Bab 1: Perjalanan

176 19 1
                                    

Satu lagi terjatuh. Kepalanya menggelinding, darah hitam mengucur dengan deras. Suatu ketika, aku muntah saat melihatanya. Aku menggengam satu pedang di setiap tanganku. Genggamanku mulai mengendur.

Astaga, berapa banyak lagi?

Ini sudah kesekian kalinya. Aku tidak tahu berapa. Tapi, genangan darah hitam di atas salju. Menandakan bahwa aku sudah menebas banyak dari kerumunan mereka. Yang lainnya masih berdatangan. Baik wanita ataupun pria dewasa. Pandangan mata mereka kosong. Dibutakan oleh rasa dahaga. Mereka sudah mati.

Tidak bisa diselamatkan.

Mereka semua mengincarku karena aku memiliki kehidupan. Memiliki darah yang bisa memuaskan dahaga mereka. Darahku adalah obat yang bisa menetralisir rasa dahaga mereka untuk mereka. Walaupun, hanya sesaat. Tapi darahku juga merupakan racun yang membuat mereka menjadi seperti ini.

Aku mengayunkan tangan kiriku. Pedangku mulai mengiris lagi. Mundur untuk mengelak dan menebaskan pedang dari tangan kananku. Aku mengulanginya lagi dan lagi. Seperti menari di atas genangan darah hitam di atas salju.

Tidak ada sinar matahari disini. Hanya awan mendung kelabu dan salju mulai berjatuhan di sekelilingku. Darah hitam di bawahku juga mulai berbau busuk. Aku menelan ludah. Tidak ada gerombolan burung gagak. Mereka bahkan tidak repot-repot untuk datang. Karena mereka tahu, daging-daging jasad ini sudah membusuk.

Yang terakhir akhirnya juga terjatuh. Badannya terbelah menjadi dua. Walaupun aku sudah tahu dia sudah tumbang. Tapi, aku masih memotongnya. Memisahkannya dari kepalanya adalah hal yang paling penting. Aku berjalan berkeliling di atas genangan hitam. Aku sama sekali tidak mendengar pergerakan apapun. Bahkan, suara hewan ataupun angin sekalipun. Semuanya hening. Seakan mendukungku untuk melakukan tugasku.

Memotong kepala yang masih terpasang di tubuh mereka. Aku memeriksa sambil berkeliling hingga hari mulai gelap. Kegelapan tidak menganggu pengelihatanku. Malahan, pengelihatanku semakin lebih baik dan lebih tajam. Tapi, bau busuk dibawah sepatu botku sangat menganggu. Ini adalah batasku. Jika aku berdiri di atas genangan busuk ini lebih lama lagi. Aku akan muntah.

Agak lucu sebenarnya. Apakah Dracula bisa muntah? Memuntahkan isi perutnya.

Jika itu adalah aku.

Aku tidak meragukannya.

Tapi, apakah para Dracula lain juga muntah sepertiku? Atau mereka sangat pandai berpura-pura?

Wujud kami memang sama seperti manusia. Kami tidak terbakar sinar matahari seperti film-film yang dibuat oleh manusia. Malahan, aku sangat menikmati sinar matahari. Jika suatu saat, kekacauan ini telah berakhir. Entah berapa lama. Jika aku masih hidup. Aku ingin sekali berjemur di pinggir pantai dengan sinar matahari yang menyengat kulitku. Mendengarkan deburan ombak dan merasakan air asin lautan.

Meraih sebuah pemantik dari saku celanaku. Aku mulai berlutut untuk menyulutnya di atas genangan darah hitam terdekat. Apinya mulai menjalar dengan cepat. Yah, setidaknya darah mereka mengandung minyak. Itu membuat mereka mudah untuk dibakar. Tapi, aku tidak menyarankan metode dengan membakar mereka, saat mereka masih hidup.

Jilatan api mulai membesar hingga asapnya mulai melambung ke atas langit sudah gelap. Mahkluk apapun dalam radius puluhan kilometer bisa memandang jilatan api sebesar ini. Aku menyukai kehangatan apinya. Tapi, tidak dengan baunya.

Aku mulai mundur ke arah pepohonan untuk beristirahat. Menunggu hingga api padam dengan sendirinya. Saat bau busuknya tidak lagi menggangguku. Aku menarik tas ranselku dari atas pohon yang aku gunakan sebagai tempat berteduh. Setelah berkutat dengan perbekalanku. Akhirnya, aku menemukan apa yang aku cari.

The Crescent Moon (Moon Series #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang