belajarlah untuk menjadi laki-laki dewasa, nak."
Naima menyelimuti tubuh Vegalta, membiarkannya untuk tidur. Setelah itu kedua orang tuanya pun keluar dari kamarnya. Beralih ke kamar Ferani, berharap gadis itu mau mendengarkan nasehat darinya.
Sedangkan di balik selimut yang menutupi tubuhnya, Vegalta melengkungkan sudut bibirnya membentuk senyuman tipis.
Makasih, Mah, Pah. Ternyata selama ini kalian tidak melupakan Vegalta. Hanya saja Vegalta yang egois dan terlalu iri sama Ferani, padahal dia tidak salah apa-apa.
Dia hanya korban, batin Vegalta berkata demikian. Lalu ia memejamkan matanya, terlelap menerjang alam mimpi.
***
Sedangkan di balik dinding kamarnya, Ferani tengah uring-uringan di atas ranjang, dengan kedua kelopak matanya yang sembab akibat banyak mengeluarkan air mata.
Ferani memukul-mukul sebuah boneka beruang yang kini berada di dalam dekapannya, diiringi dengan rintihan tangis yang belum juga mereda.
"Lo kenapa tega banget sih, kak. Gue nggak nyangka lo sejahat itu ... gue kira cuma ke gue aja lo bersikap kasar kayak gini, ternyata sama Agnes juga. Bahkan lo bunuh dia, dosa apa gue punya kakak pembunuh kayak lo!"
Tok
Tok
Ferani terdiam, mendengar pintu kamarnya yang diketuk beberapa kali dari luar. Samar-samar ia mendengar Naima memanggil namanya.
"Ferani, sayang! Buka dulu pintunya. Mamah mau bicara," ucapnya lirih.
Tangan Ferani mengepal kiat, ia enggan membuka pintu kamarnya. "Mamah tidur aja. Ferani nggak mau di ganggu!"
"Sayang!" Kini Hendra yang memanggil, membuat Ferani meneguk salivanya gugup.
"Buka pintunya, kita mau masuk!"
Ferani menggeleng. "Enggak! Ferani mau sendiri, Pah, Mah. Tolong jangan ganggu Ferani dulu, tolong kalian ngertiin Ferani untuk malam ini saja."
"Tapi kamu belum makan. Sayang," sahut Naima, kedengarannya wanita paruh baya itu merasa cemas dengan Ferani yang tidak mau membuka pintu kamarnya.
Hendra mengelus-elus punggung Naima. "Mah, besok saja kita bujuk Ferani nya. Ini sudah malam, mungkin Ferani juga cape, dia perlu istirahat."
"Ferani butuh waktu untuk menenangkan pikirannya," lanjutnya menoleh ke arah Naima.
"Tapi Pah—"
"Sut ... dia pasti baik-baik saja," bisik Hendra yang di angguki oleh istrinya itu.
"Ya sudah sayang, kita tidak akan memaksa. Istirahat yang tenang, Mamah dan Papah menyayangimu!"
Hendra tersenyum, mencium kening istrinya penuh kasih sayang. Membawa wanita paruh baya itu ke ruangan kamarnya yang berada di pantai bawah.
Sedangkan di dalam kamar Ferani, gadis itu kembali menumpahkan air matanya, merebahkan tubuhnya menatap langit-langit.
"Maaf, Pah, Mah. Ferani juga sayang kalian," gumam Ferani menyeka air matanya.
Kedua matanya menutup sempurna, berharap ia bisa tidur dengan nyenyak. Namun sialnya perkataan Genan beberapa jam yang lalu terngiang-ngiang kembali di kepalanya, seakan-akan ia terus menghantui pikirannya, membuat Ferani mengacak rambutnya frustasi.
Lo bodoh, Fer. Lo harusnya sadar! Seorang kakak yang selama ini lo banggakan adalah seorang pembunuh. Pembunuh!
Pembunuh ...
Pembunuh ...
Pembunuh ...
"ARGGHH!!" teriak Ferani beranjak dari duduknya, membanting semua barang-barang yang berada di meja riasnya. Menangis kembali, dan duduk di pinggiran ranjang.
Memukul-mukul kepalanya guna menghilangkan sebuah bisikan yang menghantui pikirannya. "Gue harus lakuin sesuatu, ini nggak bisa di biarin. Gue nggak mau setres kayak gini!"
Ferani mengambil handphonenya, membuka aplikasi internet dan mencari sesuatu di sana. Membuka seluruh artikel pembunuhan yang terjadi di sekolahnya.
Namun tidak di temukan tanda-tanda pembunuhan atau sejenisnya. Bahkan sekolahnya menginjaki predikat tertinggi serta menempati ranting sekolah keunggulan yang menjadi sekolah pavorite di kalangan publik.
"Ini aneh, benar-benar aneh. Semua kasus kak Vegalta nggak ada di mana-mana." Ferani menggeleng, tidak habis pikir dengan semua berita yang ia cari saat ini, nyaris semua berita tidak ada yang tertulis nama Vegalta adalah seorang pembunuh.
Ferani tampak berpikir, menatap tirai jendela kamarnya degan tatapan kosong. "Gue ragu sama lo, kak. Gue bingung harus percaya apa nggak sama lo setelah ini?"
Semuanya begitu mengejutkan, rasanya seperti mimpi. Batin Ferani.
03:02:23
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelombang Rasa [SELESAI]
Fiksi Remaja14/01/23. Hidup dalam rengkuhan badai diselimuti ombak mengerikan bukanlah keinginannya, namun itu sebuah takdir yang Tuhan tetapkan untuk Ferani. Bagaimana rasanya jika mempunyai kakak yang sama sekali tidak menganggap Adiknya ada? Sakit? Tentu. Da...