Pagi ini, di sini lah Deovander dan Deolinda, di bibir pantai. Duduk di hamparan pasir putih tanpa alas. Suasana di antara keduanya cukup sunyi. Deolinda menikmati tiap seduhan lemon tea hangatnya. Sungguh cocok sekali dengan suasana pagi ini. Sesekali memejamkan mata, merasakan bagaimana perpaduan teh dan lemon itu membasahi tenggorokan.
Deovander sendiri hanya meminum dua kali seduhan sebelum meletakkan gelas lemon tea itu di kanan, kemudian menekuk dan memeluk kedua lututnya. Memandang teduh lautan di depan sana. Menarik dan menghela napas beberapa kali. Ia memang sudah tak lagi mencemaskan Arsen—berusaha percaya pada dirinya kalau remaja lelaki itu baik-baik saja—sejak beberapa menit lalu. Toh, ada Yeni yang menjaga. Tapi, yang kini dipikirkan adalah bagaimana cara menyatakan perasaannya pada Deolinda.
Tangannya bergerak melepaskan kamera yang dikalungkan di leher dan mengotak-atiknya, bersiap mengambil beberapa jepretan saat matahari terbit nanti. Terlebih, sebelum tidur tadi malam, Fajar mengatakan jika pemandangan matahari terbit di belakang vila adalah fenomena yang tak dapat dilewatkan. Tentu saja, Deovander tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Kamera dan pemandangan adalah hal yang tak bisa lelaki itu biarkan begitu saja.
Hingga akhirnya, waktu yang ditunggu tiba. Deovander berdiri dari duduknya. Menepuk-tepuk celana belakangnya dan melangkah meninggalkan Deolinda membuat gadis itu mengikutinya. Selain penasaran, ia juga takut sendirian di sini di tempat tak ada seseorang sama sekali dan asing di saat diri tak membawa ponsel.
Deovander mengarahkan kameranya pada matahari di ufuk timur sana yang mulai menampakkan sinar pagi ini. Lalu, mengambil foto beberapa kali, mengeceknya, dan menggeser-geser hasil jepretan.
“Jepretan Koko gak pernah gagal,” komentar Deolinda mengintip, sedikit berjinjit di samping Deovander.
“Makasih,” Deovander menerima pujian itu.
“Ko, tolong fotoin gue, ya.”
“Boleh. Ke sana aja.”
Mengikuti arah telunjuk Deovander, Deolinda berlari kecil menuju tempat tersebut yang hanya terdapat pohon-pohon kelapa dan semak-semak di sekitar diikuti jenjang kaki panjang lelaki berkaos hitam itu.
Di sana, Deovander mengambil tiga pose gadis itu; tersenyum hingga matanya menyipit, membelakangi lautan tetapi menghadap samping, dan berjongkok ke arah pantai seraya memainkan pasir. Dirasa cukup, keduanya kembali beriringan ke vila bersama matahari yang semakin memperlihatkan sinarnya.
“I have a few questions,” Deovander membuka pembicaraan usai memantapkan hati. “Tapi, jawabnya harus pake alasan.”
Deolinda menarik sedikit ujung bibir kiri. “Go ahead.”
“Dalam sebuah perjalanan, lo pilih kuda atau gajah sebagai kendaraan?”
“Kuda. Karena, cepat dan kuat. Kalo gajah, dia gak bisa sat set.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Hero
RomanceDeovander berhasil menyembunyikan rahasia terbesar dalam hidupnya selama belasan tahun. Namun, siapa sangka orang tua Deovander mengetahuinya? Sehingga, fakta lain yang juga lama terpendam akhirnya terungkap mencapai akar. ©BerlianGunawan2...