Part 18

4K 161 1
                                    

"Om, Tante...," sapa Dirga setelah berhasil mengambil 2 langkah ke belakang agar jaraknya dengan Aira terlihat.

Kini di samping gadis itu berdiri ayah dan bundanya. Awalnya Dirga tidak tahu menahu tentang Aira yang menginap di rumah Gibran tapi lampu di kamar Aira padam tadi Dirga mencari lokasi Aira melalui alamat yang terhubung di ponsel gadis itu.

"Kamu ngapain ke sini malam-malam?" tanya Gibran sambil merangkul pundak Aira, seolah menunjukkan pada Dirga jika Aira adalah miliknya.

"Ee ... cuma mau mastiin kalau Aira baik-baik aja, Om. Soalnya tadi Dirga dengar suara Aira teriak-teriak. Takut dia kenapa-napa karena kan Aira phobia gelap. Maaf Om, Dirga ke sini tanpa izin dulu," jawab Dirga dengan nada sopan.

Lagi-lagi Gibran merasa pilu karena penjelasan Dirga. Ia sebagai ayah saja tidak tahu soal putrinya yang ternyata phobia gelap tapi Dirga, tahu semua itu. Sungguh semakin dikulik Gibran merasa semakin tidak berguna bagi putrinya sendiri. Mungkinkah untuk mendapatkan hati sang putri saja ia harus punya saingan?

"Ya sudah, kamu udah lihat kan kalau sekarang Aira baik-baik aja? Udah malam, ada baiknya kamu istirahat ya," kata Gibran menepuk pelan bahu Dirga.

"Baik, Om. Kalau gitu Dirga pamit pulang. Assalamu'alaikum, Om, Tante,  Aira."

"Wa'alaikumussalam," sahut mereka secara bersamaan.

"Makasih banyak ya Dirga. Kamu udah mau repot-repot datang ke sini untuk Aira," ujar Della yang berdiri di sebelah kanan Aira.

"Iya sama-sama, Tante."

"Kamu hati-hati di jalannnya," pesan Aira.

Dirga mengangguk sebagai jawaban pada Aira. Pria tampan itu menaiki motornya dan melaju keluar dari gerbang rumah Gibran.

Sementara Gibran langsung berdehem melirik Aira yang masih menatap kearah yang sama sementara Dirga sudah tidak ada di sana.

"Udah pergi orangnya, nggak usah diliatin lagi," sindir Gibran.

Aira menggerakkan kedua bola mata ke arah yang tidak tepat. Ia gugup ketahuan fokus pada Dirga oleh orangtuanya sendiri.

"Lho, Bunda ke mana, Yah? Bukannya tadi berdiri di sini ya?" tanya Aira yang baru sadar jika sudah tidak ada Della di sana.

"Ke kamar, katanya mau ke kamar mandi."

Aira menjawab dan mendangak lalu tersenyum pada langit malam yang indah.

"Aira suka lihat bintang, ya?" tanya Gibran yang langsung diangguki oleh putrinya.

"Iya Yah. Lihat bintang itu bisa buat hati Aira jadi tenang. Biasanya Aira sama Dirga kalau malam minggu pasti lihat bintang," kata Aira dengan senyum merekah.

"Kita masuk, yuk. Udah malam, Sayang."

"Tapi Aira masih mau lihat bintang, Yah. Sebentar lagi aja. Emangnya Ayah nggak suka lihat bintang?" sahut Aira yang dijawab gelengan kepala oleh Gibran.

"Kenapa? Padahal bintang itu indah. Kalau gitu ayah temenin Aira aja ya." kata Aira.

Gibran mengusap puncak kepala Aira dan menatap lekat sang putri. Menatap wajah cantik Aira, Gibran seperti melihat Vanya. Dari wajah sampai cara bicaranya pun sama.

"Ayah nggak mau kehilangan Aira, Sayang."

Aira mengerutkan dahi dan menatap tanya pada Gibran yang mendangak sebentar kemudian kembali menunduk. Putrinya butuh penjelasan.

"Dulu Ayah suka lihat bintang dan ibunya Aira juga suka. Apalagi waktu Aira lagi dalam kandungan, ibu selalu minta ayah temenin untuk lihat bintang di luar rumah."

Aira mengikuti langkah Gibran menuju kursi panjang di dekat kolam ikan. Gadis itu duduk di sebelah ayahnya yang sepertinya masih ingin bercerita.

"Terus di situ ayah mulai jatuh cinta sama ibunya Aira tapi nggak lama dari situ, Ayah harus kehilangan ibu karena pendarahan berlebih setelah Aira dilahirkan."

Air mata Aira tidak bisa terbendung lagi. Pilu mendengar sebait cerita sang ayah tentang ibunya. Ternyata Ayahnya punya alasan tertentu mengapa tidak mau melihat bintang dengan sengaja di malam hari.

Ayahnya mulai jatuh cinta? Apa itu artinya ayah dan ibunya bersatu bukan karena cinta?

"Jadi Aira terlahir dari wanita yang dulunya Ayah nggak cinta, ya?" tanya Aira hati-hati.

Gibran kaget mendengar pertanyaan sang putri. Perlahan ia sadar jika usia Aira sudah tidak kecil lagi.

"Awalnya begitu tapi perlahan cinta itu tumbuh setelah ada Aira di kandungan ibu. Dan setiap malam tidak indah bagi ayah dan ibu tanpa lihat bintang."

"Ayah nggak mau temenin Aira lihat bintang karena Ayah takut kalau hal menyakitkan yang pernah Ayah alami waktu itu terulang lagi," ujar Gibran merangkul pundak Aira.

"Aira janji kalau Aira nggak akan tinggalin Ayah sampai waktunya nanti tiba. Aira selalu sayang sama Ayah," kata Aira membalas tatapan ayahnya.

"Ayah harus bisa mengikhlaskan peristiwa menyakitkan waktu itu. Hidup terus berjalan, kan Yah? People come and go. Ibu udah tenang di alam sana, sekarang ada bunda yang hatinya harus Ayah jaga. Bunda itu orang baik dan harus Ayah perlakukan dengan baik. Jangan terus-terusan terpuruk karena Ayah belum bisa ikhlasin ibu."

"Sehebat-hebatnya perempuan, dia punya rasa cemburu yang tinggi, Yah. Selagi ada dan selagi bisa Ayah harus buat bunda bahagia. Ayah nggak harus lupain ibu, kok. Kan sekarang ada Aira, anaknya Ayah dan ibu."

Gibran mengecup puncak kepala Aira dan memeluk erat putrinya. Aira benar. Ia bahagia dengan Vanya tapi saat kebahagiaan itu diambil ia diberi berlipat kebahagiaan lainnnya. Mendapatkan istri yang cantik dan berhati baik seperti Della adalah bahagia yang sangat besar.

"Maafin Ayah ya Nak. Ayah udah sia-siakan Aira sampai belasan tahun. Jujur Ayah malu karena mendapat wejangan dari gadis kecil yang dulunya Ayah nggak pedulikan. Harusnya Aira marah sama Ayah tapi..." ujar Gibran menitikkan air mata.

"Untungnya apa kalau Aira marah sama Ayah? Aira sayang sama Ayah," balas Aira lembut.

Wajar jika di usia remaja ini putrinya sudah disukai pria seusianya. Aira ternyata punya hati yang besar dan baru beberapa hari ia dekat dengan Aira, hatinya seolah sudah terpikat oleh sikap dan sifat baik putrinya.

"Ayah juga sayang sama Aira. Makasih untuk semuanya Sayang," kata Gibran kembali melabuhkan kecupan di puncak kepala Aira.

_________

Dari balik jendela kamarnya, Della menatap dengan penuh senyum ke arah anak dan ayah yang saling berpelukan di kursi depan rumah mereka. Tadi ia sengaja kembali ke kamar karena merasa ada yang aneh pada dirinya dan ternyata setelah diperiksa di kamar mandi, wanita itu ternyata benar sedang kedatangan tamu bulanannya.

"Semoga hatiku bisa luas dan lapang untuk menerima putri kesayangannya. Bagaimana pun, aku ikut berperan dalam mempersatukan mereka."

Della memang istri Gibran tapi ia juga tidak lupa jika suaminya punya anak dari wanita lain.

"Semoga juga aku bisa menjadi ibu yang baik untuk Aira dan anak-anak kita nanti, Mas. Aku bahagia ada di antara kamu dan Aira," gumamnya lagi.



Bahagiaku BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang