Bab 18: Serangan

67 14 1
                                    

Satu minggu setelah aku kembali dari pesta pernikahan Sergei dan Lilian. Aku kembali ke aktifitas harianku. Sepanjang pagi hingga sore, aku akan berkeliling dan berpatroli mengelilingi wilayahku. Malamnya, aku membaca ulang seluruh jurnal yang ditulis oleh para leluhurku. Walaupun itu adalah hal yang sia-sia. Tapi, aku membutuhkan sebuah pengalihan dari pikiranku.

Hari ke sepuluh, aku menulis surat pada Lord Wallace tentang keadaan wilayahku padanya. Sama sekali tidak ada jejak dari para mayat hidup. Mereka seperti menghilang.

Mungkinkah seseorang menyembunyikan mereka?

Apakah dia ada diantara kami?

Setelah aku selesai menulis dan mengirimkannya, aku berangkat menuju halaman belakang kastilku dan menemui Theseus yang telah menungguku. Sayapnya yang lebar mengepak dengan penuh semangat. Dia sudah tidak sabar untuk terbang bersamaku. 

Aku langsung naik ke punggungnya dan kami berdua melesat ke atas langit seperti peluru. Thesesus semakin memacu kecepatannya, bahkan ketika kami telah berada di udara. Dia telah menghapal rute patroliku. Jadi, dia terbang ke perbatasan wilayahku hanya dengan dua menit terbang.

Pendaratan Theseus lebih mulus daripada sebelumnya, mungkin saja hari ini dia sedang tidak ingin pamer padaku. Aku turun dari punggungnya dan mulai berjalan berkeliling. Sedangkan Theseus melesat ke udara untuk membantuku berpatroli dari udara. 

Ketika aku memasuki pinggiran hutan pinus yang masih tertutup salju. Aku mendengar kepakan ringan yang mendekati pendengaranku. Kemudian, ada beban kecil yang hinggap di bahuku. Seekor gagak kecil dengan kilauan tipis warna ungu tepat di ujung-ujung bulunya yang hitam. Bola matanya yang hitam dengan lingkaran ungu tipisnya menatap padaku. Tatapan mahkluk kecil itu seperti menelusuri wajahku. 

Aku mengusap kepala kecilnya dengan satu jariku. "Kamu mengamatiku seperti tidak pernah bertemu denganku. Apa kamu lupa?" Dia selalu menemaniku, semenjak aku memulai patroliku sepuluh hari lalu. Selalu hinggap di bahuku ketika Theseus telah pergi. Setelahnya, gagak kecil itu pergi ketika aku selesai berpatroli dan memanggil Theseus.

Dia hanya menggerakkan kepala kecilnya dan mendekat pada lekukan leherku, kemudian menyadarkan kepala kecilnya disana. Aku tertawa dengan tingkah manjanya. Suara tawaku bergema di dalam hutan yang sunyi.

Aku melanjutkan langkahku dan mulai masuk kedalam hutan. Si gagak kecil masih berada di bahuku, saat aku mulai menyusuri rimbunan pepohonan yang semakin lebat. Sebuah desiran halus anak panah terbang melewati bahuku yang kosong. "Pergilah," Aku berbisik pada gagak kecil. Dia menurutiku dan melebarkan sayapnya untuk terbang. Ketika gagak kecil itu telah menjadi sebuah titik kecil di langit, aku mulai mengawasi sekelilingku. Menarik kedua pedangku dari sarungnya yang telah terikat di pinggangku. Aku langsung mundur ke area yang lebih terbuka.

Sebuah panah berdesir lagi ke arahku. Aku berhasil menghindarinya. Berikutnya, ada pergerakan di sebelah kiriku. Seorang pria dengan pakaian compang-camping dan wajah pucat menerjang ke arahku. Dia melawanku dengan membabi-buta. Dengan mudah, aku menusuk dadanya dan membelah tubuhnya. Dia langsung jatuh ke salju dengan suara gedebuk yang teredam.

Berikutnya, dua orang dari mereka datang menyerbuku secara bersamaan. Bahkan bersamaan dengan panah yang berdesir. Aku berhasil menghindarinya, kemudian pedangku menembus satu orang yang meraihku duluan. Satu pedangku yang terbebas menebas kepalanya. Aku beralih pada di penyerang kedua. Menusuk lehernya dan menebas tubuhnya. Seketika, dia jatuh dia tas tumpukan salju. Darah busuk mereka mulai mengalir keluar dan mengotori gumpalan salju putih yang ada dibawahnya.

Terdengar suara langkah kaki yang berlari menjauh melewati salju. Aku langsung mengejarnya. Sayangnya, dia berlari lebih cepat dariku. Aku hampir saja kehilangan dia. Jarakku dengan si pemanah itu semakin jauh. Beruntungnya, barisan pohon di hutan ini lebih sejajar, hingga membuat sebuah bukaan yang lebar. Aku berhenti dan menarik satu belatiku yang terikat di pahaku dan membidiknya. Detik berikutnya, aku melemparkannya sekuat tenaga ke arahnya.

Belati itu meluncur dan berdesir ke arah si pemanah hingga mengenai tepat ke punggungnya. Dia langsung terjatuh tertelungkup. Aku berlari menyusulunya. Saat dia tergeletak di kakiku. Aku menariknya dan melemparkannya ke pohon terdekat. "Siapa yang membuatmu!" Aku berteriak ke wajahnya.

Saat dia mendongak, aku melihat seorang pria muda yang berumur awal dua puluhan menggeram padaku. Walaupun darah busuk keluar dari tusukan belatiku. Dia sama sekali tidak menyerah dan masih berusaha berdiri untuk menyerangku. Aku langsung menghunuskan pedangku tepat di lehernya. "Serang aku dan kepalamu akan terlepas dari tempatnya, bahkan sebelum kamu menyadarinya." Semoga saja dia tidak bergerak. Karena aku membutuhkannya hidup-hidup.

"Harusnya kamu tidak mengejarku, Lady." Dia menyeringai padaku. Berikutnya, kerumunan mayat hidup mulai bermunculan di belakangnya. Bantuannya telah datang. Mereka hampir berjumlah empat puluh dan aku sendirian. Terlalu frustasi, aku menebas lehernya dan kepalanya mulai mengelinding ke salju. Aku mengerahkan seluruh tenagaku yang tersisa dan mulai menghunuskan pedangku ke arah mereka.

Tapi sayangnya, mereka bersenjata dan mereka tahu cara memakai senjata yang mereka pegang. Mereka lebih waspada dari yang sebelumnya aku habisi. Pedangku terpental, saat aku berusaha menumbangkan seseorang yang membawa sebuah palu sebagai senjatanya. Hanya tersisa satu pedang di tangan kiriku.

Aku melemparkannya ke tangan kananku dan mengenggam satu pedangku yang tersisa dengan kedua tanganku. Sekali lagi, aku akan menghadapi kematianku. 

Semoga Cassius menemukan sisa-sisa tubuhku dan membawanya kembali ke kastil kami. Kuharap, dia memimpin upacara kematianku dengan benar, agar aku bisa menemui para leluhurku.

Aku memanjatkannya seperti sebuah mantra dan doa.

Menarik napas panjang. Aku memfokuskan seluruh tenagaku ke kedua telapak tanganku yang melingkari pedangku. Bilahnya mulai dialiri percikan listrik statis hitam. Para mayat hitam itu tampak terkejut dengan perubahan pada bilah pedangku. Memanfaatkan keterjutan mereka, aku mulai menebas mereka yang ada dihadapanku. 

Lebih mudah menyerang mereka saat pedangku teraliri listrik. Tapi, itu menghabiskan seluruh tenagaku dalam sekejap. Ujung-ujung jariku mulai menghitam. Walaupun itu sudah menjadi batasanku, tapi aku tetap melanjutkan pembantaianku.

Ketika pedangku telah terayun untuk menebas mayat hidup yang ada di hadapanku. Jantungku berdetak dengan lambat. Seketika, aku diam di tempat. Tiap detakan lambatnya mengirimkan sensai cambukan menyakitkan dua kali lipat lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Tubuhku mulai gemetaran hebat. Pedangku terlepas dari genggamanku. Kaki ku bahkan tidak bisa menopang tubuhku. Aku terjatuh di atas genangan darah busuk.

Apakah ini akan menjadi akhirku?

Terdengar banyak sekali kepakan sayap kecil yang mengelilingiku. Bulu-bulu hitam mereka mulai memenuhi pandanganku. Terdengar pekikan dan jeritan dari para mayat hidup yang mengelilingiku. Setiap gagak yang datang menyerang mereka semua dengan paruh dan cakar mereka.

Tubuhku terangkat dari atas genangan darah busuk. Wajah panik Jasper berada di hadapanku. Dia menguncang bahuku. "Mallory! Buka matamu," Tuntutnya.

Aku hanya mampu menyipitkan mataku, "Kamu datang." Suaraku terdengar seperti sebuah bisikan lemah. Napasku mulai tersendat. Cambukan pada jantungku mengirimkan perasaan nyeri yang membuatku tidak bisa menahan rintihan kesakitan keluar dari mulutku. Tubuhku masih gemetaran.

"Berapa lama?" Dia menggeram tepat di wajahku. "Berapa lama kamu menahannya? Kenapa kamu menyembunyikannya dariku?"

Suara Leroi menyela dari suatu tempat. "Lebih baik bawa dia kembali ke kastil kami."

Jasper mengangkat satu tangannya dan mengigit pergelangan tangannya sendiri. Menghisap darahnya sendiri. Mulutnya meraih bibirku, kemudian memuntahkan darahnya sendiri kedalam mulutku. Dia tahu, dengan cara ini aku tidak bisa menolak darahnya.

Ketika darahnya turun melalui tenggorokanku, sensasi cambukan di jantungku mulai memudar. Tubuhku berangsur-angsur pulih dari gemetaran yang sebelumnya menghambat pergerakanku. Aku berusaha untuk bangun, tapi Jasper semakin mengeratkan pelukannya padaku. Dia tidak membiarkan aku lepas darinya.

Sebuah pukulan pelan mendarat tepat di tengkukku. Setelahnya, kegelapan menyelimuti pengelihatanku.

***

Jangan lupa tinggalkan jejak vote sebagai apresiasi untuk penulis yaaa. Have a nice read, Readers 🤩

The Crescent Moon (Moon Series #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang