13 - BULAN SABIT DI BIBIR PT.2

215 31 4
                                    

Deovander memandang sejenak Pulau Kelor yang ada di hadapannya usai mengemudikan speed boat hitam yang dikeluarkan dari yacht-nya di balik kacamata hitam lebar itu akibat matahari yang mulai menampakkan diri pagi ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Deovander memandang sejenak Pulau Kelor yang ada di hadapannya usai mengemudikan speed boat hitam yang dikeluarkan dari yacht-nya di balik kacamata hitam lebar itu akibat matahari yang mulai menampakkan diri pagi ini. Suasana yang tidak ramai dan hanya ada satu bukit. Hanya itu yang ditangkap netranya.

Kakinya bergerak memimpin Arsen dan Deolinda mendaki bukit secara berbaris, menapaki tanah yang sudah membentuk anak tangga sedikit berbelok. Di sekitarnya, ditumbuhi rerumputan dan satu pohon hijau di sebelah kanan. Pulau-pulau beserta beberapa kapal di sekitar menjadi pemandangan utama yang tentunya sangat menakjubkan di bawah langit yang cerah ini.

Beberapa menit kemudian, perjalanan ketiganya berakhir di puncak pulau kelor. Dada mereka seketika terasa ringan usai menaiki tiga ratus anak tangga itu meski tadi sudah sarapan walau hanya dengan roti isi. Dan di sini, hanya ada sepuluh orang saja. Kini, Deovander, Deolinda, dan Arsen membalikkan badan melihat pemandangan indah tersebut.

Arsen menghentak-hentakkan kaki pada permukaan tanah. Tangannya bertepuk mengeluarkan suara lumayan kencang. Mata remaja itu melebar sempurna dan mulutnya membentuk lingkaran. Tak berhenti memuji atas apa yang dilihat. Pandangannya hanya dua kali berpindah pada Deovander dan Deolinda dalam sekejap.

“Senang, gak?” tanya Deovander mengacak-acak rambut Arsen.

Arsen langsung mengiyakan. “Bagus banget. Thank you for bringing me here. Also Kak Linda.”

“Makasih, ya, Pak,” ucap Deolinda menengok.

“Sure.” Deovander mengotak-atik kamera. “Do you wanna take a photo, Boy?”

“Of course, why not!” jawab Arsen mengangguk semangat. “Tapi, gayanya gimana?”

“Gini,” jeda Deolinda mendekati Arsen. Perempuan itu memajukan satu langkah kaki Arsen, meletakkan kedua tangannya di dalam saku jeans, lalu mengarahkan kepala remaja itu sedikit ke kiri seolah sedang melihat sesuatu di sana. “Udah keren,” puji Deolinda mundur beberapa langkah dan berhenti tepat di sebelah Deovander.

Deovander menutup sebelah mata, mengarahkan kamera pada Arsen. Badan tegap nan gagahnya sedikit membungkuk. Tangannya bergerak menekan tombol kamera beberapa kali. Lalu kembali menegapkan badan, mengecek hasil jepretannya.

“Bagus, gak?” tanya Arsen berlari mendekat.

Deolinda sedikit bergeser, mengintip kegiatan Deovander bersama Arsen. “Bagus semua,” jawabnya.

“Wahhh, jepretan Daddy gak perlu diraguin lagi emang!” puji Arsen memberikan dua ibu jarinya.

“Thanks a lot.” Deovander terkekeh lalu terdiam menatap Deolinda. “Mau foto?”

“Ayo, Kak, foto! So that there are memories,” bujuk Arsen memegang tangan Deolinda.

Deolinda menggaruk tengkuk. “Oke, deh.”

Sweet HeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang