Dua puluh tiga

427 29 2
                                    

Happy Reading
.
.
.
.

Mata teduh nan indah milik Sherin itu tak lepas sedikitpun dari orang didepannya. Menatap lekat ke arah Zee yang tengah sibuk dengan ponsel miliknya.

Wajah milik Zee mendongak, menatap wajah Sherin dengan senyuman tipis nan lembutnya "Makasih, rin" Ucapnya seraya mengulurkan handphone itu kembali ke hadapan pemiliknya.

Sherin mengangguk pelan, seraya menerima kembali handphone miliknya dari tangan Zee.

"Dah, sana masuk, istirahat" Tambah Zee

Sherin kembali mengangguk, tanpa banyak bicara dirinya langsung masuk ke dalam rumahnya. Meninggalkan Zee yang hanya bisa tersenyum melihat tingkah lakunya.

"Gemes lo rin"

.......

Sherin berjalan memasuki rumahnya.  Entah perasaannya saja atau apa namun, feeling-nya tiba-tiba merasakan tak enak sekaligus takut ketika kakinya mulai menginjak satu demi satu ubin keramik putih dibawahnya.

Langkahnya semakin memelan, namun langkahnya mendadak berhenti, mematung di tempat. Jantungnya berdebar keras. Terlalu keras, hingga membuat kepalanya mendadak pusing.

Napasnya tercekat.

Disana, didepan matanya, dua orang yang tak pernah ia duga kehadirannya tengah asik duduk berbincang.

Napasnya mulai memburu, dengan tangannya yang kini terkepal kuat.

Sherin menutup matanya untuk beberapa detik, mengatur napasnya secara perlahan. Sebelum, kakinya kembali melangkah, berjalan ke arah dimana dua orang yang sudah menyadari akan keberadaannya.

Sherin terus melangkah, berjalan melewati keduanya, seakan-akan tak menganggap keberadaannya ada. Tanpa menoleh sedikitpun, meskipun dirinya sadar betul akan tatapan yang mengarah padanya.

"Sherin!"

Sherin terus melangkah, tak mempedulikan panggilan tersebut. Tak peduli, jika dirinya dicap tak memiliki sopan santun.

"SHERINA ZELINE ATMOSFIERR!"

Langkah Sherin terhenti. Serupa dengan jantungnya yang rasanya juga ingin berhenti ketika mendengar teriakan bercampur emosi keluar dari mulut sang papah. Ia membalikkan tubuhnya, memandang sang papah yang sudah berdiri dengan wajah dinginnya.

"Dimana sopan santun kamu?! Disini ada tamu, om kamu!"

Sherin, ia tetap bergeming. Netranya memandang orang yang dimaksud sang papah. Tapi, tak sampai tiga detik, pandangannya berubah menunduk. Pandangannya mendadak kabur, matanya berkaca-kaca. Tangannya kembali mengepal kuat.

"Sherin mau ke kamar"

Tepat, setelah mengatakan itu. Sherin langsung berbalik, melangkah cepat memutuskan untuk pergi secepatnya dari sana dan memasuki kamarnya.

Kakinya gemetar. Tubuhnya bergetar. Sherin jatuh merosot di balik pintu kamarnya. Tubuhnya melemah, rasa marah, takut, sedih dan benci hinggap memenuhi relung hatinya.

"Mamahh..." Lirih sherin amat pelan.

Sherin menekan dadanya kuat-kuat. Air mata yang sudah sejak tadi ia tahan mulai mendesak keluar. Bibirnya ia gigit kuat-kuat, mencoba meredam tangisannya. Tangannya mendekap kedua lututnya, bersandar menyamping. Bahkan, saking tak kuatnya menahan sesak, tangisan yang ia coba redam sekuat mungkin itu harus kalah telak. Karena, air mata dan juga tangisannya tak bisa ia tahan. Juga, tak menyadari akan bibir bawahnya yang terdapat luka akibat dirinya terlalu kuat menggigitnya.

Sherin terus menangis. Jika bisa, dirinya ingin menjerit sekeras mungkin meluapkan semua yang membuatnya seperti ini.

Juga, tak menyadari dan tau jika dibalik pintu yang menjadi tempat bersandarnya itu ada seseorang yang mendengar tangisannya. Tubuhnya sama bergetar nya karena mendengar tangisan yang menyayat hati dari balik pintu, nona mudanya. Dirinya tau betul alasan yang membuat nona mudanya seperti ini. Hanya saja, dirinya lebih memilih diam karena tak mau ambil resiko.

Everything Will Be AlrightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang