Part 9

5.2K 247 3
                                    

Gibran menutup pintu kamar rawat Aira setelah ia masuk. Pria tampan itu menarik kursi untuk ia duduki. Pandangannya menatap lekat sang putri yang terbaring dengan sebelah tangan dialiri cairan infus. Wajah putrinya pucat. Berbagai perasaan beradu di hatinya melihat kondisi Aira seperti ini.

Dengan bergetar sebelah tangan Gibran terangkat untuk mengusap puncak kepala Aira. Ia pandangi wajah cantik putrinya. Benar, Aira sangatlah jelita. Wajahnya terpahat dengan sangat sempurna. Wajah ini menenangkan dan selama beberapa menit ini hati Gibran jauh lebih tenang hanya dengan menatap wajah putrinya.

"Maafkan Ayah ya, Nak. Ayah jahat banget sama Aira. Belasan tahun ayah terus-terusan menggores luka di hati Aira," gumamnya.

Tanpa terasa air mata Gibran jatuh begitu saja. Ia genggam tangan mungil Aira. Ini untuk yang pertama kali tangannya memberi kehangatan untuk Aira.

"Aira udah sebesar ini. Maafkan Ayah yang belum pernah memeluk Aira dengan ikhlas, Nak."

Tadi hatinya benar cemas mendengar sendiri ucapan dokter yang mengatakan jika putrinya terkena gejala tipes dan harus dirawat inap minimal 3 hari di rumah sakit.

Perlahan mata indah Aira mengerjap dan terbuka. Gadis remaja itu melirik ke arah Gibran lalu kembali mengerjapkan matanya sampai beberapa kali seolah ingin memastikan jika matanya masih berpungsi dengan sangat baik.

"Sayang, kamu udah bangun?" tanya Gibran lembut.

Alih-alih tersenyum bahagia, Aira justru menatapnya bingung untuk beberapa saat yang kemudian air mata gadis itu mengalir begitu saja di permukaan pipinya. Aira merubah posisinya menjadi duduk.

"Ya Allah, Aira kangen ayah. Sampai Aira mimpi kayak gini. Aira ikhlas kalay Ayah marah-marah sama Aira lagi, bentak Aira lagi asal Aira bisa deket sama Ayah," ujarnya penuh pilu.

Lagi-lagi hati Gibran bagai ditikam belati mendengar ujaran putrinya. Luka yang ia beri sudah terlalu dalam untuk Aira. Pantaskan ia dimaafkan?

"Aira," panggilnya lembut.

Tatapannya dan Aira saling berbalas. Pipi Aira ia usap lembut.

"Ayah?"

Aira masih kurang percaya jika orang yang ia rindukan benar-benar ada di sini.

"Ini ayah, Sayang."

Seketika pandangan Aira mengarah ke segala penjuru ruangan. Kemudia gadis itu meraba tangan Gibran yang masih bertengker di pipinya.

"Apa Aira udah mati ya? Terus Ayah datang untuk ketemu Aira terakhir kalinya?" tanyanya entah pada siapa.

Gibran menggeleng kuat. Ia bangun dari duduknya dan membungkukkan badan agar bisa memeluk Aira. Tubuh Aira menegang dengan bahu bergetar karena tangisan.

"Ayah ini di sini, Nak. Aira nggak lagi mimpi atau apa pun itu. Maafkan Ayah, Sayang."

Beberapa kali Gibran mengecup puncak kepala Aira demi meyakinkan pada putrinya jika ini bukankah mimpi. Senyum disertai linangan air mata tidak bisa ia tahan saat sebelah tangan Aira membalas pelukannya. Kepala putrinya bersandar di dada Gibran.

"Ini beneran, dan Aira nggak mimpi?" tanya Aira masih tersedu.

Gibran mengusap punggung Aira dan mengangguk pelan.

"Aira nggak mimpi, Sayang. Ayah ada di sini untuk Aira," ujar Gibran lembut.

________

Sedari tadi banyak hal yang Della tahu dari Firly mengenai Aira. Dari sini juga Della tahu jika ternyata Firly sudah lama menikah tapi belum dikarunia satu pun keturunan.

"Saya sempet kaget karena tahu Mas Gibran menikahnya sama Mbak Della. Karena setahu saya calon istri Mas Gibran itu Mbak Tiana yang dulu sempat menjadi sekretaris di kantor suami saya," kata Firly ketika bahasan mereka sudah di tengah.

"Jangankan Mbak Firly, saya sendiri saja kaget di hari itu karena Mbak Tiana menarik lengan saya untuk duduk di samping Mas Gibran. Ternyata dia sudah merencanakan semuanya. Surat-surat yang dilampirkan ke penghulu adalah data milik saya."

"Sebenarnya Mbak Della bisa bertindak secara hukum,"

"Tapi Mbak Tiana dan keluarganya memang sangat berjasa bagi saya, Mbak."

Firly mengusap lengan kanan Della dengan senyuman menenangkan.

"Pasti ada hikmah di balik semuanya, Mbak."

"Oh iya, kalau saya boleh tau. Selama sebesar ini apa Mas Gibran pernah datang di saat Aira sakit?" tanya Della.

Manusia mana sih yang tidak pernah merasakan sakit? Dan salah satu obat bagi si sakit adalah hadirnya orang tersayang bagi keluarga.

"Ini yang pertama, Mbak. Mas Gibran nggak pernah datang kalau saya kasih tau tentang Aira."

Diam-diam Della mengagumi sosok Firly yang terlihat sangat tulus atas Aira. Selain Firly acungan jempol juga pastinya diberikan pada suami Firly yang tidak melarang Firly untuk merawat Aira yang bukan anak mereka.

"Sebenarnya saya nggak mempermasalahkan tentang biaya hidup Aira. Tanpa Mas Gibran beri pun, saya pasti akan memberikan yang terbaik untuk dia. Tapi saya nggak bisa beri pelukan orangtua kandung untuk dia."

"Firly, Sayang... gimana keadaan Aira?"

Della dan Firly sontak bangun dari duduk mereka ketika seorang lelaki bernama Tama yakni suami dari Firly menghampiri mereka. Terlihat raut khawatir di wajahnya.

"Mas," ucap Firly yang langsung dipeluk oleh Tama.

"Aira sakit apa? Dia baik-baik aja, kan?" tanya Tama lagi.

"Aira kena gejala tipes, Mas. Harus rawat inap beberapa hari di sini."

"Innalillahi, terus kamu ke napa di sini? Kenapa nggak tememin di dalam?"

"Alhamdulillah di dalam ada Mas Gibran yang temamin Aira, Mas."

Dahi Tama mengernyitkan dahi dan menatap tidak percaya pada sang istri, kemudian tatapannya beralih pada wanita yang berdiri di samping Firly.

"E... Mas, kenalin ini Mbak Della. Istrinya Mas Gibran. Berkat Mbak Della juga Mas Gibran terbuka hatinya untuk datang menjenguk Aira," kata Firly.

"O iya. Kenalin saya Tama. Suami dari tantenya Aira."

Della mengangguk dengan kedua tangan ditangkup.

"Mas kok pucat sih? Pasti kurang istirahat ya? Mas pulang aja deh," ujar Firly pada suaminya.

"Aku tuh khawatir sama Aira, Sayang. Kita tunggu sama-sama ya," sahut Tama.

_________

Sejak tadi tangan Gibran tidak melepas genggamannya pada tangan mungil sang putri.

"Ayah ke sininya sendirian?" tanya Aira.

"Nggak. Ayah ke sini sama..."

Gibran menjeda jawabannya dan menatap lama sang putri yang menanti jawaban darinya.

"Sama siapa, Yah? Sama Bunda, ya?"

Mata Gibran mengerjap seketika.

"Bunda?" gumamnya.

Aira mengangguk dan mengulas senyum manis. Semakin ditatap Aira semakin terlihat cantik.

"Kalau Aira boleh tebak, yang sama Ayah di makam ibu itu Bunda, kan?"

Gibran merapikan anak rambut Aira mengelus lagi pipi anak gadisnya.

"Kenapa Aira panggilnya Bunda?"

"Ya karena Aira udah punya ibu. Aira boleh kan Yah panggilnya Bunda?"

Gibran bungkam tidak bisa menjawab. Ia tahu Della orang baik bahkan sangat baik. Della adslah orang yang berhasil mengetuk hatinya yang seolah terkunci untuk menjawab pertanyaan anaknya.

"Oh iya, terus bundanya mana? Kok nggak diajak masuk?" tanya Aira.

"Ayah panggilin dulu ya."

Lanjutnya besok ya, Ummi setiap hari up kok.







Bahagiaku BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang