Pagi ini, Arsen asyik berbincang di lorong rumah sakit depan ruangan psikolog Isla bersama Luvenna—ditemani seorang suster dan boneka samoyed yang dipeluk sejak mereka tak sengaja bertemu pagi tadi—seraya menunggu Deovander selesai berkonsultasi dengan sang psikolog mengenai kondisi dirinya. Setidaknya kehadiran gadis kecil itu tak menyebabkan Arsen merasa cemas lagi di tempat umum seperti kejadian kemarin pagi. Lagipula, lorong ini lumayan sepi dan hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang, seperti perawat atau cleaning service.
"Kamu sama teman-teman kapan pulang?" tanya Arsen mengganti topik sambil menatap Luvenna yang duduk di kursi roda yang ada di hadapannya.
"Besok. Tapi, aku dengar, teman-teman mau dikirim ke rumah sakit jiwa," jelas Luvenna mengelus-elus boneka anjing pemberian Mahesa kemarian siang.
"Rumah sakit jiwa?"
"Iya. Uncle Esa sendiri yang bilang."
Seketika bibir Arsen tertutup rapat dan meletakkan pergelangan tangan di permukaan paha seraya menyatukan jari-jemarinya. Kepala lelaki itu menunduk, memandangi sepatu sneaker abu-abu nan hitam yang dikenakan. Pikirannya melalangbuana pada kejadian malam itu, tetapi sebisa mungkin kembali menghapusnya dengan cepat. Karena, merasa jika mengingat hal itu lagi—kecemasan yang dialami bisa melanda sewaktu-waktu.
Namun, di sisi lain, Arsen berlega hati. Masih tak menyangka, jika ia mampu melewati pengalaman yang sangat menguji seberapa besar keberanian yang dimiliki untuk dapat bertahan di tempat terpencil.
"Kamu?" ucap Arsen mengangkat kepala, menatap teduh gadis kecil di hadapannya itu. Penasaran, ke mana gadis kecil itu pergi selepas ke luar dari rumah sakit ini. Lantaran, dari ucapannya, dia tidak mengatakan akan pergi ke rumah sakit jiwa dan sejak kemarin, Arsen sama sekali tak mendengar cerita apapun mengenai orang tua Luvenna. Sekadar perkenalan nama saja.
"Aku ... hm." Luve sedikit mendongakkan kepala, mengingat apa yang Mahesa katakan kemarin. "Kata Uncle Esa, aku bakal tinggal di rumahnya."
Diadopsi, kah?
"Waahh, asyik dong, kita bisa main bareng nanti," balas Arsen terlepas dari lamunanya, melebarkan senyuman hingga membentuk bulan sabit.
"Boleh. Koko tinggal di mana? Dekat rumah Uncle Esa?" tanya Luvenna bersemangat seraya berbinar-binar menatap Arsen. Sudah lama sekali, gadis berusia delapan tahun itu tidak memiliki teman semenjak dikurung dalam vila tak terawat. Dan kini, usai terbebas dari sana, ia mendapat teman baru seketika—Arsenio Javriel Tenggara—remaja yang terpaut tiga tahun di atasnya.
"Enggak, aku tinggal di penthouse. Tapi, aku bisa minta tolong Daddy, Mommy, atau pak sopir buat antar ke sana waktu pulang sekolah atau weekend nanti," jelas Arsen tetap mempertahankan senyuman lebar.
Mengerutkan dahi, Luvenna terdiam sejenak mendengar kosakata asing baginya. "Penthouse?"
Gimana jelasinnya, ya? Arsen menghela napas. "Bagian paling atas apartement dan ukurannya besar banget."
"Waahhh, pasti pemandangannya keren."
“Iya. Kapan-kapan main ke rumahku, ya, Ko. Pasti dibolehin sama Uncle Esa.”
“Oke.”
Pintu ruangan psikolog Isla terbuka dari dalam, menampakkan lelaki dengan tinggi 177cm menggunakan t-shirt putih dilengkapi jaket kulit hitam digulung hingga siku dipadukan dengan arloji emas di pergelangan tangan kiri, celana kain panjang hitam, dan sepatu pentofel. Lalu, berjalan mendekati sang putra yang entah sejak kapan berbincang ria bersama gadis kecil di depan ruangan ini ditemani seorang perawat di sisi kiri.
Tak sengaja melihat kehadiran Deovander—saat mengedarkan pandangan ke sekitar—dari belakang kursi roda Luvenna, Arsen kembali memfokuskan tatapannya pada Luvenna. “Kapan-kapan lanjut lagi, ya? Daddy-ku udah keluar,” akhir Arsen bertepatan dengan Deovander yang sudah berada di sisi kanan kursi roda gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Hero
RomantizmDeovander berhasil menyembunyikan rahasia terbesar dalam hidupnya selama belasan tahun. Namun, siapa sangka orang tua Deovander mengetahuinya? Sehingga, fakta lain yang juga lama terpendam akhirnya terungkap mencapai akar. ©BerlianGunawan2...