Part 42

1.7K 100 5
                                    

"Ini yang namanya Aira? Cantik banget anaknya Om Gibran. Lihat fotonya aja aku udah deg-degan," gumam Marvin yang entah sejak kapan memperhatikan foto Aira yang terletak di salah satu meja sudut rumah.

Della yang melihat itu menghela panjang. Paras jelita Aira memang tidak diragukan lagi. Siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh pada pesona Aira tapi di sini posisinya ada laki-laki lain yang juga menaruh rasa sayang pada Aira.

"Jangan sampai Marvin jatuh cinta sama Aira. Bisa panjang urusannya," kata Della yang langsung menepuk jidatnya sendiri karena teringat sesuatu.

Wanita hamil itu berjalan cepat ke arah depan rumah.

"Kamu kenapa, kok mukanya gelisah gitu?" tanya Wilda pada Della yang mondar-mandir di teras rumahnya.

Della menoleh dan berdiri di samping Wilda dengan tatapan mengarah pada pintu gerbang rumah yang terbuka.

"Aira, jam segini kok belum pulang ya? Padahal biasanya udah di rumah. Mana Mas Gibran lama banget lagi beli satenya. Kan nggak bisa nyusulin Aira," kata Della.

Setelah makan siang tadi Della masih ingin lanjut makan tapi inginnya makan sate Padang yang dijual di warung terdekat. Bukan Gibran namanya jika membiarkan keinginan sang istri tidak terpenuhi.

"Kenapa enggak ditelpon aja. Aira bawa hp, kan?"

"Udah tapi nggak aktif. Aira plis jangan buat Bunda khawatir dong, Nak."

Orang yang dikhawatirkan Della akhirnya muncul juga. Motor milik Dirga memasuki gerbang rumahnya dengan Aira yang duduk di belakang pemuda itu.

Sengaja Della tidak menghampiri Dirga dan Aira yang sepertinya juga tidak menyadari keberadaannya dan Wilda di sini.

Aira turun dari motor Dirga dan membuka jaket yang ada di tubuhnya kemudian ia berikan pada Dirga. Keduanya sama-sama tersenyum sebelum Dirga kembali menyalakan motornya dan berlalu dari rumah Gibran.

Setekannya baru Aira berbalik dan langsung kaget melihat Della yang berdiri di teras rumah dengan senyum penuh artinya.

"Bunda," sapanya menyalami punggung tangan Della.

"Duh anak cantiknya Bunda makin cantik aja. Dirganya nggak diajak mampir dulu?"

"Ngapain? Bunda ada-ada aja deh. Dirga kan cuma ngantarin Aira doang. Lagian dia sibuk habis ini."

"O gitu, eh iya Sayang... kenalin ini Tante Wilda. Sepupunya Ayah," kata Della mengenalkan Wilda pada Aira.

Aira tersenyum sopan pada Wilda dan menyalami punggung tangannya. Ia memang kurang bahkan nyaris tidak tahu tentang keluarga sang ayah karena sedari kecil diasuh oleh Om Tama dan Tante Firly. Adik almarhumah ibunya.

"Ternyata Aira lebih cantik daripada yang difoto, ya."

"Tante bisa aja. Em... Bunda, Aira ke kamar dulu ya, ganti baju soalnya habis ini mau kerja kelompok sama temen-temen," pamit Aira.

"Bunda boleh ngomong sebentar, nggak sama Aira?"

Melihat raut wajah sang bunda yang serius Aira mengangguk pelan. Ia mengikuti langkah Della untuk masuk ke dalam rumah, tapi baru beberapa langkah Aira bergerak dari pintu utama, kakinya menginjak lantai bening yang tergenang air.

"Aaaaaa," pekiknya terjatuh ke lantai.

Della berbalik dan membola kaget melihat putrinya meringis kesakitan. Ia berjalan hati-hati menghampiri Aira yang  terduduk di lantai.

"Aira...!"

Teriakan Della membuat Wilda dan Marvin mendatangi di mana ia dan Aira berada. Marvin dengan sigap menunduk dan membantu Aira berdiri. Ketika tangannya memegang bahu Aira, detik itu juga tatapan mereka bertemu.

Bahagiaku BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang