Bab 44: Sebuah Mimpi

68 13 3
                                    

Telingaku mendengar suara keras deburan ombak, kedua mataku langsung terbuka lebar. Pipiku menggeser bahan kain seprai yang berbaru aromanya. Musk dan vanila yang manis. Napasnya yang dingin berhembus dengan teratur dari lekukan leherku.

Lengannya masih melingkari pinggangku. Aku berhati-hati untuk memindahkan lengannya dan bangkit dari tempat tidur. Saat aku berdiri—memandang pemandangan laut yang berkilauan di bawah sinar bulan dari balik jendela besar kamar kami—aku terdiam selama beberapa saat— masih terpesona dengan kecantikannya. 

Membungkuk, aku memunguti pakaianku dan memakainya dengan cepat. Aku menuruni tangga dari lantai dua dan bergegas menuju ke arah dapur yang berada tepat di ujung ruang tamu. Aku membuka beberapa lemari dan akhirnya menemukan beberapa botol darah yang telah disimpan di lemari bawah tepat disamping kompor. Membuka penutupnya, aku langsung menenggak isinya hingga habis.

Akhir-akhir ini, nafsu makanku benar-benar melonjak tajam. Beberapa hari lalu, aku bahkan mampu menghabiskan dua piring daging setengah mentah. Aku berbalik dari lemari—lagi-lagi menemukan Jasper yang bertelanjang dada duduk di atas sofa. 

Kulitnya berwarna lebih gelap—karena sepanjang hari ini, dia menemaniku berjemur dibawah sinar matahari. Walaupun aku berkali-kali telah melihat tubuhnya, tapi aku masih tidak bisa untuk tidak terpesona dengannya. Otot-otot dada dan lengannya yang terpahat dengan kuat pada tubuhnya benar-benar membuatku terhipnotis—apalagi dengan rambut pendeknya yang baru, aku benar-benar memujanya. Dia sedang mengawasiku dari ruang tamu. "Apa kamu baik-baik saja?"

"Hanya haus." Ucapku sambil berjalan ke arahnya—duduk di atas pangkuannya—pandangannya masih mengawasi pergerakanku ketika lengannya memeluk tubuhku. "Akhir-akhir ini, aku sering merasa kelaparan. Apakah itu aneh?" 

Jasper terdiam. Aku melihatnya seperti sedang menerawang. 

Dia terlihat tidak fokus.

"Ada masalah?"

Dia masih belum pulih dari lamunannya.

"Jasper!"

Dia langsung menemukan pandanganku. Wajahnya terlihat kebingungan.

"Kumohon, katakan sesuatu yang menganggumu." Ucapku sambil menangkup wajahnya.

"Aku bermimpi tentang ibuku." Ucapnya pelan.

Itu tidak terduga.

Aku meletakkan botol yang aku bawa ke atas meja di sampingku, lalu memeluknya dan menyandarkan kepalaku tepat di atas kulitnya yang sejuk. "Ceritakan padaku tentang mimpimu."

"Aku melihat ibuku bersama seorang gadis kecil. Mereka berdua tertawa bersama sambil melukis. Saat gadis kecil itu menoleh ke arahku, wajahnya mengingatkan aku padamu. Ibuku benar-benar bahagia saat melukis bersama gadis kecil itu. Mereka menghabiskan waktu bersama, hingga aku hanya menjadi penonton mereka. Lalu, aku terbangun dan mendapati kamu menghilang. Awalnya, aku pikir—"

Aku berdecak kesal. "Aku tidak kabur lagi, Jasper."

Dia mengumamkan sebuah tawa yang rendah dan dalam. "Aku tahu."

Aku teringat, tentang mimpiku kemarin malam. "Aku juga bermimpi." Gumamku rendah.

"Apa itu?"

"Kedua orang tuaku, mereka menemuiku. Mereka mengatakan, bahwa mereka berbahagia untukku. Apapun pilihanku. Mereka juga ingin aku berhenti menyalahkan diriku sendiriku."

Jasper memberiku pelukan erat dan mencium ujung kepalaku. "Mereka benar. Apapun yang telah terjadi di masa lalu, kamu harus belajar untuk merelakannya. Dan aku akan ada disini bersamamu untuk membuatmu merelakannya."

The Crescent Moon (Moon Series #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang