27 - TITIK TERANG

143 21 0
                                    

Deovander dan Deolinda turun dari taksi yang mereka tumpangi dengan dada yang terasa berat dan cairan putih siap meluncur deras dari ujung kelopak mata. Sebagian besar diri mereka menganggap ini nyata dan mimpi, hanya mimpi buruk di malam hari. Tapi nyatanya, sepasang kekasih itu berdiri di pintu lobi rumah sakit yang dikirim oleh si penelepon tadi.

Deolinda menoleh ke kanan, menatap lekat wajah datar Deovander. Walau ekspresinya seperti itu, dia tahu jika sebenarnya Deovander rapuh di dalam dan berusaha meningkatkan sisi kuatnya saat ini. Pandangan Deolinda beralih ke tangan kekar lelaki itu, lalu menyelipkan jari-jemarinya ke sela-sela jari berurat itu.

Merasa tangan digenggam lembut, Deovander menunduk melihat tangan putih mulus Deolinda yang lembut. Lelaki itu tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. Ia kemudian memberanikan kakinya menginjak ubin marmer rumah sakit bersama Deolinda sambil berharap dalam hati jika semua ini adalah mimpi.

"Linda! Deo!" memanggil seseorang terdengar tergesa-gesa, membuat keduanya sedikit mengeluarkan badan ke belakang.

"Mama?" panggil Deolinda.

"Arsen..., apa yang terjadi?"

"Kita masuk dulu ya, Ma."

Lobi rumah sakit tidak terlalu ramai malam ini. Hanya beberapa perawat dan pasien yang meninggal lalang. Sehingga, mempersingkat waktu Deovander dan Deolinda untuk bertanya pada resepsionis.

"Izin," kata Deolinda begitu tiba di depan meja resepsionis.

"Iya, Kak? Ada yang bisa saya bantu?" tanya balik seorang perawat.

Tiba-tiba, bunyi ponsel Deovander yang menandakan notifikasi masuk menyita perhatian keduanya.

ALPHERATZ
Aldo Bamantara
[Lokasi]
Datang ke sinii, rek. Arsen masih hidup.

Dunia seakan berhenti. Tubuh mereka langsung kaku saat itu juga. Sedetik kemudian, keduanya saling bertatapan dengan bibir yang melengkung sempurna ke atas serta ribuan kupu-kupu berterbangan di perut. Pasangan kekasih itu menoleh saling menatap, memberi anggukan sesama-paham jika semua ini hanyalah permainan Austin.

Usai pamit dan mengucapkan terima kasih, ketiga orang berbeda usia itu segera keluar dari rumah sakit. Mengantarkan Yeni pulang ke mansion, untuk mencegah hal yang tidak diinginkan jika berada di apartement Deolinda seorang diri lalu segera menuju lokasi yang dikirim oleh Aldo.

Deovander sebenarnya sudah tidak heran dengan sifat Austin, tetapi semua ini sungguh di luar ruangnya. Bagaimana bisa Austin menemukan keberadaan Arsen? Bagaimana bisa para bodyguard lengah dalam penjagaan? Bagaimana semua ini terjadi? Bagaimana kondisi Arsen sekarang? Empat pertanyaan itu benar-benar memenuhi kepala Deovander.

Tangan kanan berurat lelaki itu mencengkram erat kemudi bersamaan dengan napas yang tersengal-sengal di saat kedua mata menatap tajam ke depan, sekali-kali tangan kiri menggerakkan mobil Jeep Wrangler Rubicon hitam berplat nomor L 0503 DVR melaju kencang memecah jalan tol Pandaan-Malang.

Melihatnya, Deolinda hanya bisa mengelus tangan kiri sang kekasih. Ia paham, apa yang dirasakan lelaki itu. Tetapi, pada saat ini, tak ada hal yang bisa dilakukan selain mengelus tangan. Kata-kata penenangpun sepertinya tak mampu, malah membuat amarah Deovander yang terpendam bisa meledak-ledak-mungkin.

***

Suara ketukan sepatu menyapa ruang keluarga yang terasa sunyi nan mencekam. Indera penglihatannya muncul di layar televisi yang menyiarkan berita pada malam ini lalu berpindah ke seorang wanita yang duduk di kursi sofa dan kembali mengedarkan pandangan sekitar.

Penataan perabotnya masih sama seperti puluhan tahun yang lalu, hanya saja ukuran TV menjadi lebih besar. Foto-foto dalam pigura berbagai ukuran terpajang di berbagai sisi, seperti di sebelah tv-terdapat pigura polos motif kayu dengan foto Deovander memeluk Nabila dari belakang di studio foto berukuran A4. Itu sebelum terjadi peristiwa yang menyebabkan Keluarga Tenggara hancur lebur di dalam. Kemudian, di sebelahnya, ada foto Wade dan Weni sedang bergandeng tangan di tengah daun-daun berguguran di Korea Selatan.

Sweet HeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang