Tiga Puluh Satu

305 29 3
                                    

Happy Reading
.
.
.

Sherin sesekali melirik pada kekasihnya. Masih sama. Pasalnya kekasihnya itu sedari tadi berangkat sekolah lebih banyak diam, tak banyak berbicara, membuatnya heran sekaligus khawatir.

Sherin menghela napas pelan. Matanya terus menatap lurus ekspresi wajah kekasihnya yang nampak kosong seperti pikirannya mengawang entah kemana, tengah memikirkan sesuatu.

"Liatnya kedepan, Rin..."

Sherin tersadar. Matanya mengerjap pelan, sebelum menuruti ucapan Zee guna menatap lurus ke depan. Dan, kenapa dirinya baru sadar jika sudah berada di parkiran sekolah. Seingatnya tadi, dirinya masih berada di antara koridor sekolah.

Zee terkekeh pelan, melihat ekspresi kekasihnya yang kebingungan itu malah nampak lucu dimatanya.

Mendengar kekehan pelan keluar dari bibir Zee itu membuat bibir milik Sherin reflek tertarik ke atas. "Kenapa?" Tanyanya, seraya menatap lurus manik indah milik Zee.

Zee menyernyit bingung menatap kekasihnya. "Huh? Apanya yang kenapa?"

"Kenapa banyak diam? Ada masalah?"

Zee terdiam. Mendadak bibirnya kelu. Haruskah dirinya jujur pada kekasihnya ini perihal apa yang ada dan terus berputar, mengganggu pikirannya itu. Karena jujur, jauh didalam hatinya, ia masih merasakan takut. Rasa takut jika pengakuan Sherin kemarin lalu hanya untuk membuatnya senang saja. Dan, ungkapan cinta itu hanya sebatas di bibir tanpa melibatkan hati. Terlebih, dirinya tak mau perasaannya itu malah membuat Sherin terbebani dan tertekan demi membuatnya senang.

"Zee.."

"Heum...?" Zee berdehem pelan. Meneguk ludahnya pelan, menetralisir tenggorokannya yang terasa panas sebelum matanya kembali menatap wajah gadisnya.

"Kenapa?"

"G-gue takut," Lirih Zee.

Dahi Sherin menyernyit. Kekasihnya itu terdiam cukup lama sebelum menjawab pertanyaannya dengan ucapan yang amat lirih di pendengarannya. Takut? Bahkan, sekarang matanya menemukan kilauan air di mata Zee.

"... Takut kenapa?"

Zee sedikit mendongak ke atas untuk beberapa detik, sebelum kepalanya menggeleng pelan pada Sherin. "Yuk pulang." Ajaknya.

Zee hendak melangkah. Tapi Sherin lebih dulu menahan tangannya. "Kenapa? Apa itu berhubungan sama aku? Kalo iya aku mau kamu bilang langsung ke aku, karena aku gak sepeka itu buat ngerti gimana perasaan kamu."

Zee terdiam sejenak sesaat setelah mendengar perkataan Sherin. "H-hati gue masih takut, Rin.. takut kalo ucapan lo itu cum--"

Tahu kemana arah pembicaraan yang dimaksud Zee. Sherin lantas segera membawa Zee masuk kedalam mobil milik zee di bagian penumpang. Setelah berada di dalam mobil, tanpa banyak kata Sherin langsung membawa tubuh Zee kedalam pelukannya, membiarkan wajah Zee tenggelam di perpotongan lehernya.

"Gue takut, Rin... Gue takut perasaan gue cuma membebani lo.." Ucap Zee dengan nada serak dan bergetarnya.

Ketakutan Zee bukan tanpa alasan. Sherin mengerti mungkin belum sepenuhnya yakin tentang pengakuannya kemarin. Jujur, dirinya sedikit sedih dengan Zee yang tak percaya akan pengakuan cintanya, tapi disatu sisi dirinya memaklumi jika Zee belum sepenuhnya yakin dengan cintanya itu.

Lehernya terasa basah. Sherin lantas meleraikan pelukannya, memberi jarak. Bisa ia lihat mata kekasihnya yang masih berkilauan air mata. Kedua tangannya bergerak menghapus lembut air mata yang berada di pipi kekasihnya itu, sebelum tangannya berakhir menangkup lembut rahang milik Zee. Jika dulu, Zee yang meyakinkan akan cintanya itu. Sekarang, gantian dirinyalah yang harus meyakinkan Zee bahwa cinta yang dimilikinya bukan bualan semata.

Everything Will Be AlrightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang