Wanted You

12 2 0
                                    

Amy kembali pada kesepiannya, setelah kepulangan Heins.

Di kamarnya sedikit dingin, merindukan kembali kehangatan Heins.

'Harusnya Remy sama Amy aja...'

Kalimat yang tadi masih bergeming...

Tak tahu harus berbuat apa. Remy sudah dengan yang lain. Tapi Amy yang terlebih dahulu menyerah dengannya.

Tak bisa menerima kebersamaan Remy dan Lizy. Begitu pula dengan yang lainnya, mereka jelas tidak menerimanya. Mereka menyayangkan pilihan Remy. Itu benar-benar membuat sesal di dada.

'Kalau ceweknya lebih cantik dari aku sih, aku siap terima kekalahan...'

'Remy pantas disandingkan dengan gadis perfect... harus...'

'Siapa yang menyatakan perasaan duluan? Kalo itu Remy duluan...'
'I'm dead...'

'Atau karena lagu Ewin, Lizy jadi nyatain perasaannya ke Remy?'

Amy masih bergumul dengan kondisi ini. Sangat tidak menerima kenyataan, tidak dapat menerima kalah dari sosok Lizy. Kesal. Benci dengan kisahnya. Kehilangan kesempatan.

- -

Perasaan menyesal terus menghantui selama bersekolah.

Di kelas dapat terdengar bisik-bisik lainnya. Nampak satu kelas juga shock dengan hubungan diantara Remy dan Lizy. Tak diduga mereka untuk Remy... memilih bersama Lizy.

Berhari-hari Amy merasakan patah hati setiap di dalam kelas. Memilukan, melihat kebersamaan Remy dan Lizy.

Masam. Perlahan Amy merasa jengkel dengan Remy. Jengkel karena Remy bermain misterius, dingin, kaku, dan tertutup.

Sesuatu itu membuat Amy kesulitan untuk mendekati.

Kesal juga dengan diri sendiri, begitu lemah. Kesal... sangat kesal.

- -

Amy bersyukur, waktu pulang sekolah adalah yang ditunggu. Untuk melepas kesedihan, bertemu dengan Heins. Seperti biasa, Amy dan Heins mengitari sisi lain dari kota ini, baru mengantarkan pulang. Begitu saja dapat mengobati kesedihan Amy.

Senja yang indah, mengantar Amy sampai di depan gerbang rumahnya. Heins hendak langsung berpamitan. Tak biasa, Owen ada di balik gerbang, sedang ingin mengeluarkan mobil hendak pergi. Itu membuat Amy dan Heins shock.

Heins nampaknya terkejut karena tatapan Owen yang penuh keseraman. Owen bertingkah seperti bapak. Mereka tak dapat berkutik.

Cepat melihat kondisi, Amy mementingkan perasaan Heins, tidak memaksanya untuk turun menemui Owen. Amy takut hal itu akan membuat Heins tidak nyaman, lalu hubungan mereka tak sama lagi.

Amy kikuk. Heins yang tegang, seketika berpamitan dengan Amy, meninggalkan Owen yang seperti pengawas di belakang.

"Dek! Kamu sama siapa?!" Owen mulai dengan nada tidak enak.

"Pacarku..." Amy malu dan risih untuk menjawab.

"Pacar kok enggak mau sapa aku. Enggak bener itu, enggak sopan! Putusin aja! Dia enggak serius sama kamu itu!"

"Kalau serius dia mau kenalan sama keluarga. Kalau menghindar kayak tadi berarti main-main doang!"

Owen cerewet menasihati adiknya. Amy merasa sedih, hatinya sedikit luka terasa. Tidak terima Owen mentah-mentah menolak Heins. Heins sosok yang diinginkan Amy, tapi di remehkan oleh Owen.

Rasa ingin membantah semua pernyataan Owen, Amy memilih memendam emosinya. Menundukan kepala, mengiyakan Owen.

"Bener loh. Awas sampai aku lihat dia lagi." Ancaman Owen terasa menusuk. Amy masih ingin bersama Heins.

Chocolate DelayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang