"Tante Della kok bawa koper? Tante sama Om Gibran mau pergi?" tanya Dirga.
Tadinya Dirga ingin ke rumah Bagas yang memang satu komplek dengan rumah Aira tapi belum sampai ke rumah Bagas, ia bertemu Della yang menyeret koper.
"Cuma Tante kok yang mau pergi."
"Tante mau pergi ke mana?"
"Tante mau ke rumah temennya Tante, Tante Elsa," jawab Della.
"Ya udah kalau gitu aku antarin Tante ya."
"Nggak usah Dirga, nanti Tante naik taksi aja di depan."
"Sama aku aja, Tan. Nanti Tante kasih tau arahnya ke mana ya."
Karena tidak enak terus-menerus menolak akhirnya Della mengangguk. Dirga mengambil alih koper Della dan memasukkannya ke dalam mobil. Tadinya Dirga ingin mengajak Bagas dan Naya untuk belanja sembako untuk dibawa ke sebuah panti asuhan makanya ia membawa mobil.
"Aira baik-baik aja nggak, ya? Apa Tante Della lagi ada masalah sama Om Gibran sampai pergi bawa koper begini? Aira pasti sedih," gumam batin Dirga.
Tidak ada hubungan tanpa masalah dan entah mengapa hati Dirga yakin jika Della dan Gibran sedang diuji dengan terpaan masalah. Memang itu bukan ranahnya untuk ikut campur dan juga bukan urusannya tapi Dirga tetap khawatir pada keadaan Aira yang merupakan anak dari Gibran.
"Makasih ya Dirga. Tante turun di sini aja. Kamu hati-hati baliknya ya," ucap Della yang memberi pesan diakhir kalimatnya.
"Iya sama-sama Tante."
Dirga memutar lagi arah mobil menuju rumah Bagas. Nanti ia bisa tanya tentang keadaan Aira pada Naya.
________
Della menangis sejadi-jadinya di pelukan Bu Naima, ibu dari Elsa. Elsa dan Bu Naima sudah mendengar semua cerita Della mengenai permasalahan yang tengah mengguncang rumah tangganya.
"Memang kamu butuh waktu untuk introspeksi diri, Della. Perlu Ibu sampaikan kalau hubungan suami istri itu butuh keterbukaan, kepercayaan, dan kesetiaan. Kamu memang setia pada Gibran tapi kamu kurang dalam keterbukaan."
Punggung Della diusap lembut oleh Bu Naima.
"Gunanya suami itu sebagai tempat pulang yang paling nyaman bagi istri dan begitu juga sebaliknya. Kalau kamu tau Gibran sering menatap foto mantan istrinya dan bercerita tentang hal apa saja itu artinya kamu harus belajar untuk peka pada Gibran. Mungkin dia memang butuh teman cerita, sebagai istri, kamu dengarkan dia. Kamu pun begitu, kalau ingin bercerita cari suami kamu. Agar dia merasa jika ia dibutuhkan oleh istrinya."
Dari aduan Della tadi, Bu Naima tidak ingin berada di salah satu pihak karena yang ia tahu hanya Della yang menyampaikan perasaan kecewanya. Sedangkan Gibran juga pasti punya alasan mengapa ia melakukan hal yang seperti yang Della sebutkan tadi.
"Kamu dan Gibran itu kan suami istri jadi tidak ada yang melarang kalian untuk saling mengatakan suka atau tidak suka pada sikap salah satu dari kalian. Bicaran baik-baik."
"Tapi Mas Gibran juga nggak pernah mau cerita sama aku soal apa pun itu, Bu. Selain tentang Aira dan Mama. Aku udah lihat dan baca sendiri chat Mas Gibran dan Dina. Mas Gibran belikan Dina rumah,"
"Telusuri dulu yang benar, Della. Rumah itu diberikan secara cuma-cuma kepada Dina atau mungkin sebelumnya ada kesempatan di antara Gibran dan almarhum sahabatnya. Kamu berhak mendapat penjelasan tentang itu. Harusnya kamu nggak langsung pergi sebelum ada kejelasan itu."
Della mengusap air matanya dan menghela nafas panjang. Ia memang hanya membaca pesan berisi ucapan terima kasih Dina pada suaminya karena sudah dibelikan rumah.
"Ibu yakin ya, sepolos-polosnya Gibran, dia pasti tau batasan dalam bergaul dengan wanita selain istrinya. Dan yang kamu lihat di rumah sakit itu, bukannya kamu sendiri bilang kalau Dina yang meluk Gibran."
Bu Naima mengusap lengan Della yang sudah duduk dengan tegak. Wanita itu sesekali memejamkan matanya.
"Untuk sekarang kamu istirahat dulu. Tenangin hati dan pikiran kamu. Nanti kalau Gibran datang, tolong jangan menolak untuk bicara baik-baik ya," ujar Bu Naima yang diangguki oleh Della.
Della butuh waktu untuk menenangkan pikiran dan hatinya agar pikirannya bisa menerima jika kesalahan yang ada di antara ia dan Gibran bukan hanya kesalahan satu pihak tapi keduanya.
____________
"Non Airanya lagi pergi, Den."
Dahi Dirga mengernyit mendengar ucapan Bik Nur. Ia sengaja datang ke rumah Gibran untuk sekedar ingin tahu keadaan Aira.
"Pergi? Kalau boleh saya tau pergi ke mana ya, Bik?" tanya Dirga.
"Bik Nur nggak tau, Den. Soalnya Non Aira nggak ada bilang mau pergi ke mana," jawab Bik Nur lagi.
"O gitu. Makasih ya Bik. Kalau gitu saya pamit dulu," kata Dirga.
"Iya Den, sama-sama."
Ketika Dirga hendak menaiki mobilnya, gerakan pria itu terhenti saat mendengar Gibran memanggil namanya. Perlahan ia berbalik dan mendapati ayah dari Aira itu berdiri dengan jarak 3 meter dari posisinya.
"Om," sapanya dan bergerak menyalami tangan Gibran.
Gibran tidak menolak dan menatap penuh arti pada Dirga.
"Dirga, Om bisa minta tolong sama kamu?"
Meski bingung tapi Dirga tetap mengangguk. Bukan karena Gibran adalah ayah dari Aira tapi siapa saja yang meminta tolong jika Dirga bisa maka akan ia lakukan.
"Minta tolong soal apa ya, Om?"
"Tadi Aira nangis dan pergi dari rumah. Aira nggak mau bicara sama Om karena dia marah. Om nggak tau dia di mana karena memang nggak Om kejar. Kalau boleh, Om minya tolong kamu cari Aira. Tolong jagain dia, Dirga."
Soal Aira, tanpa diminta seperti ini pun pasti akan Dirga lakukan. Memang sejak kapan Aira tidak diprioritaskan oleh Dirga? Dalam keadaan apa pun bagi Dirga, Aira tetap nomor satu. Tapi diberi kepercayaan seperti ini oleh ayahnya langsung, perasaan Dirga menjadi lega.
"Om lihat kamu segigih itu untuk terus ada di samping Aira. Dilarang berkali-kali pun kamu tetap menerobos untuk menemani Aira. Jadi tidak ada salahnya Om berikan kamu kesempatan untuk memperjuangkan kepantasan kamu agar bisa terus membersamai Aira."
Langit rasanya menjadi cerah begitu saja bagi Dirga saat mendengar ucapan Gibran. Diperbolehkan berteman dengan Aira saja ia sudah sangat senang.
"Mungkin orangtua kamu yang masih tidak bisa menerima semua ini tapi kalau kamu serius ingin berteman dengan Aira, kamu tau langkah apa yang harus kamu ambil. Sebagai seorang ayah, Om hanya ingin melihat putri Om tersenyum."
Beberapa bulan Gibran memperhatikan putrinya dan Dirga yang memang saling menyayangi. Ia juga sadar betapa jahatnya ia sebagai seorang ayah dan Dirga yang selalu ada di sisi Aira. Ia percaya jika Dirga tidak akan mengambil Aira darinya karena ia pun percaya pada Aira yang pasti tetap menjadikannya sebagai cinta pertama.
"Serius Om?"
Wajah Dirga menunjukkan seolah ia tidak percaya pada ucapan Gibran tapi anggukan tegas dari kepala Gibran membuat Dirga percaya jika Gibran tidak main-main dengan ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagiaku Bersamamu
RomanceDella tidak tahu jika dirinya akan menikah dengan Gibran.