"Pas banget nih, hujan-hujan gini enaknya makan mie ayam," kata Della yang tengah menikmati suapan demi suapan mie ayam yang tersedia dalam mangkuk di hadapannya.
Untung mereka tepat waktu, jadi sampai di warung ini belum diguyur hujan. Tadinya Gibran ingin mengajak Della makan di resto yang biasanya ia singgahi tapi sang istri minta makan di sini. Tidak mengecewakan, mie ayam ini rasanya enak dan pas di lidah. Pantas saja warung ini teelihat ramai meski sudah malam begini.
"Enak juga ya makan di warung pinggir jalan kayak gini," sahut Gibran yang langsung membuat Della menatapnya lekat.
Wanita itu meletakkan gelas yang isinya tinggal setengah lagi. Kemudian menggeser pelan mamgkuk mie miliknya dan memegang sebelah tangan Gibran. Masih tersisa setengah mangkuk mie di hadapan mereka masing-masing.
"Mas belum pernah makan di warung pinggir jalan kayak gini? Maaf ya Mas, aku udah ngerepotin Mas. Harusnya aku sadar kalau...."
Kedua bibir Della ditutup oleh jari telunjuk milik Gibran. Pria itu menggeleng pelan dan mengeratkan genggaman tangan mereka.
"Kamu nggak ngerepotin aku, kok. Sama sekali enggak. Kalau kamu mikirnya aku kaget karena hal-hal baru yang aku ketahui dari kamu, itu hal wajar karena latar belakang kita kan berbeda tapi..."
Anak rambut Della dirapikan oleh Gibran ke belakang telinga. Menatap lembut kedua bola mata sang istri.
"Perbedaan itu yang membuat semua menjadi indah. Aku bahagia sama kamu, Dell. Tolong jangan ragukan itu ya."
Tentang cinta, Della bodo amat, entah sudah hadir di antara ia dan Gibran atau tidak. Yang ia tahu, ia juga merasa nyaman dan ingin selalu bersama Gibran. Itukah definisi bahagia bersama si dia?
Gibran pun sama, kesederhanaan yang ada pada Della membuatnya betah berlama-lama berada di samping sang istri. Gibran belum pernah merasakan semua rasa ini bahkan saat ia bersama Vanya dulu. Ia pernah mencintai Vanya dan ia sadar Vanya tidak akan kembali.
Della benar-benar membuat lupa pada yang namanya luka dan sakit hati. Bersama Della, ia bahagia. Jauh sebentar saja dari Della perasaan rindu meronta ingin segera berjumpa.
"Maaf Mas, mie ayamnya nggak cukup kalau untuk dua mangkok."
Sayup-sayup terdengar suara penjual mie ayam di warung ini. Della dan Gibran yang tadinya terpaku pada saling pandang kini secara bersamaan menoleh ke arah yang sama. Sontak keduanya kembali saling lirik melihat siapa yang tengah berbincang dengan pemilik warung.
"Ya udah satu mangkok aja, Buk."
"Ih kok satu, sih Ga. Kita kan berdua."
"Untuk kamu aja. Aku nggak laper kok tapi tenang aja. Aku tungguin kamu makan."
"Kok kamu gitu, sih? Katanya tadi mau makan berdua."
"Ya kan yang ngomong lapar tadi kamu. Nggak apa-apa Buk, satu mangkok aja."
"Gimana kalau satu mangkok tapi isinya saya banyakin biar Mas dan Mbaknya bisa makan berdua," kata Ibu penjual.
"Setuju, Buk. Kita tunggu di meja itu ya."
"Ditunggu ya, Mbak."
Della menahan tangan Gibran yang hendak bangun dari duduknya. Pasti pria itu ingin menghampiri Aira yang tengah bersama Dirga.
"Jangan diganggu dong. Anaknya masih mau makan tuh. Entar aja kita samperin kalau Aira udah kelar makannya," kata Della pelan.
Gibran menghela panjang dan menurut saja ucapan sang istri. Pria itu melanjutkan lagi makannya tapi kali ini dengan tatapan tertuju pada sang putri di ujung sana yang sama sekali tidak menyadari keberadaannya dan sang istri di sini.
Sementara itu di meja lain dan masih di lokasi yang sama dengan Gibran - Della, dua anak remaja ini sibuk dengan dunia mereka. Karena di luar hujan, Aira yang memakai baju kaos lengan pendek mengusap kedua lengannya dengan pandangan pada rintikan hujan.
Jantungnya berdetak tidak karuan saat merasakan sebuah jaket tersampir di kedua bahunya. Menggerakkan sedikit bola matanya ke kanan, Aira terpaku pada senyuman tipis penuh ketulusan dari Dirga.
"Dir ... ga? I ... ini kenapa jaketnya..."
"Pake ya. Aku nggak mau kamu kedinginan," kata Dirga merapikan anak rambut Aira.
"Kalau jaketnya dikasih ke aku, kamu yang kedinginan," sahut Aira sembari melirik kedua tangannya yang digenggam oleh Dirga.
Di balik jaketnya tadi, Dirga hanya mengenakan kaos putih polos berlengan pendek.
"Nggak apa-apa, Ai." Dirga berujar lembut.
"Nih, kita makan ya."
Aira mengangguk dan membuka mulutnya saat Dirga menyuapinya. Setelahnya Dirga menyuapinya ke mulut sendiri. Tatapan keduanya tidak teralih dari satu titik yang sama.
"Kamu harus makan banyak, biar sehat terus."
"Kamu juga. Sini gantian aku yang nyuapin," kata Aira mengambil alih sendok dari tangan Dirga.
Dua pasang mata yang sejak tadi memperhatikan dua remaja itu menatap dengan raut yang berbeda. Della menatap dengan penuh senyum sedangkan Gibran menatap penuh dengan perasaan yang campur aduk.
Perlahan telapak tangannya terkepal di atas salah satu paha melihat keromantisan sang putri dengan Durga di depan matanya sendiri.
Dalam hati terdalamnya, ia terluka karena yang kini sedang memanjakan putrinya bukan dia, tapi pria lain. Padahal sebagai ayah, ia lah cinta pertama bagi Aira, namun sebagai cinta pertama ia merasa gagal memberi cinta pada Aira. Gibran kesal dan marah pada dirinya sendiri.
"Mas Gibran pasti panas lihat Aira diratukan oleh Dirga. Semoga dengan ini" gumam Della dalam hati.
Della melepaskan kepalan tangan Gibran dan memberi isyarat pada suaminya untuk beranjak dari tempat duduk. Gibran mengikuti langkah Della yang menghampiri meja di mana ada Aira dan Dirga.
"Kita tunggu hujannya reda baru pulang ya," kata Dirga.
"Aku kabarin Tante Firly dulu ya kalau gitu," sahut Aira yang diangguki Dirga.
Aira menyalakan ponselnya dan mengirim pesan singkat untuk tantenya. Sudah setengah sembilan malam dan Aira yakin jika Tante Firly pasti khawatir karena tadi ia pamit hanya pergi sebentar.
"Awww," pekik Aira meletakkan ponselnya begitu saja ke atas meja.
Dirga menahan tangan Aira yang hendak menggapai matanya yang terpejam.
"Kenapa, Ai?" tanyanya khawatir.
"Nggak tau nih mata aku tiba-tiba kelilip," jawab Aira.
"Jangan dikucek ya. Sini aku tiupin," ujar Dirga yang langsung mendekatkan wajahnya ke wajah Aira.
Beberapa kali hembusan lembut di matanya, Aira mengerjap dan saat itu juga tatapannya dan Dirga saling beradu. Sungguh mata Aira sangat indah bagi Dirga. Tidak pernah bosan menatap mata ini.
Aira juga seolah tenggelam dalam tatapan Dirga. Perlahan bibir gadis itu tersenyum melihat tatapan tulus Dirga untuknya. Belum lagi kedua telapak tangan Dirga terasa hangat menangkup pipinya. Jantung Aira benar-benar berdetak tidak karuan.
"Ehem..."
Lanjut nggak? Pantengin terus ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagiaku Bersamamu
Storie d'amoreDella tidak tahu jika dirinya akan menikah dengan Gibran.