Keluar dari apartement mewah Deolinda, Deovander mengendarai mobil sportnya menuju Bhavanadaksa Group dengan kecepatan tinggi pada pagi-pagi buta ini. Jika bukan karena kasus itu, mungkin ia masih berada di apartement Deolinda untuk mengajak Arsen bicara—masih marah padanya—selain mengantarkan seragam sekolah sang putra. Bahkan remaja itu tak segan mengunci pintu mamar dan berdiam diri di sana, memainkan permainan drum menggunakan tablet Deolinda.
Usai menyerahkan kunci mobil Lamborghini Veneno Roadster pada satpam, Deovander memasuki kantor yang cukup sepi. Tak ada satu orang pun, kecuali di sisi kanan lobi—di tempat tunggu di mana terdapat empat pemuda duduk di sofa abu-abu tengah bercanda tawa.
“Sorry, I'm late,” ucap Deovander mendekat, menghentikan suara-suara tawa tersebut.
“Gak masalah,” kata Aldo beranjak dari sofa diikuti ketiga temannya yang lain.
Mereka menelusuri lorong kantor yang sangat sepi itu ditemani pencahayaan lampu. Lagipula, siapa juga yang datang ke kantor pukul lima pagi? Tapi, mereka tak ada pilihan lain. Karena, jadwal mereka mulai pukul tujuh ke atas nanti sangat padat. Terlihat jelas dari cara berpakaian mereka—rapi dan formal—kecuali Mahesa yang sedikit berantakan dan kasual.
Lantaran, pria itu sibuk dengan pendidikan dokter spesialis. Sementara Aldo nantinya akan menghadiri dua meeting bersama kolega bisnis dan terjun ke lapangan nanti. Lalu, Fajar yang akan mengunjungi beberapa kliennya hari ini. Dan, Danu yang hendak ke luar pulau mengurus pekerjaan.
Tiba di lantai lima belas, kelimanya menuju ruangan Deovander yang sangat luas dan didominasi warna monokrom dengan latar belakang pemandangan banyaknya gedung-gedung tinggi yang selalu dilengkapi pencahayaan lampu, rumah-rumah terlihat kecil dari tempat mereka berdiri, jalanan sedikit ramai, dan awan yang masih terlihat gelap.
Alpheratz duduk di sofa abu-abu single sekaligus panjang. Masing-masing dari mereka mengeluarkan map dan laptop sesuai dengan tugas yang dijalankan. Mahesa dan Aldo dengan laptop seharga 55juta mereka. Fajar dan Danu yang menyodorkan map biru dan kuning. Secara tidak langsung, suasana pun berubah menjadi sedikit mencekam.
“Terakhir gue sama Mahesa ngelacak keberadaan Austin di Artemide Hotel, Roma,” kata Aldo mengotak-atik laptop lalu memperlihatkan layarnya pada Deovander.
Berkutat dengan laptop, Mahesa menambahi, “Abis itu ngilang lagi.”
“Sek kebayang koyoke.” Fajar berceletuk. Karena, perilaku Austin sudah sangat keterlaluan. Lelaki itu seperti iblis. Menumbalkan wanita demi mendapat sebuah super car. Padahal, Austin masih mampu membelinya. Ada sisi positifnya juga ternyata jikalau Austin dan Nabila tidak menikah, karena Arsen tidak berada dalam asuhan pria itu. Jika iya, mungkin akan sebelas-dua belas dengan watak pria berdarah Amerika-Tionghoa-Jawa itu, pikir Fajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Hero
RomanceDeovander berhasil menyembunyikan rahasia terbesar dalam hidupnya selama belasan tahun. Namun, siapa sangka orang tua Deovander mengetahuinya? Sehingga, fakta lain yang juga lama terpendam akhirnya terungkap mencapai akar. ©BerlianGunawan2...