Confess

8 2 0
                                    

Heins
"Masih mau ke tempat biasa?"

"Ya. Nanti aku kesana."

"Thanks. 🤗"
"Semoga enggak cuma aku yang kangen. 😘"

"Haha... me too. 😘"

"😍😍😘"

"😜"

_______

Menyusuri lorong. Hari ini tidak seperti biasa. Terdapat dua gadis berjalan pelan di depan, yang tak asing lagi.

'Lily...'
Nampaknya Lily menuju arah yang sama dengannya.

Amy melangkah mendahului mereka dengan sikap sopan, menghadapkan wajahnya pada mereka. Berjalan dan menyapa "Mari kak."
Lily seperti terkejut, menyadari Amy.

Begitu ringan memberi salam, seakan tidak ada apa-apa. Lily berpikir, normalnya dua wanita akan bersitegang bila menyangkut pada satu pria. Bukankah Amy seharusnya takut, atau cemburu, dan membencinya.

Tidak dengan Amy yang memberi senyum baik kepada mantan dari cowok yang sedang mendekatinya. Langkah Lily terhenti, kawannya juga keheranan. Mereka membiarkan Amy menempuh jalan di depan. Melihatnya berjalan cepat dengan anggun.

'Apa maksudnya! Dia ngeremehin aku?!'
Lily memendam kesal, merasa tindakan untuk memanas-manaskan Amy tidak ada gunanya. Hahya mempermalukan dirinya.

Menyadari itu, Lily putar balik. Keinginannya telah hilang, angan-angan untuk membuat Amy mundur, sirna seketika. Kalah sebelum melanjutkan.

Tidak, sudah kalah dari pertama. Kejadian kemarin, tidak mengusik Amy sama sekali. Lily melihat sisi Amy itu, yang tak dimilikinya.

Mengundurkan diri, malu dan benci pada Amy.

- -

Sore ini, ramai penonton.

Saat memalingkan pandangannya, Amy menyadari tatapan Heins padanya. Heins berdiri memanggilnya untuk mendekat. Heins memberikan tempatnya untuk Amy. Cepat-cepat duduk. Berterima kasih pada Heins. Sedikit kecewa tidak bisa bersebelahan.

Heins memberikan senyum manisnya, ketika duduk di bawah Amy.
"Eh!" Amy terkejut.

Heins menyandarkan punggungnya ke kaki Amy. Kepalanya bersandar pada dengkul Amy. Menengadah. Rambut Heins menggesek, serasa geli. Hal itu membuat pipi Amy memerah. Kedekatan ini, orang di sekitar pasti mengira mereka pacaran. Padahal belum.

Melihat kebawah, mengelus rambut Heins. Refleks.

Tangan Amy seketika ditarik Heins turun ke pipinya. Pipi Heins hangat, ketika di gesekannya ke tangan. Amy tersipu meraskan sensasi itu. Heins masih menggenggam tangan Amy, menahannya tetap pada pipinya. Amy mengelus pipi itu dengan ibu jarinya.

Entah mengapa tubuh mereka sudah saling terpikat, debaran hati mereka terasa, sentuhan mereka meneriakan isi hati masing-masing.

'Kapan Heins akan 'menembak' ?'
Dalam lubuk hati, Amy menantikan momen itu.

***

Chocolate DelayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang