“Suatu masalah pasti ada jalan keluarnya, dan semua perjuangan pasti akan ada hasilnya.”
-
Ferani berjalan cepat menyusul Hinton yang berada di lapangan basket. Beruntung Vegalta tidak masuk sekolah hari ini, akibat kesiangan. Jadi dengan leluasa Ferani bisa bertanya banyak pada Hinton, yang notabenenya sahabat dekat kakaknya.
“Kak Hinton!” teriak Ferani menghentikan pergerakan Hinton yang hendak melangkah, mengambil bola basket.
Laki-laki membalikkan badannya menatap Ferani, kebingungan. “Kenapa?”
Menghela napas gusar, lalu menatap manik mata Hinton serius. “Gue mau ngomong sesuatu sama lo, tapi nggak disini.”
“Ikut gue ...” lanjutnya, menarik pergelangan tangan Hinton menuju taman belakang sekolah yang cukup sepi.
Sontak hal itu membuat pola pikir Hinton kalang kabut, samar-samar ia mendelik tajam ke arah Ferani, mewaspadai perlakuan gadis itu kepadanya.
“Lo kenapa natap gue kayak gitu? Kak, biasa aja kali. Gue nggak akan ngelakuin hal-hal buruk ke lo, kok.”
Hinton menghela napas lega. Akhirnya Ferani menjelaskannya sendiri tanpa di minta penjelasan darinya. “To the point. Gue nggak punya banyak waktu sekarang, bentar lagi gue ekskul basket.”
Ferani mendengkus sebal, sejauh ini ia baru mengetahui fakta jika Hinton tipikal cowok yang tidak sabaran. “Oke, gue juga nggak punya banyak waktu buat ngomongin ini ke lo. Tapi gue cuma memastikan sesuatu yang berkaitan dengan sekolah ini, dan juga lo, sebenarnya lo tau 'kan tentang pembunuhan Kakak gue ke Agnes satu tahun silam?”
Deg.
Jantung Hinton berdegup kencang, bagaimana rahasia itu bisa cepat terungkap oleh Ferani? Padahal beberapa pihak telah mengubur permasalahan ini dalam-dalam.
“L-lo tau dari siapa soal pembunuhan itu?” tanya Hinton menghilangkan rasa gugupnya.
Dengan santainya Ferani menjawab. “Kak Genan. Dia bilang Kakak gue pembunuh, apa bener?”
Hinton tampak terdiam membisu, entah harus bohong atau jujur. Kegelisahan menyerang dirinya secara tiba-tiba, seluruh pikirannya tiba-tiba kosong atau bisa di katakan ngebleng.
“Kapan dia bilang gitu sama lo?” tanya Hinton menatap manik mata Ferani serius.
“Beberapa hari yang lalu, setelah pertengkaran mereka di lapangan. Dan gue tau semuanya saat berada di ruang UKS.” Ferani memegangi membuang wajahnya ke arah lain, sakit sekali jika mengingat kejadian hari itu.
Otak Hinton berjalan cepat dan yah. Hinton mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, mengakibatkan dirinya dan Regi kebingungan atas perubahan sikap Vegalta kepadanya. Dan ia baru menyadarinya sekarang, kejadian hari itu adalah penyebab frustasinya Vegalta akhir-akhir ini.
“Dimana Vegalta sekarang?” tanya Hinton yang hanya di jawab gelengan singkat dari Ferani.
“Kesiangan,” ucapnya terkesan tidak peduli.
Hinton melangkahkan kakinya, hendak meninggalkan Ferani di taman belakang sekolah. Akan tetapi Ferani merentangkan tangannya, menghalangi tubuh tegap lelaki berbaju olah raga itu.
“Apa lagi?”
“Gue belum selesai.” Ferani mendekat ke arah Hinton. “Setau gue kasus ini cukup strategis dan membawa pengaruh buruk ke semua orang-orang yang berada di sekitarnya. Tapi kenapa kasus kak Vegalta tidak tersebar luas? Bahkan di sekolah pun gue nggak dengar isu-isu pembunuhan seorang siswi perempuan? Well.”
Sorotan mata elang milik Hinton tercetak jelas di hadapan Ferani, bahkan gadis itu merasa merinding melihatnya. Namun sebisa mungkin ia merubah ekspresi wajahnya agar terlihat baik-baik saja.
“Gue nggak tau soal itu. Yang jelas keluarga lo berusaha keras merahasiakan semuanya, memanipulasi semua siswa-siswi dengan omong-omong jika Agnes dinyatakan pindah sekolah. Menutup mulut para saksi dengan berbagai ancaman.”
“Lo tau semuanya?” tebak Ferani penuh harap.
Gagalnya Hinton menggelengkan kepalanya, membuat bayangan Ferani tentangnya menghilang begitu saja. “Gue nggak mau ngungkit-ngungkit masa lalu.”
Ferani terdiam sejenak. Ia memikirkan bagaimana kejadian membahayakan seperti ini dibiarkan begitu saja? Seberapa kuasanya keluarganya hingga mampu membuat semua saksi menutup kasus kakaknya dengan rapi?
“Gue balik ke lapangan, sebaiknya lo pulang juga, Fer. Bentar lagi hujan.”
Sebenarnya Ferani ingin banyak bertanya ini-itu kepada Hinton. Namun laki-laki itu seperti snagat sibuk untuk sekarang, ia harus pergi ke lapangan bergabung bersama teman-temannya yang mengikuti ekskul basket. Mungkin lain waktu ia akan membicarakan lebih kepada Hinton mengenai kejadian satu tahun ke belakang.
Dengan rasa penasaran Ferani mulai mencari-cari lebih dalam atas apa yang orang lain rahasiakan kepadanya. Bukan hanya orang lain, bahkan keluarganya pun ikut andil dalam ini.
Belum sempat Ferani melangkah, nada dering dari ponselnya mampu membuat rencananya buyar seketika.
“Hallo ... kenapa?”
“Lo kamana aja sih, Fer! Kita tungguin di parkiran nggak ada, dicariin di ruang OSIS nggak ada. Di perpustakaan juga nggak ada, lo ngilang kemana ogeb!”
Lani mengomel terus terang di dalam sambungan teleponnya. Ferani yang mendengar ocehan sahabatnya itu meringis, bersalah.
“Gue tadi ke kelas dulu, ada yang ketinggalan. Bentar lagi gue ke parkiran, tungguin!” Bohong Ferani memutuskan sambungan teleponnya.
Dengan langkah kaki terburu-buru Ferani berlari menuju parkiran, menemui sahabatnya yang sudah pasti mengomel-ngomel kesal kepadanya.
Bugh.
Sial! Bukannya sampai di parkiran ia harus tersungkur ke belakang akibat menabrak punggung seseorang yang berada di hadapannya. Salahkan dirinya yang fokus menatap layar handphone tanpa memperhatikan gerakan langkahnya.
“Aduh ... bukannya di bantuin malah di diemin!” gerutu Ferani tidak menyadari jika seseorang yang ia tabrak adalah orang yang kini menghindarinya.
Deg.
Tatapan keduanya bertemu. Ferani bangkit dari duduknya, menatap pasang mata sang ketua OSIS itu dengan tatapan datar. “Sorry.”
Genan Fatnon Falues. Laki-laki itu hanya berdehem sebagai jawaban, lalu mengalihkan pandangannya pada tumpukan kertas yang terjatuh akibat Ferani yang menubruknya tadi.
“Biar gue bantuin,” ucap Ferani merasa bersalah.
“Nggak perlu,” ketus Genan merebut paksa kertas proposal yang berada di genggaman tangannya.
Ferani menghela napas jengah, tidak mau berlama-lama di depan ruangan OSIS, gadis itu segera pergi dari hadapan Genan tanpa ada kata pamit atau semacamnya.
“Ferani kenapa? Kok aneh, mukanya datar banget, lagi. Kayak belum mendapatkan hidayah gitu,” celetuk Seto yang baru saja keluar dari ruangan OSIS diikuti Hani di belakangnya.
Genan memutuskan untuk berjalan ke ruang kantor, memberikan sebuah pengajuan ke sekolah bahwa akan ada program baru dari anggota OSIS untuk kemajuan sekolahnya. Tanpa memperdulikan ucapan Seto yang menurutnya tidak penting untuk di jawab.
“Mereka berantem? Ya. Kok diem-dieman kayak gitu?” bisik Seto sekaligus bertanya kepada Hani.
Sang wakil ketua OSIS hanya menampilkan senyuman tipisnya, senang jika Genan mulai menjauh dari Ferani. “Nggak tau.”
Seto menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal, antara bingung dan penasaran dengan perubahan sikap Genan kepada Ferani yang terlihat berbeda dari biasanya.
Hani berjalan mendahului Seto, mengejar Genan yang sudah jauh dari pandangannya.
“WOI TUNGGUIN GUE DONG!!”
16-02-23
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelombang Rasa [SELESAI]
Teen Fiction14/01/23. Hidup dalam rengkuhan badai diselimuti ombak mengerikan bukanlah keinginannya, namun itu sebuah takdir yang Tuhan tetapkan untuk Ferani. Bagaimana rasanya jika mempunyai kakak yang sama sekali tidak menganggap Adiknya ada? Sakit? Tentu. Da...