42. Kebenaran

191 11 1
                                    

“Dan pada akhirnya kebohongan akan terungkap dengan adanya keyakinan. Batin bisa memilih, sedangkan raga hanya bisa bersembunyi karena takut akan keadaan yang kian menanti."

-

Seluruh keluarga Aglanarta tercengang mendengar pernyataan yang ditorehkan Melina. Naima yang sedari tadi memperhatikan pun berjalan mendekati kerusuhan yang diciptakan oleh sahabatnya itu.

“Ibu salah orang mungkin saya—”

“Kamu anak saya, Ferani. Ini Ibu,” ucap Melina menangkup wajah Ferani dengan air mata yang bercucuran.

“Aku tidak mengenalimu. Ibu pasti salah orang.”

“Tidak—”

“Melina!” sentak Naima ketika tangan Ferani ditarik paksa oleh Melina agar ia bisa leluasa untuk mendekapnya.

Melina terkekeh, menatap Naima dengan sorot mata tajam. “Naima. Tolong jelaskan pada anakku, jika dia memang benar darah dagingku!”

Naima terdiam membisu. Entah apa yang harus ia lakukan sekarang, semua orang menatapnya penuh minat. Bahkan  seluruh teman-teman Vegalta yang hadir pun ikut serta dalam acara peresmian ini.

“Mel—”

“Katakanlah kejujuran itu, walaupun terasa pahit,” potong Melina menatap Naima dengan keyakinan penuh.

Naima menghela napas panjang, menggenggam tangan Ferani dengan air mata yang bercucuran. Mungkin inilah saatnya Naima melepaskan Ferani untuk kembali kepada sosok Ibu kandungnya.

“Fer—”

“Mah... Dia bukan Ibuku 'kan?”

Naima meneteskan matanya, menahan sesak. Begitu juga dengan Melina yang kini mengepalkan tangannya, merasa sakit ketika anaknya tidak menganggapnya ada.

Meski memang benar adanya. Tapi hati tidak bisa untuk dibohongi. “D-dia Ibumu Fer.”

Deg!

Semua pasang mata tertuju kepada Ferani, Naima dan Melina. Semua para tamu undangan tampak shock mendengar kebenaran dari Naima.

“Jadi aku—”

“A-aku anak pungut Mamah?”

Air mata Ferani tidak dapat terbendung lagi. Ia menangis tanpa suara, membekap mulutnya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya.

“Fer—”

“AKU BENCI SAMA KALIAN!” teriak Ferani keluar dari rumah.

Naima hendak mengejar Ferani. Namun ditahan oleh Melina, “Biarkan dia sendiri.”

“Kamu gila?! Dia pasti sakit hati karena ucapanku barusan!”

Melina menganggukkan kepalanya, mengerti. “Aku lebih sakit, karena kamu tidak pernah memperkenalkan aku sebagai Ibunya.”

Naima terdiam sambil mengepalkan tangannya, menahan rasa sesak di dadanya. Vegalta yang tahu akan keadaan genting seperti ini dengan cepat berlari keluar rumah, mengejar Ferani yang kini menangis di tepi jalan.

“FER!” teriak Vegalta menahan tangan Ferani agar berhenti.

“K-kak...”

“Nangis aja, gue ada disini, buat lo.” Vegalta menarik tangan Ferani, mempersilahkannya untuk Ferani bersandar di dada bidangnya.

Tangan Vegalta terangkat mengusap surat rambut Ferani yang dibanjiri keringat dingin. Ferani menangis sejadi-jadinya di pelukan Vegalta, melampiaskan rasa sesaknya dengan meremas jas hitam yang dikenakan Kakaknya itu.

“Nangis sepuasnya, Fer. Kalau itu buat hati lo lebih tenang. Keluarin semuanya, disini.”

“K-kak...”

“Kenapa?”

“I-ngus gue—”

“Biarin.”

Ferani mengeratkan pelukannya, ia tidak lagi menangis, melainkan tersenyum dibalik jas hitam yang dikenakan Vegalta. Dan saat itu juga rasa sayang mereka terasa lebih nyata, bahkan Vegalta seperti dunianya yang mampu menyita kesedihan tergantikan dengan senyuman di bawah sinar bulan yang terang.

“Gue sayang sama lo, kak.”

Vegalta tersenyum tipis, mencium puncak kepala Ferani sekilas. “Gue jauh lebih sayang sama lo, Fer.”

****

“Tes DNA menunjukkan hasil positif. Jadi benar, kalau Ferani memang benar anakku? Jawab Mel!” bentak Fahmi usai menghadiri acara peresmian hak waris, Melina dan segenap keluarga Aglanarta berkumpul di ruang tengah, untuk meluruskan serta membahas kejadian masa lalu yang merugikan banyak pihak tertentu.

Melina menghela napas panjang. “Ferani memang benar anak kita. Tapi itu dulu, sekarang dia hanya anakku.”

“Tidak! Dia anakku!” sergah Naima.

“Aku yang mendidiknya. Aku yang membesarkannya. Dan bahkan aku yang siap sedia berada di dekatnya! Waktu dia lahir kalian kemana?! Kalian malah tega membuangnya begitu saja,” ucap Naima mencoba untuk tetap tenang, walau nyatanya ia ingin mengamuk bak hewan tawanan.

“A-aku sama sekali tidak tahu, jika malam itu akan berakibat fatal seperti ini,” gumam Fahmi mengacak rambutnya frustasi.

Melina terkekeh pelan. “Dulu aku ingin memintamu pertanggung jawaban atas kesalahanmu waktu itu. Tapi setelah mendapatkan kabar jika istrimu sedang mengandung, aku mengurungkan niatku. Dan berlari kepada Naima. Aku mati-matian untuk bisa hidup damai di luar negeri. Sampai akhirnya aku menemukan seseorang yang mampu membuatku sadar, jika masa lalu hanya cukup untuk di kenang, tak perlu terulang lagi.”

Tind!

Suara klakson mobil mengagetkan semua orang. Naima menatap jam dinding yang menunjukan pukul 23:30.

“Bukannya semua para tamu undangan sudah pulang. Lalu siapa yang di luar?” tanya Hendra membuat semua orang menggeleng, tidak tahu.

“Itu pasti Mas Bram.”

“Tunggu, siapa Bram?” tanya Naima kepada Melina.

“Suamiku.”

_____

Gelombang Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang