Tatapan tajam iris mata cokelat di balik kacamata lebar anti radiasi dengan frame tipis itu sedari tadi tak mengubah pandangan dari layar laptop di depannya sedari tadi di dalam ruangan dingin nan luas bernuansa hitam modern dengan pemandangan hiruk-pikuk kota dari kaca besar di belakangnya. Tangannya sesekali bergerak mengambil secangkir Americano dan menyuruput minuman itu kemudian melanjutkan pekerjaannya. Helaan napas panjang terdengar begitu jelas saking sunyinya ruangan ini.
Kehidupan Deovander memang sunyi semenjak satu-satunya orang ia cintai meninggalkan dunia ini. Dia membiarkan kesunyian dan dinginnya hawa yang melanda memeluk tubuh kekar lelaki itu. Tak bisa dan tak ada lagi kehangatan di sana. Meski sudah ada kehadiran Arsen dan memiliki teman-teman yang begitu solid, tetap saja Deovander merasa ada yang … kurang dan hilang dari pelukannya.
Mata Deovander terpejam. Tangannya membuka laci meja kerja, mengambil figura kayu berbentuk landscape. Seorang wanita mengenakan gaun floral tersenyum di sana dan taman penuh bunga beraneka ragam menjadi latar belakang foto tersebut. Ah, hati Deovander menjadi mendadak tak karuan melihat foto itu apalagi dibarengi kenangan yang melintas.
Makan. Minum. Belanja. Bermain. Tertawa. Dan, hal-hal lainya … Semua itu pernah mereka rasakan dan tentu saja membagi perasaan yang dialami. Tidak peduli susah, senang, sedih, ataupun sakit, mereka akan selalu menggenggam tangan satu sama lain. Tapi, kini … tangan siapa yang akan Deovander genggam untuk menyalurkan semua perasaan dalam hatinya itu tanpa merasa terbebani? Ia memang memiliki banyak teman, tapi mereka pasti mempunyai kesibukan masing-masing. Lagipula, Deovander sudah merepotkan mereka selama beberapa tahun belakangan ini untuk mencari seseorang.
Tergeletak sejak tadi di samping laptop, ponsel casing hitam berbunyi nyaring memcah kesunyian yang ada, dinginnya ruangan, dan lamunan sang pemilik ruangan. Tangan lelaki itu terulur dan mengambilnya, menerima telepon dari putera semata wayang. “Ya, Arsen?” tanyanya.
“Aku pulang sore, buat latihan olimpiade di perpus sekolah. Kan, kemarin latihannya dibatalin karena Miss Ana sakit. Jadi, ya, hari ini double sama kemarin,” jelas Arsen.
“Oke. Nanti Daddy jemput,” balas Deovander lembut.
“YASH! MAKASIH BANYAK, DAD!” Arsen bersorak gembira tapi tak berlangsung lama, mengingat akan omongan wali kelasnya. “Oh, ya, Dad. Miss tadi ngechat aku, tawarin aku tentang kelas aksel—”
“Nggak. Jangan, ah,” potong Deovander tidak peduli apa respon Arsen nantinya. “Kamu itu udah kecepatan sekolah, TK umur tiga tahun, waktu SD juga udah akselerasi, masa SMP akselerasi lagi? Kemungkinan, tergantung kamu juga, sih, waktu SMA kamu jadi malas belajar. To be honest, Daddy agak nyesel ngikutin saran Uncle Fajar,” jelas Deovander mengungkapkan rasa ketakutan dalam hati sekaligus kekesalan pada salah satu sahabatnya yang masuk kategori bobrok itu.
“Ih, Dad! Gak bakal malas. Suer. I promise. Enak, lho, Dad … cepet lulus, walaupun akeh tugas, bikin badan pegel kabeh.”
“Tuh! Kamu ngakuin sendiri. Udah, tolak aja. Bilangin ke Miss Ana, Daddy gak setuju kamu masuk kelas aksel.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Hero
RomanceDeovander berhasil menyembunyikan rahasia terbesar dalam hidupnya selama belasan tahun. Namun, siapa sangka orang tua Deovander mengetahuinya? Sehingga, fakta lain yang juga lama terpendam akhirnya terungkap mencapai akar. ©BerlianGunawan2...