Bab 2: Sebuah Undangan

159 19 6
                                    

Dalam waktu singkat. Kami telah sampai di atas kastilku. Kabut putih masih menggulung disekitarnya. Kesan tua dan horor sangat pekat melingkupinya. Setiap dinding batanya telah menghitam dan berlumut karena terjangan cuaca dingin yang ekstrem. 

Aku menyipitkan mataku karena melihat kerusakan pada beberapa menara yang semakin parah setiap harinya. Aku meringis ngeri membayangkan jika kerusakan itu bisa menyebabkan menaranya roboh.

Astaga, sudah rusak lagi?

Orang-orang suruhan Alpha Klan Hunters Moon sudah memperbaikinya setengah tahun yang lalu.

Mungkin saja karena umur kastil ini sudah terlalu tua dan iklim disini yang terlalu ekstrem membuatnya lebih cepat rusak.

Rhea telah menawarkan aku dan orang-orangku tempat tinggal di sekitar wilayah Klan Hunters Moon. Tapi aku menolaknya. 

Aku tidak bisa meninggalkan kastilku. 

Ini adalah identitasku. 

Warisanku. 

Peninggalan keluarga Desmond.

*Pict hanya ilustrasi*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*Pict hanya ilustrasi*

Theseus menukik turun seperti peluru, tepat di halaman belakang kastilku yang penuh dengan tanaman anggur merambat. Untungnya, dia tidak mendarat di tengah-tengah ladang anggur. Dia hanya sempat menyenggol beberapa pagar pembatas yang dibuat Cassius untuk tanaman anggur kesayangannya, karena terbang terlalu rendah. Saat dia mulai menurunkan kedua kaki depannya untuk memulai pendaratan, salju bertebaran di sekeliling kami. Kemudian, dia mendaratkan keempat kakinya dengan kuat dan menjejak tanah bersalju di bawah kami. Aku turun dari punggungnya dan menepuk wajahnya. "Terima kasih, Theseus."

Dia menjawabnya dengan menyundul kepalanya pada lenganku. Lalu berbalik dan mulai terbang menembus langit. Aku tidak tahu kemana dia menghabiskan sebagian besar waktu luangnya. Dia sangat menyukai kebebasan. Jadi, aku membiarkannya menikmatinya. Tapi, sesekali dia akan pulang untuk sekedar menyapaku atau tidur di atas jerami-jerami kesayangannya yang berada di istal tepat berada di halaman samping kastil bersama kuda-kuda biasa lainnya. 

Aku berjalan melangkah kedalam koridor kastil yang suram dan setengah rusak. Ini sudah malam dan Cassius bahkan tidak repot-repot menyalakan obor. Langkahku bergema disekeliling koridor kosong. Akhirnya, aku memasuki pintu utama kastil. Lobinya sudah diperbaiki, setidaknya area ini tampak lebih baik. Tangga besar yang ada disini sudah lebih bersih dari sebelumnya.

Yah, setidaknya Cassius tidak lupa untuk bersih-bersih.

Aku berbalik dan melangkah ke lorong yang terletak di sisi kiri lobi. Tidak banyak kamar di bagian ini. Aku melangkah hingga tiba di ujung lorong. Ada satu obor disisi kanan pintu. Aku tidak repot-repot mengetuk dan mendorong pintunya dengan kakiku.

Ruang kerjaku terasa lebih hangat. Cassius telah menyalakan perapiannya. Dia sedang berjongkok didepannya. Sementara seorang pria dengan rambut pirang pasir sebahu duduk di salah satu sofa panjang di ruang kerjaku. Dia memakai tunik putih dengan sebuah jas hitam tanpa kancing yang memiliki bordiran berwarna senada dengan rambutnya. Aku melihat lambang keluarganya yang melilit di lehernya dalam bentuk sebuah kalung. Warna matanya yang berwarna hijau cerah sedang menekuni perapian. Bibirnya ditarik menjadi sebuah garis tipis.

*Pict hanya ilustrasi*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*Pict hanya ilustrasi*

Mereka berdua mendongak karena kehadiranku.

"Sergei." Suaraku terdengar serak.

Astaga, aku sudah beberapa hari tidak bicara sama sekali?

Aku mengangguk pada Cassius, "Tinggalkan kami."

Dia mengangguk dan berdiri dari salah satu . Saat dia melewatiku, dia berbisik. "Aku akan berjaga diluar pintu." Dia mengigatkan sambil melemparkan tatapan tajam.

Aku mendengus.

Akhirnya, Cassius keluar dari ruangan ini dan menutup pintu dibelakangku.

Aku memiringkan kepalaku pada Sergei. "Apa yang membawamu kemari?"

Sergei tampak berusaha memilah kata-katanya.

"Kuharap bukan omong kosong." Aku menambahkan sambil mengambil langkah lambat ke hadapannya dan duduk tepat di sofa panjang di seberangnya.

Meja kecil di hadapan kami masih kosong. Bagus! Setidaknya Cassius tidak memberinya kudapan. Dia bahkan tidak pantas untuk menginjakkan di kastil ini.

Sergei merogoh ke dalam saku jasnya. Dia meletakkan sebuah amplop di atas meja. Aku mengambilnya dan menyobek lambang di atas penutup amplop. Lambangnya. Lambang Klan Keluarga Salvatore miliknya.

Sebuah undangan pernikahan dan jika aku tidak salah menebak, "Pengantin wanitamu seorang Vampir?"

Pasangan jiwa diantara Vampir dan Dracula adalah sebuah kasus yang sangat jarang terjadi. Biasanya, itu tidak berakhir dengan baik. Apalagi, ketika masa-masa saat kami berperang dulu. Aku masih bergidik ngeri mengingat peperangan diantara kami di masa lampau.

Aku melengkungkan seringaian mengejek. "Apakah kamu berusaha membuat aliansi?"

Sergei menghembuskan nafas cepat. "Aku membutuhkan dukungan dan restumu."

"Tidak."

"Kumohon Lorry." Dia merengek seperti anjing besar yang terluka. Tapi itu tidak menggerakkan aku sedikitpun.

"Jangan panggil aku Lorry. Aku bukan lagi temanmu." Aku berkedip pelan dan memandangnya tanpa merasa bersalah sekalipun. 

Dia telah mengabaikan aku. 

Dia telah mengecewakan aku.

"Baiklah, Lady Desmond." Sergei berkata dengan nada formal.

"Tidak." Aku berdiri dan berbalik darinya. Lalu berjalan cepat dan membuka pintu. Cassius tentu saja masih berdiri di depan pintu. Dia terkejut saat melihatku membuka pintu. Dia mengedipkan matanya beberapa kali padaku.

Aku mengalihkan pandanganku pada Sergei. "Cassius akan mengantarkanmu keluar."

Tanpa menunggu perkataan apapun dari Sergei. Aku masuk lebih dalam ke ruang kerjaku, melewati Sergei dan menghampiri pintu yang berada di ujung ruangan. Tepat disamping meja besar yang telah lapuk. Aku membuka kenopnya dan menutupnya dengan keras, dibelakang punggungku.

Bahuku merosot.

Aku terlalu lelah memikirkan Sergei. 

Melepaskan jubah, sepatu bot, dan korsetku yang menyesakkan. Aku langsung menerjang tempat tidurku. Kasurnya berkeriut dibawah tubuhku. Yah, setidaknya kasurku tidak pernah mengkhianatiku, pada saat momen yang paling aku butuhkan.

***

Jangan lupa tinggalkan jejak vote sebagai apresiasi untuk penulis yaaa. Have a nice read, Readers 🤩

The Crescent Moon (Moon Series #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang