"Saya minta sama kamu untuk jangan lagi dekatin Dirga. Jauhi dia...,"
"Bawa anak anda pulang! Karena mereka dekat bukan hanya keinginan anak saya!" ujar seseorang dengan lantang.
Aira dan Fahri juga Dirga menoleh ke satu arah sama dengan wajah kaget. Di sana berdiri seseorang yang Aira panggil "Ayah" menatap mereka satu persatu sebelum tatapan itu hanya tertuju pada Fahri seorang.
"Ayah?" gumam Aira ketika Gibran tiba di samping kanannya.
"Dirga dan Aira itu sama. Sama-sama ingin bersama. Anak saya mau didekati dan anak Anda pun gemar mendekati. Jadi jangan salahkan anak saya kalau Dirga ingin dekat dengan Aira."
Fahri tersenyum sinis mendengar ucapan Gibran.
"Oke. Mulai sekarang jangan biarkan mereka bertemu lagi. Karena saya tidak sudi mereka menjalin kedekatan," ujar Fahri.
"Pa jangan kayak gitu dong, Pa. Om... Dirga mohon jangan Om," pinta Dirga mewakili Aira.
"Ayo kita pulang Sayang," kata Gibran lembut pada Aira.
"Om...."
Mata Aira langsung berkaca begitu tubuhnya dituntun untuk berbalik oleh sang ayah. Butiran bening itu jatuh saat kaki Aira melangkah menjauh dari tempatnya tadi. Gadis itu membekap mulutnya sendiri menghalau isak tangis yang tiba-tiba menguar begitu saja. Gibran yang sadar akan apa yang terjadi pada Aira menghentikan langkah dan mendekap erat sang putri penuh kasih.
"Aira nangis aja sampai nanti Aira tenang," kata Gibran mengusap rambut Aira.
Aira bukan tipe orang yang bisa menahan perasaan. Jika ia sedih ya ia langsung menangis. Tidak peduli ia sedang berada di mana atau bersama siapa. Tangisnya semakin pecah saat mendapat kecupan hangat di puncak kepalanya dari sang cinta pertama.
"Aira nggak mau jauh dari Dirga, Yah. Aira nggak akan bisa," lirih Aira dengan bahu bergetar.
Seketika Gibran merasa sulit untuk mengolah nafas. Gerakan tangannya yang tadi mengelus rambut Aira kini terhenti. Hatinya sesak mendengar lirihan sang putri. Aduan hati Aira yang terdalam mengatakan jika keberadaan Dirga sangat berarti bagi anak gadisnya ini.
Di atas rasa cemburunya pada pemuda bernama Dirga itu, Gibran merasa kecewa pada dirinya sendiri yang dari dulu tidak mau berusaha untuk menjadi ayah yang baik untuk Aira.
"Padahal biasanya kalau Aira nangis, Dirga selalu ada di samping Aira. Tapi sekarang Aira nangisin Dirga dan... "
Gibran mengelus pipi Aira dengan lembut setelah putrinya melepaskan diri dari pelukan. Terlihat jelas tatapan sendu di kedua mata Aira.
"Ada Ayah di sini untuk Aira. Ayah akan jagain Aira," kata Gibran.
Aira mengangguk dan menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum. Sekarang ada ayahnya yang menemani ia menangis tapi mengapa ia harus menangis karena Dirga? Dua pria yang berarti di hatinya secara bergantian menjadi teman tangisnya di saat salah satunya merupakan sebab ia mengeluarkan air mata.
"O iya, Ayah kok bisa ada di sini? Dari kemarin Aira telpon Ayah kok nggak bisa, ya?" tanya Aira.
Gibran menghela nafas panjang kemudian menarik tangan Aira untuk duduk di kursi yang ada di dekat mereka. Tujuannya tadi membawa Aira dari hadapan Dirga agar sang putri terbebas dari Fahri.
Gibran menjelaskan pada Aira mengenai ponselnya yang sempat jatuh ke lantai
__________
Della mengerjapkan matanya saat merasa ada yang menyentuh rambutnya. Kedua bola matanya langsung menangkap sosok laki-laki yang dua hari ini ia nanti kabarnya. Sontak saja Della merubah posisinya menjadi duduk.
"Mas Gibran? Kapan pulang?" tanya Della masih dengan raut bingungnya.
"Udah dari setengah jam yang lalu aku sampe di rumah. Udah mandi juga," jawab Gibran.
Bagai es campur perasaan Della melihat kehadiran Gibran di sampingnya. Ia bahagia karena suaminya pulang tapi di sisi lain ia sedih mengingat foto yang dikirim seseorang ke ponselnya beberapa waktu lalu.
Gibran sendiri tidak henti menatap penuh arti Della. Wajah yang masih terlihat pucat ini ia pandangi dengan perasaan penuh sesal dan rasa bersalah.
"Mas....? Kok ngeliatin aku kayak gitu?" Della berujar dengan sedikit gugup.
Pasalnya bukan hanya tatapan lekat saja yang diberikan Gibran padanya tapi juga kedua mata pria itu terlihat berkaca.
"Makasih ya Dell, " ucap Gibran dan menggapai tangan istrinya untuk ia kecup berulang kali.
"Makasih karena kamu udah mau hamil anak aku. Makasih karena kamu...."
"Mas tau dari mana aku hamil?"
Aira saja tidak tahu perihal kehamilannya, mengapa Gibran bisa tahu bahkan Della tidak mengabari Gibran tentang hal ini.
"Dokter Anggi. Tadi aku ketemu di rumah sakit. dompet aku ketinggalan di kamar rawat Dina," sahut Gibran.
Tubuh Della bak membeku mendengar nama yang terucap dari bibir suaminya. Ia yang sakit dan dirawat tapi suaminya ternyata ada di rumah sakit yang sama dan ternyata lagi masuk kamar rawat wanita lain.
"Apa Dina ini nama perempuan yang meluk Mas Gibran itu?"
Melihat raut wajah Della yang berubah dan tatapannya seperti kosong, Gibran sadar akan ucapannya. Pria itu gelagapan saat Della melepas genggamannya.
"Dell, kamu jangan mikir yang macam-macam ya. Aku pasti jelasin siapa Dina,"
"Aku pasti nunggu penjelasan kamu itu, Mas. Tolong jangan biarin aku makin mikir yang harusnya nggak aku pikirin," kata Della.
Dahi Gibran mengernyit menatap istrinya. Apa Della tahu mengenai Dina?
"Dina itu karyawan di kantor aku. Almarhum suaminya sahabat aku. Kemarin dia pingsan dan aku antar ke rumah sakit. Anaknya masih kecil dan nggak mungkin nungguin dia di rumah sakit. Keluarganya di luar kota semua," kata Gibran mencoba menjelaskan.
Della menghela panjang dan tersenyum getir. Tidak ada hati seorang istri yang baik-baik saja ketika mendengar dari suaminya sendiri tentang wanita lain. Della cemburu dan itu wajar. Tapi Della juga harus belajar percaya pada Gibran. Kesetiaan setiap pasangan pasti akan selalu diuji.
"Nanti sore kita ke rumah sakit lagi ya. Kita periksa kondisi kamu dan kandungannya," ujar Gibran.
Telapak tangan Gibran menyentuh perut datar Della yang masih rata. Bahagia karena sang istri sedang mengandung calon anak mereka. Della akan memberinya anak lagi yang itu artinya Aira akan menjadi putri sulungnya.
"Kan aku baru pulang dari rumah sakit, Mas. Dokter udah periksa dan hasilnya udah dikasih kok ke aku," sahut Della.
"Aku boleh peluk kamu?"
Della menatap suaminya yang mengutarakan pinta. Ada rasa sesak menghampiri hatinya.
"Boleh," sahut Della yang tubuhnya langsung direngkuh ke dalam pelukan Gibran.
Air mata berbeda makna menetes dari pelupuk mata keduanya. Sama-sama bahagia atas kehamilan Della tapi Della tetap ada campuran sedih karena pikirannya teringat pada Dina yang nyaris membuatnya lari dari rumah tadi siang. Kewaraasannya di ambang batas saat tadi mengetahui jika ponsel sang suami belum bisa dihubungi. Istri mana yang tidak kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagiaku Bersamamu
RomansaDella tidak tahu jika dirinya akan menikah dengan Gibran.