Deovander dan Arsen berjalan memasuki lobi Bhavanadaksa Luxury Apartement usai beberapa jam menempuh perjalanan pulang dari Labuan Bajo sembari menyeret koper dan saling bergandengan tangan. Arsen terlihat beberapa kali menyapa para karyawan yang tengah bekerja—entah itu office boy atau girl hingga resepsionis—di tempat mewah, modern, nan terorganisir ini. Namun, atmosfer sekitar tidak seimbang dengan keceriaan anak itu, seperti ada yang berbeda. Ada yang mengganjal dalam benak Deovander, tetapi lelaki itu mengabaikanya dan masuk ke dalam lift.
Di dalam benda itu, matanya tak berhenti memandang layar yang menunjukkan di lantai mana ia berada. Hingga voice over mengatakan kalau mereka telah tiba di lantai paling atas—lima puluh lima, ayah dan anak itu keluar dari lift sambil mengucapkan terima kasih. Sayangnya, langkah Deovander langsung terhenti saat itu juga.
Pikiran yang bercabang ke arah negative bersama membekunya badan di depan lift membuat hatinya cemas—telat rasanya membawa Arsen kabur dari sini. Tetapi, ia mencoba untuk tetap berekspresi seolah tak terjadi apa-apa, berusaha tenang, dan semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Arsen tanpa sadar sang anak mengernyitkan dahi heran. Berkali-kali pula dia menolehkan tatapan pada dua orang di depan pintu penthouse dan ayahnya.
“Excuse me, what are you doing here?” tanya Deovander bernada dingin, melangkah mendekati pasangan suami-istri berusia senja.
“Oh God! My son!” sorak Weni menjulurkan kedua tangan dan memeluk putra semata wayangnya erat, meski Deovander tak membalasnya sama sekali. Bahkan ekspresinya juga datar dan dingin. “Sering-sering pulang ke rumah dong, Mama kesepian, nih,” ucap Weni melepas pelukan, memegang kedua bahu pria dua puluh tujuh tahun itu.
Deovander sedikit memperlihatkan kerutan dahi. “Oh, udah tahu rasanya ya?” tanyanya.
“Ya, kan, dulu your Mom masih kerja, Van. Kerjaannya banyak,” sahut Wade merangkul pinggang sang istri.
“Sama. Aku juga kerja sekarang,” timpal Deovander sedikit menarik ujung bibir kirinya.
“Vander …, yang sopan sama Mama,” peringat Wade memegang pergelangan tangan putranya.
“Hm.”
“Urusan di Seoul berjalan lancar, kan? Papa pingin dengar langsung dari kamu secara detail.”
Deovander mengatupkan bibir dan mengepalkan telapak tangan. Terlalu banyak yang diurus membuatnya lupa jikalau orang tuanya masih memantau kinerja Deovander, karena Wade masih menjabat sebagai komisaris utama. Mungkin misinya akan bertambah mulai saat ini.
“Ini sia—KOK DIA BISA DI SINI?! JAWAB! JAWAB, DEOVANDER TENGGARA!” perintah Yena menyadari keberadaan Arsen di sisi kiri sang putra, membuyarkan lamunan Deovander.
“Memangnya kenapa? There’s a problem? I think no,” jawab Deovander menatap netra mata ibunya datar tapi menusuk.
“Of course.” Wade bersedekap, membuat putranya memindahkan pandangan dan menerima tatapan tajamnya. “He’s a disgrace to our family, an illegitimate child! Don’t you know that?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Hero
RomanceDeovander berhasil menyembunyikan rahasia terbesar dalam hidupnya selama belasan tahun. Namun, siapa sangka orang tua Deovander mengetahuinya? Sehingga, fakta lain yang juga lama terpendam akhirnya terungkap mencapai akar. ©BerlianGunawan2...