"Austin ke mana, sih? Dari malam gak ada kab—Babe?!" seru Tasya melebarkan kelopak mata ketika membalikkan badan, mendapati Austin dalam kondisi rambut dan pakaian yang berantakan, lebam di sudut kelopak mata kanan, dan terdapat sedikit darah pada sudut bibir. "Kamu dari mana aja?! K-kok bisa kayak gini?" tanya Tasya menutup mulut yang terbuka lebar saat mendekati Austin, mengecek kondisi lelaki itu.
"SHUT YOUR MOUTH UP!" bentak Austin berlalu dari sana dan pergi menuju kamarnya.
"AUSTIN! LISTEN TO ME!" teriak Tasya berlari menyusul sang kekasih. "What are you doing? Kalo ada masalah, seenggaknya cerita! Jangan main kabur kayak gini!" omel Tasya melihat Austin mengambil dan membuka koper besar lalu memasukkan semua pakaian ke dalam sana.
Austin menghentikan kegiatannya, membalikkan badan dan memandang perempuan di hadapannya itu dari atas ke bawah. "Percuma! Kalaupun gue cerita ke lo, gak bakal bisa ketemu jalan keluarnya. Karena, lo tuh gak berguna sama sekali!" hinanya.
"What the fuck?" gumam Tasya bernada lemah seraya mengepalkan kedua tangan, terkejut akan panggilan di antara mereka yang berubah. Dari aku-kamu kembali menjadi lo-gue. "Gak berguna bagian mananya? Coba sebutin," tantang Tasya menunjuk dirinya disertai nada tinggi, napas terengah-engah, dan tatapan tajam nan menusuk.
Namun, Austin tak menjawab. Pria itu melanjutkan kegiatan diakhiri helaan napas panjang. Pikirannya melalangbuana, berputar pada kejadian-kejadian sebelas tahun terakhir hingga beberapa jam yang lalu. Seandainya ia menentang Wade merencanakan pertemuan mereka di salah satu restoran di Ciputra World Surabaya, mungkin rencana ini berjalan mulus.
Melihat hal itu, Tasya mendengus kasar, memilih pergi ke luar kamar dengan emosi bergemuruh dan tangisan yang mulai menggema. Hatinya sakit bagai kaca yang dipukul palu berkekuatan keras dalam satu kali pukulan. Telah banyak hal yang ia lakukan sekaligus korbankan agar bisa bersama Austin, termasuk meminta lelaki itu menemui Wade. Karena, dengan kehadiran Arsen di tengah-tengah hubungan keduanya, tentu menjadi penghalang anak mereka kelak sebagai pewaris Feplants. Dan kini, semua itu berakhir sia-sia, pikir perempuan itu. Bahkan mungkin tak tahu ke mana hubungan ini di bawa sekarang. Padahal, mereka sudah mempersiapkan pernikahan.
Sepeninggalan Tasya, Austin menutup koper. Memindahkan benda tersebut ke lantai, menyambar topi dan masker yang tergeletak di meja, kemudian menarik tempat penyimpanan berbentuk persegi panjang itu ke luar kamar seraya menghubungi sang paman. "Susuk, semuanya udah, kan?" tanyanya.
"Sudah. Kamu tinggal berangkat saja. Tapi, Susuk gak bisa bantu banyak setelah ini."
"Nggak papa, ini udah cukup. Kamsia," akhir Austin menutup panggilan telepon, memasukkan ponsel ke saku kemeja. Lelaki itu bergerak cepat menjauh dari unit apartement seraya menyeret koper dan sedikit menarik topi ke bawah sebelum menghilang di balik pintu lift. Untung saja, ia belum menjual vilanya di Batu—sehingga bisa menginap di sana semalam—dan memiliki paman yang masih menduduki kursi DPR RI. "Basement, please," ucapnya pada layar monitor lift.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Hero
RomanceDeovander berhasil menyembunyikan rahasia terbesar dalam hidupnya selama belasan tahun. Namun, siapa sangka orang tua Deovander mengetahuinya? Sehingga, fakta lain yang juga lama terpendam akhirnya terungkap mencapai akar. ©BerlianGunawan2...