"Besok baru aku masuk. Lagian ini kan hari libur jadi di kantor pasti nggak ada orang," sahut Gibran.
Tangan Gibran terulur mengusap sudut bibir Della yang membuat gadis itu terdiam seketika. Tatapannya bertemu di satu titik yang sama dengan Gibran. Sungguh Della benar-benar merasakan adanya kenyamanan saat bersitatap dengan pria di depannya ini.
"Ehem... kalau salting bilang," bisik Gibran setelahnya terkekeh pelan.
Mata Della membola, ia pukul pelan tangan Gibran bahkan gadis itu sampai bangun dari kursinya demi melayangkan pukulan kecil dibahu Gibran, juga menghadiahi pria itu dengan cubitan di lengan bagian atas.
"Awww... Della sakit, Del. Ampun-ampun," pekik Gibran yang tidak dihiraukan Della.
"Rasain nih, siapa suruh ngeselin. Pagi-pagi udah buat em..."
Cup.
Tubuh Della bagai tersengat listrik. Tangannya terkulai lemas ke sisi tubuh dengan mata tak berkedip. Gibran yang melihatnya tersenyum simpul dan kembali mendekatkan wajahnya pada Della.
"Mau lagi, nggak?" bisiknya tepat di depan wajah Della.
Della mendorong pelan wajah Gibran dan kembali ke kursinya.
"Mesum banget sih kamu, Mas. Belum apa-apa kamu udah berani cium pipi aku. Gimana besok-besok," omel Della.
Dengan wajah bersemu merah karena salah tingkah Della menguyah nasi gorengnya tanpa melirik pada Gibran.
"Besok-besok ciumnya di bibir ya. Udah suami istri, udah boleh lho," kata Gibran.
"Enak aja!" ketus Della.
Istri dari Gibran itu menunduk guna menyembunyikan wajah meronanya. Sementara Gibran terkekeh pelan. Ada kebahagiaan tersendiri di hatinya setelah berhasil mengusili sang istri.
"Aku mau mandi dan siap-siap dulu," kata Della bangun dari kursinya.
"Nggak mau bantuin aku nyuci piring dulu?" teriak Gibran pada Della yang sudah berlalu.
"Nggak...!" balas Della yang ikut berteriak.
Tawa Gibran semakin terdengar lepas. Ia pandangi piring bekas makan Della yang tersisa sedikit makanan lagi. Anti mubadzir, pria itu menghabisinya.
Setelahnya ia mendekati wastafel dan mencuci satu persatu peralatan masak dan makan.
"Ya ampun Mas, kamu serius nyuci piring?" tanya Della dengan wajah bengong.
Istri dari Gibran itu terlihat sudah rapi. Ia mendekati Gibran yang mengangguk pelan.
"Ya serius lah. Masa becanda. Btw, aku tadi nyuci piring sendirian kayak duda aja," ujarnya.
Della terkekeh pelan. Ia raih tangan Gibran dan mengelus telapak tangan itu lembut. Selain tampan dan mapan ternyata Gibran ini pria yang tidak hanya jago bicara. Wanita mana pun pasti tidak akan menolak jika diberi suami seperti Gibran.
"Maaf ya Mas, tadi aku nggak bantuin. Sekarang Mas mandi terus siap-siap kan kita mau pergi," kata Della.
"Iya. Kamu tunggu di depan ya. Aku nggak lama kok," ujarya yang diangguki Della.
Della melangkah pelan menuju ruang tamu. Pikirannya melayang entah ke mana. Jauh sebelum ia bertemu Tiana sebagai teman kemudian diberi kepercayaan untuk bekerja di rumah gadis itu, sebelumnya Della hanyalah seorang gadis biasa yang hidup penuh keterpurukan.
"Sampai sekarang Della masih belum bisa nemuin ibu. Ibu di mana?" gumamnya sedih.
Tanpa terasa air mata gadis itu mengalir di salah satu pipi. Sungguh Della rindu pada sosok ibu yang dulu terpaksa meninggalkannya dan kata sang ayah, ibunya pergi karena perintah dari sang mertua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagiaku Bersamamu
RomanceDella tidak tahu jika dirinya akan menikah dengan Gibran.